| 0 komentar ]

Prihatin Gedung Sekolah Nyaris Roboh
Endang Wati, SPd

Ibu Kota Jakarta merupakan barometer nasional. Termasuk dalam hal pendidikan. Namun, data yang dipublikasikan Dinas Pendidikan DKI cukup mencengangkan. Seperti dilansir Suluh Indonesia (9/2), Dinas Pendidikan DKI menyebut terdapat ratusan sekolah nyaris ambruk. Ditemukan 810 gedung sekolah yang rusak parah. Dari jumlah itu, 306 gedung sekolah nyaris roboh, 274 sekolah rusak berat, dan 220 rusak sedang. Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta juga menemukan 820 gedung sekolah yang belum dilengkapi sarana penunjang pendidikan.

Tentu saja, berita ini tidak mengenakan. Dengan anggaran pendapat daerah trilyunan rupiah, DKI masih memiliki ratusan gedung skeolah reot dan nyaris ambruk. Pertanyaan sederhana, ke mana saja uang rakyat itu dibelanjakan. Sekadar berpikir positif, tentu anggaran itu dibelanjakan untuk program semestinya, termasuk anggaran pendidikan. DKI menyiapkan anggaran renovasi gedung sekolah itu sebesar Rp580 milyar.

Anggaran sebanyak itu akan diprioritaskan ke sekolah-sekolah yang menjadi pelanggan tetap banjir di Ibu Kota. Catatan Dinas Pendidikan, terdapat 132 gedung sekolah yang rawan banjir atau 7,76 persen dari jumlah gedung sekolah yang ada di Jakarta.

Ratusan gedung sekolah nyaris runtuh memang bisa menjadi indikasi tidak berjalannya sistem pembangunan sarana pendidikan di Ibu Kota. Seharusnya, anggaran diprioritaskan untuk pembangunan gedung-gedung ini. Tentu kita semua tidak ingin melihat anak-anak didik belajar sambil diliputi rasa cemas karena khawatir gedungnya runuth. Kita juga tidak ingin setiap tahun sekolah-sekolah di DKI, sehari masuk seminggu libur, sehari asuk lagi dan tiga hari libur lagi hanya karna sekolahnya terendam banjir kiriman.

Pendidikan itu program berkelanjutan. Anak-anak harus bebas merdeka mendpaatkan pendidikan. Mereka harus dalam kondisi tenang lahir batin untuk bisa menerima pelajaran. Jika gedungnya nyaris runtuh, tentu proses belajar-mengajar yang ideal tidak bisa diciptakan. Jika sampai terjadi kecelakaan dana nak-anak menjadi korban, siapa yang patut disalahkan.

Dinas Pendidikan mungkin kan angkat tangan dan menunjuk entah siapa yang harus disalahkan. Tetapi, sejatinya, Dinas Pendidikan harus memikul tanggung jawabnya. Sebelum sekolah benar-benar runtuh dan anak-anak menjadi korbannya, prioritas pembangunan gedung sekolah itu harus segera dilaksanakan.

Anggaran memang sudah dialokasikan. Tetapi, jika tidak ada action, anggaran itu akan terus dikandangkan di pos anggaran. Dinas Pendidikan secepatnya harus melakukan proyek pelelangan pembangunan gedung sekolah dan segera dibangun.

Harapan masyarakat pembangunan gedung itu jauh dari proses KKN agar kualitas bangunan bagus dan anak-anak bisa belajar dengan lebih nyaman. Bukan ingin menuduh tetapi banyak contoh di sejumlah tempat bangunan gedung sekolah roboh padahal baru sepekan selesai dibangun. Kesalahan konstruksi atau patgulipat proyek pembangunan gedung sekolah harus dijauhkan. Diharapkan komite sekolah menjadi pengawas yang baik dan bukan malah terlibat dalam praktik kotor patgulipat ini. (***)

Praktisi pendidikan
Guru di SMU Muhammadiyah Jakarta Barat

Read More......
| 0 komentar ]

Tingkat Kelulusan UN Turun
Drs. Farid Faruq


Hampir di seluruh daerah di Indonesia, khususnya di Jakarta, tingkat kelulusan Ujian Nasional turun. Jumlah siswa yang tidak lulus semakin banyak. Di Jakarta, UN SMU/SMK turun dari 91, 98 yang lulus. Tahun ajaran 2007/2008 ini, sebanyak 7.991 siswa SMA/SMK tidak lulus atau hanya 91,98 persen yang lulus. Tahun lalu, 2006/2007 angka kelulusan mencapai 93,78 persen. Rincian siswa yang tidak lulus tahun ini adalah. 4.416 siswa SMA dan 3.575 siswa SMK.

Jumlah peserta UN SMA/SMK pada tahun ini sebanyak 114.510 siswa, terdiri dari 56.953 siswa SMA, 57.515 siswa SMK, dan 42 siswa SMALB. Untuk tahun ini, siswa SMALB lulus 100 persen.

Di sejumlah daerah, banyak satu sekolah yang tidak lulus semua. Di Aceh, sebuah sekolah yang meluluskan tiga siswanya saja. Ironisnya, ketiga siswa itu dikenal suka bolos dan tidak pandai. Justeru siswa yang rajin dan pintar dinyatakan tidak lulus. Pihak sekolah menuding standar mutu tidak diikuti dengan standar sekolah. Fasilitas pembelajaran yang tidak standar antara Jakarta dan daerah seharusnya diperlakukan berbeda dalam hal standar mutu. Jika standar sekolah sama, standar mutu boleh disamakan.

Protes semacam ini memang klasik. Artinya, pemerintah sadar sesadar-sadarnya bahwa ujian nasional memang dilaksanakan dalam kondisi timpang. Sekolah yang berada jauh di pelosok Papua harus melaksanakan ujian nasional yang materinya disamakan dengan siswa di sekolah-sekolah favorit Jakarta. Padahal sarana dan prasarana jauh berbeda. Tetapi, pemerintah terus memaksanakan kebijakannya. Entahlah, apa yang ingin dikejar oleh pemerintah dengan kebijakan yang timpang itu.

Meski dicecar kritik, Ujian Nasional tetap dilaksanakan. Ujian Nasional SD pun dilaksanakan dengan gagah oleh pemerintah. Selain dikritik membuang anggaran karena tidak jelas hasilnya untuk apa, UN juga dinilai tidak memiliki korelasi khusus dengan peningkatan kualitas siswa. Siswa hanya difokuskan untuk memperdalam mata pelajaran yang diujikan. Mata pelajaran lainnya ditinggalkan atau disepelekan.

