| 0 komentar ]



oke tes

Read More......
| 0 komentar ]



Goresan dari Derita Anakku



Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) telah menjadi magnet baru bagi orang tua. Ratusan orang tua berduyun-duyun memadati loket pendaftaran di SDN 12 Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Terselip di antara ratusan orang itu adalah M. Adam Revolusi Arifin, anakku.



Sebagai orang tua yang memiliki anak usia sekolah dasar, aku juga turut berburu sekolah. Kriteria sekolah bagiku amat sederhana. Dekat dari rumah dan kondisi sekolahnya rapi, lingkungannya bersih, dan tidak nyaris ambruk. Ya, ambruk menjadi kriteria penting bila ingin sekolah dasar n(e)geri di Jakarta. Meski Ibu Kota sejumlah SD tua masih berdiri dan digunakan aktivitas belajar-mengajar. Aku tidak memiliki kriteria yang muluk-muluk, apalagi menginginkan gurunya berkualitas. Rata-rata guru sekolah dasar negeri di Jakarta sudah hamper pensiun. Sulit mendapatkan guru yang masih muda, bermutu dan professional.



SDN 12 Kebun Jeruk Jakarta Barat adalah pilihanku. Lokasinya hanya tiga belokan saja dari rumahku. Sekolahnya rapi karena baru saja direnovasi. Lingkungannya bersih karena (mungkin malu) di depan sekolah ini berdiri kantor Dinas Kebersihan Jakarta Barat. Kebetulan sekolah ini bertitel RSBI. Titel ini membuatku cemas karena dua alasan. Pertama, sekolah di sini pasti mahal. Kedua, ada tes akademik untuk menyaring calon siswa.



Kecemasan kedua membuatku ingin mengurungkan niat mendaftarkan Adam di sekolah ini. Alasanku sederhana, jika Adam tidak lulus, dia bisa stress. Itu artinya di usia yang masih belia, dia harus mengalami perasaan dan situasi menjadi pecundang. Orang yang kalah dalam persaingan. Merasa tersisih, “bodoh”, dan tidak layak menjadi siswa sekolah dasar. Meskipun sebenarnya Adam adalah rangking kedua PAUD Kasih Ibu, perasaan itu bisa terjadi. Aku khawatir ketidaklulusan ini menjadi bumerang untuk “tugas” akademiknya di kemudian hari.



Sebelum hari pengumuman kelulusan, Adam kuajak berdiskusi. “Bagaimana jika tidak lulus,” aku coba ajukan pertanyaan pancingan. “Adam tidak mau sekolah,’ jawabnya tiba-tiba. Aku sangat terkejut. Buru-buru aku menenangkannya dengan beragam argumentasi sederhana. Kecemasanku semakin menjadi-jadi. Untuk menghibur diri, Adam kupinjami laptop agar ia bisa main game online. Main game adalah kesukaannya di masa tenggang ini. Sorenya aku ajak jalan-jalan, menikmati udara sore, sambil “memberi asupan” argumentasi pentingnya mencari ilmu di mana saja, di sekolah apa saja. “Tidak. Adam tetap ingin sekolah di SD itu. Enak, ada AC-nya,” kali ini jawabannya semakin diperjelas.



Kecemasanku pun terbayar. Hari “H” pengumuman menempatkan Adam di nomor 30 dengan nilai 575 dari 28 anak yang diterima dengan nilai terendah 576. Hasil pengumuman itu aku sampaikan secara riang kepada Adam. Reaksinya hanya diam dan lebih mengalihkan perhatian. Adam memilih main game online di laptop. Dia acuh atas pengumuman itu.



Setelah pengumuman itu berlalu, kurang lebih sepekan kemudian Adam ambruk. Setelah seharian bermain, badannya mulai panas dan kepalanya pusing. Selama sepekan Adam mendekam di kamar dengan vonis dokter sebagai gejala typus. Hasil pemeriksaan darah juga memperkuak vonis itu. Yang aneh, di bagian perut bawah sebelah kanan terasa sakit. Adam mengeluhkan ini. Tetapi dokter anak menanyakan,”Apakah Adam pernah kebentur?” Ah, pertanyaan ini persis pertanyaanku. Pertanyaan orang yang bukan dokter.



Sepekan sudah vonis gejala typus itu tak kunjung membaik. Akhirnya, kubawa Adam ke dokter spesialis anak. Dari sanalah, tangan dokter itu memberi petunjuk.”Adam sakit usu buntu dan harus segera dioperasi. Ususnya telah pecah dan nanahnya menyebar ke selurh perutnya. Sekarang sudah muncul gejala infeksi di saluran kencingnya,” tegas sang dokter.



Tak berpikir lama, aku segera menenggak ultimatum dokter itu. Kubawa Adam ke Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta. Siang masuk, petang Adam langsung dioperasi. Tangisannya membuatku nyaris pingsan.



Di sela-sela sakitnya, Adam kudaftarkan di sekolah SDN 11, yang lokasinya bersebelahan dengan SDN 12 Kebun Jeruk. Tiga sekolah kupilih, SDN 11, SDn 10, dan SDN 15. Pada hari pengumuman, tak satupun SD yang menerimanya. Tes kelulusan hanya berdasarkan usia anak. Adam baru 6,2 tahun. Dia tidak diterima. Akhirnya kucari lagi info pada pendaftaran kedua. SDN 01, dan SDN 02 pagi Kelapa Dua, Kebun Jeruk, masih memiliki bangku kosong. Kusorongkan nama Adam di sana . Sehari kemudian penguuman. Adam diterima peringat kesatu. Di rumah sakit, hasil pengumuman ini kusampaikan ke Adam.



Sekali lagi, reaksinya tak menggembirakan. Adam memilih sibuk dengan sakitnya. Selang di perut masih belum dilepas. Dia tak pernah mau bicara sekolah. “Enakan main game,” katanya setelah kubelikan game boy sebagai “hadiah” atas keinginannya untuk sembuh dengan mengikuti petunjuk dokter untuk taat minum obat.



Salam

Habe arifin

Read More......