| 0 komentar ]

Presiden Sukit namaku. Tahu sendiri, nama itu kudapatkan dari ayahku. Aku militer asli. Bintang empat. Meski aku tak pernah pegang senjata, aku berpangkat jenderal. Betul, aku juga tak pernah ikut perang. Dulu, ketika Limlim masih bergolak, aku menolak dikirim ke sana. "Sampai kencing di celana begitu namaku masuk dalam daftar tentara yang akan dikirim ke Limlim." Terus terang, aku takut darah. Aku tak berani menembak. Aku takut mati. Boleh dong, aku takut mati, meskipun aku tentara.

Namaku Presiden Sukit. Karier militerku lebih banyak di belakang meja. Meski tak pernah perang hingga aku menggenggam bintang dua, aku telah membunuh banyak gerilyawan. Dari pensilku, aku kirim tentara ke medan laga. Aku cari komandan tempur yang andal untuk memimpin pasukan. "Aku tentu bangga. Senjata perang ternyata bisa kukalahkan dengan pensilku." Semua keputusan aku yang mengatur. Darurat perang hingga operasi militer. Aku pula yang menentukan bagaimana menciptakan strategi mengamankan aktivis yang nakal. Dari balik meja, aku memiliki peran tak sembarangan. "Banyak yang mencibirku sebagai jenderal salon. Lho, apakah tidak boleh jenderal pergi ke salon??"

Akulah Presiden Sukit. Kini, tentu aku bangga. Akulah yang menang dalam pilpres kali ini. Lawan-lawan politikku yang lucu-lucu itu tak mampu melawan opini yang kutebar lewat semua jaringan media. Mereka mendukungku. Ya, mereka telah begitu yakin bahwa dalam kepemimpinanku, negeri ini akan lebih aman dan maju. "Jika negeri aman, Indokita lebih beradab. Kemakmuran pun semakin dekat. Aku juga dekat dengan mereka, para wartawan. Kalau mereka melenceng, aku telepon pimrednya. Beres!!"

Presiden Sukit begitu dikenal. Wajahnya rupawan, mengayomi, melayani. Mengayomi rakyat miskin, melindungi pengusaha, melayani koruptor. "Lho, apa salahnya koruptor dilayani. Bukankah mereka juga manusia juga yang punya hak dilayani. Mereka juga sama dengan orang-orang miskin, patut dilayani." Bukankah uang yang diambil bukan uang negara. "Itu uang INF. Uang Bank Tabungan Dunia (BTD). Sama sekali bukan uang rakyat.

Uang rakyat melalui APBN sepenuhnya untuk rakyat. Cuma mereka yang menyalurkan uang itu. Wajar dong mereka dapat komisi. Mereka juga peras keringat kok." KKP (komisi korupsi permisi) tidak tebang pilih. Tidak ada yang ditebang. Mereka cuma dipenjarakan. "Jelas kan. Lawan politik tidak boleh menang. Mereka harus kalah atau dikalahkan. Untuk apa bersaing kalau tidak saling mengalahkan." Ini demokrasi Bung. Yang tidak demokratis ya tidak akan menang. Untuk menjadi demokratis, perlu mencari strategi kemenangan.

Sebagai Presiden, sekarang ini, aku cukup bagian menggunting pita. Sesekali pidato menyapa rakyat. Yang pasti, kehadiranku di depan televisi harus rutin. Dari sanalah aku akan selalui dikenang rakyat. Selebihnya tugas-tugas "pribadi" dilaksanakan isteriku. Isteriku yang menentukan nama dalam setiap jabatan. "Wajar dong. Perempuan lebih peka." Asalkan jangan lupa, ketika menjabat tabungan saya di Swiss juga diisi. "Ini bukan korupsi, cuma ucapan terima kasih." Bukankah bagsa kita dikenal sebagai bangsa yang sopan dan paling tahu diri.

Isteriku pula yang menentukan pemenang lelang setiap proyek. "Sebagai orang yang bertanggung jawab di rumah, isteriku perlu pemasukan. Pemenang lelang akan selalu mengucapkan terima kasih dengan travel check atau sekadar mentransfer deposito. Tidak ada yang salah karena memang wajarlah isteri presiden mendapatkan ucapan terima kasih."

Selama bisa dilakukan dengan rapi, tanpa gejolak, tak ada salahnya menerima komisi, upeti, atau gratifikasi. Bagi masyarakat Timur, hadiah itu kenang-kenangan. Hadiah itu ucapan terima kasih. Nilai hadiah menentukan harga diri seseorang dan tahu bagaimana menempatan dirinya. "Semakin besar semakin punya harga diri."

Ya, sekarang aku yang menang pilpres. Aku Prsiden Sukit. Tentu saja aku harus balik modal. Aku perlu balas budi. Aku perlu terbang ke New York menghadiri pertemuan meja bundar. Aku harus menandatangni perjanjian kontrak pertambangan. "Negara kita kaya. Tk kan habis dimakan 1000 turunan. Toh kiamat masih jauh." Kalau asing bisa, mengapa mesti kita repot-repot. Kita bukan bangsa kacung. Kita bangsa pekerja. Kitalah yang mengerjakan semua itu. Soal dananya dan pemilik perusahaannya orang asing, itu soal lain. Kita tetap dicap sebagai bangsa pekerja bukan bangsa cecunguk.

Narkoba dan jaringannya memang tak bisa dihapus. Aku ahu aku harus mengembalikan biaya untuk modal kampanye kemarin. Produksi narkoba di sini juga tidak apa-apa. toh yang bei orag kaya-kaya. Kalau tidak kaya mana mungkin mereka bisa beli narkoba. "Saya ingin bangsa ini sadar dengan sendiri bukan disadarkan. Pabrik narkoba bila perlu dibangun oleh negara, tempat perjudian dan prostitusi juga perlu dihargai. Mau apalagi, merekalah yag menyokong kampanyeku. Kalau bukan dari mereka, lalu dari mana lagi. Para tokoh agama sudah kumitai sumbangan, mereka malah mengaku akan meminta sumbangan dariku. Terus apa mau dikata. Uang dari mana aku kalau bukan dari bandar-bandar itu. Sebagian kupakai untuk ongkosi kapanye, sebagian lain kuberikan pada tokoh-tokoh itu agar mendukungku."

So, apa salahnya diriku. Aku Presiden Sukit. Semboyanku," tak ada yang tak bisa kukorupsi, karena aku pasti bisa!!!"

Jakarta, 2 juni
habe arifin

Read More......