Selain itu proses belajar-mengajarnya pun hanya dikhususnya pada pengerjaan soal dan bukan transfer ilmu pengetahuan. Dalam soal fisika dan matematika, tak jarang siswa hanya diajari menyelesaikan soal dengan cara singkat berupa trik menjawab soal. Itu artinya substansi materi ilmu matematika dan fisika tidak diberikan kepada siswa. Semua energi siswa, guru, dan sekolah hanya ditumpahkan untuk menjawab soal demi soal.
Kalau sekarang jumlah kelulusan turun, itu berarti UN memang sangat memberatkan siswa. Selain itu, banyaknya siswa pemalas yang lulus juga menunjukkan hal lain, yakni terjadi kesalahan dalam pengoreksian lembar ujian nasional atau terjadi kecurangan selama proses ujian nasional.

Dengan fakta-fakta ini, seharusnya pemerintah tidak memaksakan diri menerapkan ujian nasional tersebut. Kalau pun diterapkan, pemerintah harus melakukan pembenahan standarisasi sekolah dan mutu guru terlebih dahulu. ***

**praktisi pendidikan

Read More......
| 0 komentar ]

Sweeping Anak yang Tak Mau Sekolah
Endang Wati, SPd

Di era krisis seperti ini, pendidikan tidak boleh berhenti. Anak-anak harus tetap bersekolah. Mereka tidak punya alasan untuk tidak mengenyam bangku sekolah. Amanat Pembukaan UUD 1945 sangat jelas bahwa negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemreintahan yang menjalankan kekuasaan negara harus dan wajib hukumnya menjalankan amanat pembukaan ini. Pembukaan UUD 1945 tidak pernah diamandemen dan tidak tergantikan. Amanat ini harus dijalanka dengan sebaik-baiknya, sekarang dan sampai kapan pun.

Berganti presiden tidak bisa menggantikan kewajiban menjalankan amanat pembukaan ini. Berkali-kali ganti presiden, anak-anak harus tetap bisa sekolah dan mengenyam pendidikan. Minimal pendidikan dasar. Semua peraturan perundang-undangan harus menjadi pagar agar negara bisa melaksnakan amanat para pendiri bangsa ini dengan baik dan tidak mengabaikannya.

Persoalannya, pendidikan wajib belajar sembilan tahun dan sekarang menjadi 12 tahun tidak memiliki landasan hukum yang pasti. Wajib belajar dianggap sebagai kewajiban anak-anak untuk mengenyam pendidikan dan bukan sebaliknya, yaitu kewajiban negara dan orang tua untuk mendidik anak-anaknya agar bisa sekolah.

Negara wajib mendidik anak-anak dan membawanya ke lembaga pendidikan hingga jenjang pendidikan menengah pertama: SD-SMP. Kewajiban negara ini semestinya diatur dalam UU khusus, seprti UU Wajib Belajar. Ini penting untuk membawa masa depan bangsa ini lebih baik. Orang tua yang tidak menyekolahkan anak-anaknya akan dikenai sanksi tegas. Pemerintah dan pemerintah daerah seharusnya tidak kompromi lagi dengan melakukan sweeping ke rumah-rumah agar anak-anak bisa sekolah. Jika ini terjadi, negara ini benar-benar telah mengurus pendidikan dengan baik, setidaknya telah melaksanakan amanat para pendiri bangsa, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di tengah krisis keuangan global seperti sekarang ini, pendidikan tetap menjadi nomor satu. Anak-anak bangsa ini harus memiliki semangat seperti anak-anak dalam film Laskar Pelangi. Mereka harus tumbuh dengan cita-cita dan harapan. Tiga puluh tahun yang akan datang, di tangan anak-anak inilah bangsa dan negara ini ditentukan: hitam atau putih.

Pendidikan memang penting. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengatur bagaimana anak-anak bisa sekolah dan mengatur lembaga-lembaga pendidikan agar tidak membebani anak-anak dengan biaya yang tinggi. Anggaran pendidikan yang besar, 20% APBN, merupakan keharusan. Bila perlu, jumlahnya diperbesar. Sasaran utamanya adalah menyasar anak-anak agar mereka bisa sekolah dan tidak menjadi gelandangan di jalan-jalan atau menjadi pekerja anak.

Sweeping anak sekolah pernah terjadi di Jembrana Bali. Inilah program konkret yang perlu ditiru oleh pemerintah daerah lainnya. Dengan menganggarkan sektor pendidikan lebih besar pada APBD, itulah sejatinya keberpihakan pemerintah kepada rakyat, yakni melayani kebutuhan dasar rakyat. Pendidikan, kesehatan, perumahan merupakan hak dasar rakyat yang harus dipenuhi. Negara memiliki otoritas penuh untuk melakukan dan memenuhinya. (***)

Guru SMU di Jakarta

Read More......
| 0 komentar ]

SKB Tiga Menteri Tempuh Upaya Damai
Oleh Arif Arifin

Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, Jaksa Agung, Departemen Agama, dan Menteri Dalam Negeri akhirnya keluar juga. Isinya tidak sesuai dengan tuntutan berbagai elemen ormas Islam, yakni pembubaran Ahmadiyah. Pemerintah memilih mengambil jalan tengah, yakni memerintahkan penghentian aktivitas atau kegiatan Ahmadiyah yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, seperti penyebaran ajaran kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Artinya, kalau ajaran kenabian saja diminta agar dihentikan, maka seluruh ajaran lainnya seharusnya juga dihentikan.

Dalam SKB itu berisi enam butir. Butir pertama berisi, peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama. Kedua, peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurusJemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agarmenghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islampada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

Butir ketiga berisi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuaiperaturan perundangan. Butir keempat menyangkut peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.

Butir kelima, peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yangberlaku. Dan butir keenam memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.

Enam butir keputusan SKB itu memang ditegaskan bukan multitafsir. Sebab, memang tidak ada perintah pembubaran Ahmadiyah. Jemaat ini hanya diperintahkan menghentikan aktivitas dakwah yang menyimpang dari ajaran Islam pada umumnya. Jika aktivitas dakwah itu tetap dilaksanakan, maka JAI akan berhadapan dengan sanksi hukum yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini aparat kepolisian. Sebab, pemerintah dalam SKB ini melarang pihak lain, selain aparat keamanan, untuk melakukan penghentian atau pemberian sanksi terhadap Ahmadiyah.

