| 0 komentar ]

Buka Tutup Pintu Koalisi

“Tak ada yang abadi”. Inilah judul lagu Peterpan yang akhir-akhir ini ngetop di jagad musik Indonesia. Sama dengan dunia politik sama sekali ‘tidak ada yang abadi.’ Meski saling bermusuhan, menutup pintu rapat-rapat, jika kepentingan yang diusung sama, maka pintu bisa dibuka kembali, komunikasi dijalin lagi. Inilah dunia politik. Dunia kekuasaan yang bermuara pada bertemunya kepentingan.

Hari-hari belakangan ini perhelatan rencana koalisi para elite nyaris menghiasi setiap media massa, cetak, radio, televisi, dan internet. Para capres dan timnya ke sana kemarin melakukan pertemuan, membahas koalisi. Setidaknya ada tiga kubu yang kini terus bergerak, yakni kubu SBY, kubu JK, dan kubu Mega. Ketiga kubu ini berupaya merangkul partai-partai papan menengah seperti PAN, PKS, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura. Partai gurem juga tak luput dijaring juga semacam PBB, PKPB, PKNU, PNBK Indonesia, Partai Pelopor, dan lainnya.
Seolah-olah telah terjadi koalisi antara PDIP, Hanura, PPP, dan Gerindra. Juga terjadi koalisi antara Demokrat, PKS, PAN, PKB, ditambah partai gurem. Rupanya peta politik berkata lain, Golkar yang menancapkan keputusan akan mengusung JK sebagai capres juga mengaku telah melamar Hanura, PPP, dan beberapa partai gurem. Di sisi lain, koalisi besar Golkar, PDIP, Hanura, Gerindra, dan PPP juga tengah mengerucut. Pertemuan terus digalang dan pembicaraan mengerucut pada power sharing. Inilah inti koalisi.

Power sharing adalah bagi-bagi kekuasaan, siapa capres, siapa cawapres, dan partai mana dapat berapa kursi kabinet paling banyak. Power sharing juga akan merambah ke parlemen, siapa yang akan diusung sebagai ketua DPR, MPR, dan wakil-wakilnya serta siapa oposisi dan siapa pendukung pemerintah.

Di tengah jalan, kini koalisi besar PDIP-Golkar-Hanura-Gerindra-PPP mulai keropos. Golkar ingin kembali lagi ke Demokrat, dengan catatan: JK diminta legowo, mundur dari pencapresan. Sebab, SBY tidak mau lagi bersama JK. Selama empat setengah tahun, SBY melihat JK telah menjadi ‘matahari’ dalam pemerintahannya. Padahal seharusnya posisi JK hanyalah ban serep bagi pemerintahan SBY. Dalam kebimbangan, tokoh-tokoh Golkar akan merevisi hasil rapimnasus yang mencapreskan JK menjadi capres dan cawapres. Lantas, Demokrat akan digandeng lagi. Keputusan ini muncul diduga koalisi Golkar-PDIP sulit dibangun.

Pada titik ini, hampir seluruh keputusan rapat pimpinan nasional partai menyerahkan keputusan berkoalisi kepada sang ketua umum dengan dibantu tim. Hingga detik ini belum juga ditentukan capres mana yang telah menemukan pasangannya. Menentukan cawapres ternyata jauh lebih sulit ketimbang menentukan capres. Partai-partai diduga akan mengumumkan pasangannya setelah KPU menentukan hasil akhir rekapitulasi suara 9 Mei mendatang.
Dari fenomena itu, terlihat jelas bagaimana elite memerankan diri sebagai pengatur suara rakyat, dengan melabrak visi-misi-ideologi yang dimiliki partainya sendiri. Perolehan suara partai dipakai untuk taruhan memenangkan jumlah kursi kekuasaan, capres, cawapres, dan kabinet.

Betul, partai didirikan memang untuk meraih kekuasaan, karena dengan kekuasaan partai bisa melaksanakan program-programnya, melaksanakan visi dan misinya. Yang perlu dicatat, buka tutup koalisi, jangan sampai menjual harga diri partai, karena rakyat memilih partai karena visi-misi-ideologinya. Amanah itu bukan untuk dipertaruhkan di meja koalisi pragmatis untuk bagi-bagi kekuasaan semata. (**)

Al Halim
Pengamat Hukum dan Politik

Read More......