Tampaknya pemerintah ingin mencari jalan tengah dengan mengeluarkan SKB yang bagi sebagian orang dianggap abu-abu. Bagi pemerintah jalan tengah ini cukup bisa mengakomodasi banyak pihak, termasuk Ahmadiyah sendiri. Jika Ahmadiyah memang merupakan bagian dari ajaran Islam maka Ahmadiyah tidak boleh lagi menyebarkan ajaran Mirza Ghulam Ahmad dan mengakui kenabiannya. Jalan tengah ini cukup bisa mengakomodasi sebagain besar ormas Islam yang memang meminta pembubaran. Jika Ahmadiyah tetap menyebaran dakwah kenabian Mirza Ghulam Ahmad, pemerintah seharusnya memenuhi janjinya dengan menindak tegas Ahmadiyah. ***

Read More......
| 0 komentar ]

Saatnya Kaum Muda Memimpin Bangsa
Al Halim

Saatnya yang muda yang memimpin bangsa ini. Pilpres kurang sepenggalah lagi. Pemilihan presiden menjadi magnet yang paling penting bagi bangsa ini untuk menentukan sikap, apakah memilih kaum tua yang penuh coreng moreng masa lalu, atau kaum muda yang segar dan dinamis. Kaum muda berpikir maju, mendobrak segala hegemoni korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan mesin birokrasi yang afkir. Bangsa ini akan menentukan pilihan.

Kaum muda memang selalu menjadi tonggak sejarah. Presiden Soekarno pernah mengatakan berikan sepuluh anak muda dan dia akan mengubah wajah dunia. Bung Karno yakin seyakin-yakinnya kaum muda adalah masa depan bangsa. Kaum muda memiliki stamina, dinamika, pemikiran cemerlang, dan semangat menggelora. Tinggal bagaimana kaum muda diberi nilai-nilai dan arah yang benar, maka kaum muda akan mampu menentukan masa depan bangsa ini dengan gemilang. Di tangan generasi mudalah bangsa ini dipertaruhkan.

Sayangnya, calon presiden yang resmi diusung partai politik—sesuai UU Pemilu—justeru calon presiden, pemimpin bangsa yang sudah sepuh. Mereka memiliki handicap. Semua masyarakat mengetahuinya. Calon tua memiliki banyak beban untuk melangkah maju dan membuat bangsa ini duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan negara lain. Bangsa ini memerlukan sebuah pembaruan yang mendasar agar dapat menata kembali sendi-sendi yang rusak.

Kaum muda memang diharapkan melakukan banyak hal. Di tangan kaum muda, sendi-sendi penopang berdirinya bangsa ini diharapkan bisa dipondasi dengan baik. Dengan semangat, kerja keras, berwawasan maju, tidak memiliki jejak rekam buruk di masa lalu, dan nasionalisme yang kuat, kaum muda akan banyak berbicara kepada dunia. Mereka akan mampu membangkitkan keterpurukan bangsa, membangun moralitas dan mengembalikan kedigdayaan bangsa.

Itu sebabnya, partai politik sebaiknya mulai memikirkan kembali rencana pencalonan capres dan cawapres. Sebaiknya kaum tua juga menyadari pentingnya kaum muda maju dan memimpin bangsa. Kaum tua memberikan jalan dan mendorong, memberikan semangat, support, agar kaum muda lebih tangguh berhadap dengan tantangan di masa depan. Kaum tua sebaiknya mulai memosisikan diri sebagai penasihat dan supporting yang baik, tidak menghalang-halangi apalagi merintangi.

Selain caleg muda, capres dan menteri-menteri harus diisi oleh orang-orang muda. Mereka tidak akan sungkan membersihkan birokrasi yang korup. Mereka tidak pakewuh memberantas dan memberikan contoh sebagai pemimpin yang baik, yang mengedepankan kepentingan bangsa, dan selanjutnya bersama-sama bekerja keras membangun bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita.
Pemilu sudah di depan mata. Saatnya rakyat bicara, memilih kaum muda sebagai pemimpin masa depan bangsa. (***)

Pengamat hukum dan politik

Read More......
| 0 komentar ]

PSB, Pungli, dan Korupsi
Endang Wati, SPd

Gelegar Penerimaan Siswa Baru (PSB) sudah lewat. Tetapi getirnya masih terasa hingga sekarang. Ada orang tua yang ngenes karena anaknya tak bisa diterima ke SDN karena tak punya kartu keluarga. Ada juga yang anaknya tak masuk SMPN dan akhirnya memilih ke SMP swasta. Kegetiran bertambah ketika di sana sini masih terdengar ada orang tua yang diperas agar anaknya bisa masuk sekolah negeri meski tak memenuhi syarat. Orang tua dan sekolah mengadakan kesepakatan kotor. Anak-anak mereka menjadi barang transaksi.

Lepas dari masalah pemerasan itu, mulailah siswa memasuki tahun ajaran baru. Di sini, orang tua masih dibuat kelimpungan oleh sekolah. Rata-rata sekolah SD-SMU di Jakarta itu gratis. Pemerintah juga memasok dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP). Dari segi teori, siswa tak perlu lagi dibebani beragam biaya untuk menimba ilmu di sekolah.

Faktanya justeru terbalik. Komite Sekolah dijadikan umpan oleh pihak sekolah. Melalui Komite ini, orang tua siswa dipaksa (melalui rapat khusus) menyetorkan sejumlah dana kepada sekolah. Tujuannya bermacam-macam, ada yang untuk perbaikan pagar sekolah, pembelian AC bahkan untuk mengecat dinding. Lagi-lagi orang tua siswa harus merogoh koceknya lebih dalam. Inilah yang dinamakan pungutan liar.

Pungutan yang dilakukan tanpa landasan hukum. Di DKI, Dinas Pendidikan Dasar DKI mengeluaran Surat Edaran No 11 Tahun 2008. Isinya tentang berbagai hal terkait PSB. Dalam SE ini tegas dijelaskan, selama PSB tidak diperbolehkan melakukan pungutan dalam bentuk apapun. Begitu juga tidak ada biaya daftar ulang, pengadaan pakaian seragam sekolah, termasuk buku pelajaran sekolah. Pungutan yang tidak diatur dalam SE itu dianggap sebagai pungutan liar.

Jaksa Agung Hendarman Supandji tegas-tegas menginstruksikan bawahannya, para Kejari dan Kejati mengawasi berbagai penyimpangan selama PSB ini. Beragam pungtan yang tidak diatur merupakan pungutan liar. Pungutan liar itu termasuk dalam lingkup korupsi. Para pelakunya bisa dijerat pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Selama PSB, jika terbukti terjadi pungli, orang tua atau masyarakat bisa melaporkan ke polisi atau kejaksaan agar korupsi bisa cepat diberantas.

Persoalannya, apakah masyarakat berani melaporkan pungli ini sebagai sebuah kejahatan korupsi. Selama ini, belum terdengar stau pun orang tua yang peri ke Polda Metro Jaya atau Kejaksaan untuk melaporkan penyimpangan ini. Bisa ditebak, orang tua tidak berani melaporkan sekolah karena di sekolah itu ada anak-anaknya. Orang tua tidak mau jika anaknya tida mendapatkan pelayanan terbaik terkait pelaporan orang tuanya ke aparat penegak hukum.

Ketidakberdayaan orang tua ini kadang menunjukkan betapa sulitnya korupsi di negeri ini diberantas. Masing-masing pihak dengan beragam alasan tidak berani mengungkap tindakan korupsi. Padahal, tindakan itu secara kasat mata dikategorikan sebagai korupsi. Itulah sebabnya, pentingnya dilakukan kesadaran dan keberanian masyarakat untuk melawan korupsi, mulai hal yang kecil, mulai yang terdekat, dan mulai saat ini. Kesadaran dan keberanian melawan perbuatan korup harus terus dipupuk. (***)

***Guru SMU di DKI

Read More......
| 0 komentar ]

Pertarungan Pilpres Tak Menarik Lagi
Al Halim

Sejumlah tokoh bakal maju dalam pilpres 2009. Sejumlah nama disebut dan digandengnkan. Pembicaraan teruka mengenai koalisi pun sudah disebutkan. Beberapa nama sepertinya tak menarik lagi dibicarakan untuk mengisi kursi presiden 2009-2014. Kebanyakan nama calon presiden adalah muka lama, yang pernah berkuasa di era orde baru atau di awal pemerintahan reformasi yang belum menunjukkan kemajuan dalam pencapaian pembangunan maupun penegakan hukum. Itu sebabnya, pertarungan pilpres tampaknya tak menarik lagi.

Sejumlah figur baru juga bukanlah figur yang ahistoris. Mereka juga bekas penguasa yang kini ikut berkompetisi. Track recordnya pun tidak semoncer yang diharapkan. Muka-muka lama yang ingin menggantungkan peruntungannya pada pilpres 2009 membuat harapan rakyat yang menginginkan perubahan menjadi sia-sia.

Rakyat membutuhkan figur baru dan generasi muda. Figur yang dianggap bersih dari berbagai dosa masa lalu. Figur muda yang dinamis dan berani mengambil berbagai keputusan politik yang memberikan dampak bagi kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat luas.

Berbagai survey sebenarnya telah menjaring nama-nama baru untuk diperbincangkan di depan publik. Nama-nama mereka bahkan menghiasi sejumlah jam tayang media elektronik dan papan-papan baliho. Tetapi, mereka belum mendeklarasikan kesiapannya maju sebagai calon presiden. Selain mereka tidak memiliki kendaraan politik yang akan mengusungnya sebagai kandidat capres, mereka juga tidak berani menyampaikan program kerja alternative yang bisa mengubah kondisi bangsa ini kea rah yang lebih baik. Sepertinya tokoh-tokoh muda itu baru berani malu-malu menjajal peruntungannya di dunia politik.

Satu dua tokoh politik muda sejatinya sudah ada yang tampil mengiasi halaman media untuk membicarakan masa depan bangsa. Tetapi, lagi-lagi sang tokoh belum berani beranjak untuk mendeklarasikan diri sebagai kandidat calon presiden, seperti yang dilakukan tokoh-tokoh tua. Padahal, mereka sejatinya ditunggu-tunggu untuk segera mengenalkan dirinya dan program kerjanya agar rakyat bisa memberikan penilaian.

Selayaknya tokoh-tokoh muda ini berinisiatif melakukan terobosan politik. Mereka seharusnya meniru calon presiden dari Partai Demokrat di Amerika, Barrack Obama, yang berani tampil di muka umum dan mencalonkan diri sebagai kandidat presiden. Rakyat Indonesia menunggu keberanian tokoh muda seperti Obama ini. Tokoh kharismatik yang menawarkan perubahan bagi bangsanya. Berbagai kebijakan masa lalu yang dianggap tidak benar dikritiknya dan memberikan alternaif solusi.

Kini, kehadiran tokoh muda yang berani sedang ditunggu-tunggu. Harapan rakyat kini digantungkan kepada mereka. Di pundak merekalah, rakyat senantiasa berharap. Api harapan itu diharapkan tidak segera lenyap seiring mulai mengendurnya semangat kaum muda yang tidak berani mengambil inisiatif perubahan.

Jadi, di tengah gemerlapnya tokoh tua, seharusnya tokoh muda mulai berinisiatif melakukan dinamisasi politik dengan segera tampil ke muka publik dan mendeklarasikan diri sebagai calon presiden masa depan. Rakyat membutuhkan perubahan segera. (***)

Read More......
| 0 komentar ]

Perlu Perubahan Paradigma Guru Indonesia
Oleh Endang Wati SPd

Data Depdiknas Tahun 2006 menunjukkan lebih dari 60% guru di Indonesia tidak layak mengajar. Ini artinya, sebagian besar guru di Indonesia tidak pantas menjadi guru. Setiap hari, sebagian besar guru-guru ini menyuntikkan obat jahat kepada jutaan anak didiknya, tanpa ada larangan, sensor, apalagi sanksi. Kelak di kemudian hari, 20-30 tahun yang akan datang, barulah dirasakan dampak ‘obat jahat’ itu. Apakah anak-anak itu akan tumbuh menjadi pribadi yang matang, jujur, mandiri, dan bertanggung jawab. Atau sebaliknya, mereka akan menjadi manusia-manusia yang mudah patah semangat, culas, korup, suka kekerasan, tidak pluralis, dan sebagainya.

Inilah pentingnya perubahan paradigma guru Indonesia. Untuk menentuan masa depan guru bisa dilihat dari apa yang dilihatnya. Semua hal yang dilihat guru akan mempengaruhi perbuatannya dan semua perbuatannya akan menentukan apa yang akan didapatnya. Guru yang setiap hari disuguhi diskusi, debat, membaca buku, penelitian, workshop akan melakukan perbuatan yang berhubungan dengan peningkatan mutu. Perbuatan inilah yang akan mengantarkan guru Indonesia mendapatkan hasil yang baik, yakni menjadi guru bermutu dan professional. Mutu dan profesionalisme guru akan sangat menentukan mutu dan profesionalisme anak didiknya.

Saatnya guru mengubah cara hidupnya, dengan memperbanyak penglihatan yang baik, melakukan perbuatan yang mengarah pada upaya peningkatan mutu dan profesionalisme. Menjadi guru bermutu dan professional merupakan sebuah pilihan tetapi menjadi guru yang biasa-biasa saja merupakan sebuah deretan panjang yang tidak memberikan dampak apa-apa.

Bangsa ini sedang mengalami krisis yang panjang. Tak hanya di bidang ekonomi, juga di bidang lainnya. Itu sebabnya, bangsa ini ingin bersandar pada pendidikan. Harapnnya kelak di kemudian hari bangsa ini tidak semakin terpuruk. Bangsa ini akan segera bangkit dari tidur dan tegak berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya. Harapan bangkitnya dunia pendidikan mau tidak mau akan disandarkan pada pundak guru.

Jika guru bangkit maka sejatinya pendidikan ini telah bangkit. Guru yang bangkit dengan meningkatkan mutu dan profesionalismenya akan menentukan masa depan anak-anak didiknya dengan baik. Anak-anak harapan bangsa ke depan ini akan menentukan bagaimana bangsa ini ditulis, apakah dengan tinta merah atau tinta emas.

Itu sebabnya peningkatan mutu dan profesionalisme guru merupakan sebuah keharusan. Pemerintah dan juga masyarakat harus bersama-sama meningkatkan mutu guru. Organisasi guru dan perusahaan-perusahaan besar bisa segera menjalin kerja sama untuk meningkatkan mutu guru.

Alokasi anggaran CSR bisa disediakan bagi upaya peningkatan mutu guru Indonesia. Perusahaan-perusahaan itu bisa memberikan beasiswa guru, memberikan biaya pelatihan, diskusi, seminar, workshop dan segal hal yang berkaitan dengan upaya peningkatan mutu guru. Dengan cara ini, semua pihak akan berperan bersama-sama pemerintah meningkatkan mutu dan profesionalisme guru Indonesia.

Tak ada yang lebih berharga kecuali mendapatkan pendidikan yang baik dan bisa menjadi anak-anak harapan bangsa yang baik. Kelak anak-anak didik inilah yang akan mengukir sejarah bangsa ini, dengan atau tanpa tinta emas. (**)

Guru SMU di Jakarta

Read More......
| 0 komentar ]

Pendidikan Gratis, Pungutan Jalan Terus
Drs. Farid Faruq

Pendidikan di wilayah DKI Jakarta ditetapkan tak berbayar alias gratis. Ini sejalan dengan PP yang baru saja diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai Pendanaan Pendidikan dan Pendidikan Wajib Belajar 12 tahun. Kini, wajib belajar tak lagi sembilan tahun tetapi 12 tahun hingga siswa lulus SMU. DKI Jakarta menggratiskan biaya sekolah SD hingga SMP. Pemprov DKI juga menjamin kesejahteraan guru melalui tunjangan kesejahteraan Rp 2,5 juta sebulan.

Minggu-minggu ini merupakan minggu penerimaan siswa baru. Kesibukan orang tua murid sekarang ini focus pada mendaftarkan anaknya ke sekolah, menyiapkan segala keperluan masuk sekolah. Di tengah kesibukan itu, pihak sekolah rupanya masih ada yang memanfaatkan celah dengan melakukan pungutan liar. Disebut liar karena pungutan itu tidak didasari oleh peraturan yang berlaku.

Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta berulang kali menyatakan tidak ada biaya selama proses penerimaan siswa baru. Jika tetap dilakukan pungutan, Dinas Pendidikan siap mencopot sang kepala sekolah, jika terbukti.

Tampaknya bukti memang sulit diungkap. Orang tua siswa hampir mustahil melaporkan kasus pungli ini kepada pejabat terkait. Mereka hanya berani bicara kepada pers. Itu pun dengan nama samaran atau sumber anonim. Akibatnya, pungutan liar sulit diungkap. Padahal, beredar luas di masyarakat, pungutan liar itu bentuknya bisa beragam dan dalam jumlah yang tidak sedikit.

Di Jakarta Timur misalnya, sebuah SD mematok angka Rp 12 juta untuk anak SD yang ingin diterima di sekolah SDN favorit melalui jalan pintas. Biasanya sekolah memanfaatkan kelemahan calon korban, misalnya calon siswa yang berumur kurang dari persyaratan masuk sekolah. Selain itu, setelah siswa diterima, orang tua murid dikumpulkan dan pihak sekolah kemudian menyodorkan beragam bantuan. Dulu dikenal uang gedung, uang pemeliharaan, ini itu dan sebagainya.

Semua pungutan, beragam jenis dan nilainya, sejatinya diharamkan oleh Dinas Pendidikan DKI. Penegasan ini berulang kali dilakukan agar masyarakat berani menolak jika diminta sumbangan atau pungutan. Tetapi, kebanyakan orang tua memilih “mengalah.” Pihak sekolah pun membuat istilah yang bersifat sukarela, seprti sumbangan sukarela, bukan wajib. Tetapi, dalam pelaksanaannya, sumbangan jenis ini dilakukan sama halnya dengan sumbangan wajib. Siswa yang belum membayar sumbangan sukarela itu dianggap masih berutang ke sekolah dan setiap saat tetap akan ditagih.

Fenomena seperti ini masih terus terjadi. Dinas Pendidikan memang tak henti-hetinya mengkampanyekan pelarangan pungutan liar tersebut. Pemerintah juga telah membanjiri beragam biaya untuk keperluan sekolah maupun siswa. Program sekolah gratis membuat pemerintah mengeluarkan banyak anggaran ke sektor ini. Sayangnya, masing-masing sekolah memperlakukan lain keberpihak pemerintah tersebut. melalui kepala sekolah, pihak sekolah masih saja meminta sumbangan atau melakukan pungutan liar. Pungutan yang sama sekali tak diatur dalam peraturan pemerintah.

Satu-satunya cara untuk menghentikan praktik ini, selain peningkatan pengawasan Komite Sekolah, juga pemberian sanksi yang tegas dan keras. Sanksi yang tegas bisa menjadi efek jera bagi para pelaku. Saatnya, pemerintah melakukan investigasi dan memberikan sanksi tegas bagi para pecundang pendidikan. ***

Praktisi Pendidikan

Read More......
| 0 komentar ]

Penahanan Muchdi, Babak Baru Kasus Munir
Arif Arifin


Penahanan Deputi V BIN Muchdi PR merupakan babak baru penyelidikan kasus Munir. Bahkan, penanhanan ini bisa menjadi start penting untuk mengungkapkan siapa sejatinya dalang pembunuhan Munir, siapa saja pelakunya, melibatkan institusi BIN ataukah hanya kepentingan individu petinggi BIN, dan apa motof di balik pembunuhan ini.

Sejumlah pertanyaan ini penting diungkap ke publik agar publik mengetahui mengapa Munir harus dibunuh dan untuk tujuan apa. Siapa yang paling berkepentingan atas kematian Munir, seorang pejuang dan aktivis HAM yang cukup vocal selama ini.

Semua pertanyaan itu memang ditujukan kepada penyidik kepolisian. Penyidik harus sia menyingkap kepentingan di balik para pelaku. Kalau saat ini Muchdi PR ditetapkan sebagai tersangka, memang belum bisa dipastikan apakah Muchdi pelaku sebenarnya. Kita semua harus lebih dulu menunggu hasil sidang pengadilan. Pengadilanlah yang berhak menentukan apakah Muchdi memang sebagai pelakunya ataukah tidak.

Sambil menunggu hasil pengadilan, penahanan Muchdi ini memang sangat menarik. Penyidik kepolisian tentu tidak gegabah menahan seorang petinggi BIN bila tidak dilengkapi alat bukti yang kuat. Apalagi, institusi tempat Muchdi merupakan institusi penting di negeri ini. Yang perlu diperhatikan lebih serius ialah apakah institusi BIN terlibat dalam rencana pembunuhan terhadap Munir? Inilah babak paling penting dalam penyidikan kasus Munir dan pengadilan kasus Munir kelak.

Kita semua berharap kasus Munir bisa diungkap dan diketahui siapa saja pelakunya. Tujuannya tentu saja amat sederhana, pelaku pembunuhan harus mempertanggungjawabkan peruatannya. Selain itu, dengan menghukum pelaku, diharapkan tidak terjadi pembunuhan berikutnya. Karena itu, pengadilan terhadap pelaku menjadi amat penting. Kita semua berharap institusi BIN tidak terlibat dalam perencanaan pembunuhan terhadap Munir. Institusi ini milik negara dan dibuat untuk kepentingan negara. Kematian Munir tidak menguntungkan bagi negara. Itu sebabnya, tidak ada urgensinya institusi ini terhadap kematian Munir.

Jika institusi disalahgunakan oleh para penguasanya, ini memang bisa terjadi. Sama halnya ketika orde baru dulu, institusi kepolisian dan militer digunakan oleh rezim Soeharto untuk menyokng kekuasaannya hingga bertahan selama 32 tahun lamanya.

Yang pasti, kita semua harus menunggu penyidik kepolisian melaksnakan tugas muliahnya, menangkap para pembunuh. Jika sekarang baru berstatus diduga, kita harus bersabar sambil terus berdoa untuk kemajuan penyidikan. Semua pihak juga diharapkan tidak melakukan intervensi, terutama intervensi politik, kepada penyidik. Biarlah penyidik bekerja secara bebas, berdasarkan alat bukti yang cukup, dan tidak diganggu oleh berbagai kepentingan. Dengan begitu, penyidik bisa leluasa melaksanakan tugasnya dan pengungkapan kasus kematian Munir ini bisa cepat dituntaskan.

Siapa pun yang dipanggil oleh penyidik sebaiknya juga datang memenuhi panggilan tanpa harus merasa sebagai pelaku. Penyidik memerlukan banyak keterangan dan banyak bukti untuk menemukan pelaku yang sesungguhnya. Yang harus diingat, semua yang dilakukan kepolisian barulah berupa sangkaan dan kebenarannya baru terbukti di pengadilan. Hanya pengadilanlah yang berhak menentukan seseorang bersalah atau seseorang itu benar. Jadi, kita harus mendukung pengungkapan kasus ini dan menunggu pengadilan bekerja memutuskan perkara ini seadil-adilnya. ***

Arif Arifin
Pengamat sosial politik tinggal di Jakarta

Read More......
| 0 komentar ]

Paradoks Sosial di Bulan Puasa
Bahtiar


Enam bocah yang baru berusia ABG (anak baru gede) tewas sia-sia. Mereka tenggelam di sebuah danau di Pamulang, Ciputat, Tangerang beberapa hari lalu. Penyebabnya juga sepele; terlibat tawuran petasan. Polisi belum menetapkan siapa tersangka di balik kematian enam bocah ini. Yang pasti, keenamnya telah dikebumikan dan para orang tua meratapinya. Mereka tak menduga anaknya meninggal begitu cepat.

Siapa yang salah dalam kasus ini memang belum bisa dikuak. Polisi baru memeriksa delapan orang saksi. Kesaksian mereka pun belum bisa diakses publik. Satu-satunya kesaksian korban selamat juga tidak banyak membantu. Sebab, sang bocah masih syok dan masih menjalani pemeriksaan medis.

Selama Ramadhan, warga DKI memang selalu disibukkan oleh dua suasana yang hampir setiap tahun terjadi, yakni menunggu waktu berbuka puasa (ngabuburit) dan selepas sahur atau subuh. Dua waktu ini biasanya dipakai untuk mencari angin, berkumpul bersama teman-teman, saling canda, lalu saling caci dan terjadilah tawuran. Bukan hanya tawuran remaja saja tetapi juga sering kali tawuran warga kampong, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di sekitar Pasar Rumput, Manggarai. Dua warga kampung terlibat tawuran.

Begitu juga dengan keenam bocah ini. Mereka juga mencari angin selepas shalat Subuh dengan diselingi main petasan hingga perang petasan dan tawuran kecil-kecilan sesame teman. Entah mengapa, begitu ada patroli kepolisian, mereka panic dan lari tunggang langgang sampai nekat menceburkan diri ke danau. Mereka tidak tahu kalau danau itu dingin dengan lumpur yang dalam. Mereka beramai-ramai nekat menceburkan diri ke danau itu dan nyawa mereka menjadi taruhannya. Enam bocah akhirnya tak bisa menyelamatkan diri. Mereka tewas. Mereka mengakhiri hidup dengan kepanikan dan ketakutan.

Kisah kematian bocah ini amat menyedihkan para orang tua. Sejak kecil dirawat dan dibesarkan begitu menginjak remaja mereka tewas mengenaskan. Masa depan mereka masih panjang tetapi hanya dengan kejadian sepele nyawa mereka harus terenggut sia-sia. Kesedian para orang tua tentu tak bisa dilukiskan dengan kata-kata lagi, karena di tangan anak-anak inilah harapan orang tua digantungkan.

Lantas, apa yang salah dari kejadian ini. Problematika tahunan yang selalu muncul selama Ramadhan adalah petasan dan tawuran. Waktu senggang ngabuburit dan selepas subuh digunakan untuk jalan-jalan santai tanpa tujuan. Sering kali kondisi dan situasi yag tanpa tujuan itu berujung pada ketersinggungan. Akibat hal-hal sepele, saling ledek, lalu tersinggung inilah kemudian muncul solidaritas komunal, dengan mengajak teman-temannya, atau tetangganya, atau warga kampungnya, untuk menciptakan musuh bersama dan terjadilah konflik massa. Warga begitu mudah tersuut emosinya meskipun pada bulan Ramadhan ini dianggap sebagai bulan baik, penuh ujian kesabaran. Sebuah paradoks yang sulit mencari jawabannya.

Aparat keamanan sejatinya sudah melakukan berbagai cara untuk mengerem tindak konflik massa. Bahkan Polda Metro Jaya jauh-jauh hari sudah memetakan daerah-daearh mana saja yang melakukan rutinitas tawuran massal. Anehnya meskipun sudah diantisipasi dan dipetakan sedemikian rupa, termasuk razia petasan, konflik massal berupa tawuran remaja atau tawuran antarwarga tetap saja terjadi. Seolah-olah tawuran menjadi bagian tak terpisahkan dari ibadah puasa itu sendiri. inilah sebuah paradoks sosial yang kerap terjadi di bulan puasa. (***)


Pemerhati sosial politik

Read More......
| 0 komentar ]

Maut di Jalan Berlubang Ibu Kota
Bahtiar Siregar

Musim hujan di Ibu Koa identik dengan musim banjir. Tak Cuma banjir akibat gelonotran beribu-ribu kubik air dari langit atau dari hulu, juga banjir rob dari laut. Ibu Kota seolah tak berdaya menghindari banjir dari laut dan dari langit. Bencana setiap tahun ini kini diperparah dengan munculnya lubang-lubang maut di hapir seluruh jalan di Ibu Kota.
Panjang jalan Ibu Kota sekitar 4 juta meter persegi. Pemprov DKI hanya mampu merawat jalan sebanyak 200 ribu meter persegi per tahun. Artinya sekitar 3,8 juta meter persegi tanpa perawatan. Jutaan meter persegi ini kini ditumbuhi lubang-lubang yang siap menjemput maut para pengguna jalan di Ibu Kota. Rata-rata pengendara motor yang terjebak lubang ini tewas atau luka-luka.

3,8 Juta Meter Tak Dirawat
Pemprov menuding keterbatasan anggaran menjadi penyebab susahnya menanggulangi kerusakan jalan di Jakarta yang makin parah. Kasudin PU Jalan Jakpus Yusmada Faizal mengumbar macetnya anggaran ini sebagai kambing hitam atas kerusakan jalan Ibu Kota. Sebenarnya ada dua penyebab jalan kerusakan jalan, yaitu kerusakan alami Karena usia jalan dan kerusakan non-alami, seperti genangan air, kelebihan beban tonase dan galian-galian utilitas kota.

Seperti diberitakan harian Suluh Indonesia (Kamis, 20 November), tahun ini Sudin PU Jalan hanya menerima anggaran Rp39 milliar untuk membiayai seluruh programnya. Sekitar Rp 21 milliar dialokasikan untuk perawatan jalan, Rp10 milliar untuk perawatan trotoar dan Rp 8 milliar untuk jembatan. Dibandingkan tahun lalu, anggaran tersebut meningkat sudah Rp1 miliar.

Idealnya perawatan jalan mencakup 20 persen dari total luas jalan Jakarta atau 800 ribu meter persegi. Namun, untuk mencapai luasan 800 ribu meter-persegi, Pemerintah Provinsi harus menyediakan anggaran perawatan jalan Rp109 miliar setiap tahun. Tampaknya pemerintah “belum mampu” menyanggupi angka ini. "Angka itu cukup besar dan pemerintah juga memiliki keterbatasan anggaran," demikian Yusmada berkilah.

Pemerintah baru melakukan usaha tambal sulam. Rupanya system ini tak menyelesaikan masalah. Kualitas tambal sulam sangat rapuh. Begitu hujan turun bekas tambalan terkikis dan kembali berlubang. Kondisi lubangnya juga cukup parah. Akibatnya muncul jebakan-jebakan maut. Yang paling rentan adalah pengguna sepeda motor, terutma di malam hari. Di tengah keremangan malam dan lampu lalu lintas yang tidak begitu terang, jalan berlubang seperti malaikat pencabut nyawa. Kecelakaan akibat terperosk ke dalam lubang sering kali menewaskan pengendara. Kalau tidak, pengendara motor bisa patah tulang atau gegar otak.
Penulis menjumpai kondisi di sepanjang Jalan Buncit hingga Mampang Jaksel nyaris terisi oleh jalan berlubang bahkan dekat perempatan Mampang kondisi jalan semakin parah. Padahal, setiap hari lalu lintas yang melewati jalan ini tergolong sangat padat, mulai pagi hingga malam.

Pemprov DKI harus mulai melakukan pembenahan jalanan ini. Peningkatan anggaran mau tidak mau harus dilakukan. Jalan-jalan protocol harus mulus. Tidak boleh ada lagi jalan berlubang. Jalan Gatot Subroto masih dihinggapi lubang-lubang menganga di sejumlah titik. Ini tidak boleh terjadi lagi, mengingat jalan protocol ini padat lalu lintas. Jika tidak ingin nyawa melayang sia-sia Pemprov harus mengerjakan PR ini dengan sebaik-baiknya. Inilah sesungguhnya peran Pemprov yakni melayani masyarakatnya dengan baik dengan cara memperbaiki jalanan yang rusak. (***)

Pengamat sosial tinggal di Jakarta

Read More......
| 0 komentar ]

Minim Realisasi, Maksimum Janji
Oleh Drs. Farid Faruq

Evaluasi kinerja pemerintahan SBY di sektor pendidikan bisa dikatakan dalam satu kalimat, yaitu minim realisasi dan maksimum janji. Pemerintahan ini, kalau tidak boleh dikatakan gagal, tidak banyak memberikan nilai positif bagi kemajuan pendidikan. Hal ini bisa diukur dari tiga hal penting yaitu realisasi anggaran, pembangunan infrastruktur, sarana, dan prasarana pendidikan, dan tenaga kependidikan.

Di sektor anggaran pendidikan, pemerintahan ini tidak melakukan apa-apa. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan anggaran pendidikan 20% dari APBN tidak dilaksanakan dengan baik. Pemerintah seolah berpangku tangan karena dari tahun pertama hingga terakhir tidak terjadi peningkatan anggaran sesuai perintah Mahkamah Konstitusi. Barulah pada 2009, melalui APBNP, pemerintahan SBY-JK membuat janji yakni akan mengusulkan anggaran pendidikan sebesar Rp 224 trilyun. Angka fantastis untuk merebut simpati rakyat. Angka itu baru janji dan belum realisasi. Janji diberikan karena dekat dengan pemilu. Janji ini sarat kepentingan politis.

Dalam hal pembangunan infrstaruktur, sarana, dan prasarana pendidikan, pemerintahan juga seolah kurang peduli. Masih ratusan bangunan sekolah tidak layak pakai. Di Bekasi, bangunan sekolah SD lebih layak disebut sebagai kandang ayam daripada sekolah. Di Jakarta misalnya, sebuah bangunan SD roboh karena dimakan usia. Untungnya tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Kejadian ini terus terjadi sepanjang dan nyaris tanpa henti.

Program Buku Sekolah Elektronik yang digagas pemerintah dan diluncurkan oleh Presiden SBY secara langsung juga tidak memberikan dampak berarti. BSE diluncurkan dan masyarakat justeru kesulitan mengakses melalui internet. Sementara pemerintah melarang sekolah membeli buku dan menjualnya ke siswa. Akibatnya, terjadi kekosongan buku teks pelajaran di sekolah-sekolah. Untuk mengatasi hal ini, banyak sekolah yang bermain kucing-kucingan. Sekolah melalui Komite Sekolah meminta orang tua siswa membeli buku di tokok tertentu yang telah ditunjuk.

Di bidang tenaga kepentinggan, muncul data tragis yang ditunjukkan oleh Depdiknas Tahun 2006. dalam data itu disebutkan 65% guru di Indonesia dinyatakan tidak layak menjadi guru. Salah satu kriteria ketidaklayakannya ialah guru-guru tersebut belum memiliki kualifikasi akademik sebagai guru seperti yang disyaratkan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jumlah ini diharapkan bisa turun melalui berbagai program pelatihan dan beasiswa pendidikan. Tetapi, penurunan angkanya pun tidak signifikan karena tidak tersedianya anggaran pendidikan untuk membeirkan beasiswa kepada semua guru yang belum layak mengajar. Pemerintah kewalahan menghadapi masalah ini.

Selanjutnya, program peningkatan mutu guru yang dilakukan melalui sertifikasi guru secara nasional juga tidak menunjukkan kemajuan. Selain program ini menelan biaya yang luar biasa besar selama proses penilaian portofolio, sertifikasi guru juga menimbulkan ekses ketidakjujuran, pemalsuan, dan berbagai tindak kecurangan lain. Proses portofolio juga tidak memberikan dampak peningkatan mutu dan profesionalisme guru, seperti yang diharapkan Undang-Undang. Program peningkatan kesejahteraan guru juga jauh panggang dari api.

Pemerintahan SBY baru berjanji pada 2009 nanti semua guru minimal bergaji Rp 2 juta. Kinerja pemerintahan ini baru sekadar berjanji dan belum memberikan bukti. (***)
Drs. Farid Faruq
Praktisi Pendidikan

Read More......
| 0 komentar ]

Menyikapi Anggaran Pendidikan Rp 224 Trilyun
Endang Wati, SPd

Anggaran pendidikan dalam RAPBN 2009 membengkak hingga Rp 22 trilyun. Angka ini amat fantastis. Departemen Pendidikan Nasional seharusnya bisa bernapas semakin lega. Anggaran pendidikan seperti guyuran hujan di kemarau panjang. Terlepas penetapan angka ratusan trilyun itu bersifat politis karena baru dibuat menjelang pemilu 2009, anggaran ini harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan pendidikan di Indonesia.

Lantas, apa yang bisa dilakukan Depdiknas dengan anggaran yang begitu besar. Depdiknas bisa melakukan banyak hal dengan anggaran tersebut. Tetapi, Depdiknas perlu melakukan prioritas pekerjaan.

Pertama, pendidikan wajib belajar 12 tahun. Pendidikan 12 tahun perlu menjadi program utama pemerintah. Biaya pendidikan dalam wajib belajar 12 tahun dari SD-SMU digratiskan. Pendidikan gratis perlu menjadi prioritas. Sesuai dengan Millineium Development Goals (MDGs), semua anak harus bisa mengakses pendidikan dengan mudah. Pendidikan gratis merupakan jawabannya. Jangan sampai pendidikan yang mahal menjauhkan anak-anak dari pendidikan.

Kedua, meningkatkan mutu dan profesonalisme guru. Di tangan gurulah sejatinya bangsa ini bisa menjadi bangsa yang besar dan maju. Di tangan guru pula, anak-anak, generasi muda bangsa ini bisa menjadi generasi yang mandiri dan tangguh. Ironisnya, data Depdiknas Tahun 2006 menyebutkan hampir 65% guru di Indonesia tidak layak mengajar.

Data itu sangat mencengangkan. Sebab, dari data itu bisa disimpulkan, selama ini anak-anak bangsa ini dididik oleh guru-guru yang sejatinya tidak layak menjadi guru. Pendidikan anak-anak bangsa ini diserahkan kepada guru yang tidak bermutu dan tidak professional. Akibatnya, generasi bangsa ini tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Bangsa ini masih tetap menjadi bangsa paling korup di dunia. Budaya kekerasan, cepat putus asa, tidak mandiri dan ingin kaya tanpa kerja keras, adalah karakter pendidikan yang muncul akibat tidak bermutunya guru. Anggaran pendidikan harus menyentuh ranah ini sebagai skala prioritas.

Ketiga, infrastruktur pendidikan. Masalah infrastruktur pendidikan memang selalu menghiasi halaman depan pendidikan nasional. Masih banyak dijumpai sekolah yang mirip kandang ayam. Tak hanya di daerah terpencil, bahkan di Ibu Kota, sebuah sekolah dasar pun ambruk. Pembangunan infrastruktur pendidikan sama sekali tidak disentuh oleh pemerintah pusat maupun daerah. Fakta-fakta itu menjadi bukti nyata betapa infrastruktur memang menjadi prioritas program pemerintah ketika terjadi booming anggaran seperti sekarang ini.

Tiga pilar pendidikan itu tidak ditangguhkan lagi. Siswa harus bisa mengakses pendidikan dengan mudah, lengkap dengan buku teks dan perangkat pembelajaran lainnya. Guru juga harus lebih bermutu dan professional dengan tidak meninggalkan peningkatan kesejahteraannya. Infrastruktur pendidikan juga harus menjadi layak huni dan bisa menjadi tempat pembelajaran yang modern dan menyatukan potensi global.

Agar tiga pilar ini bisa terlaksana dengan baik, Komisi Pemberantasan Korupsi memang harus menjadi anjing penjaga yang baik. KPK seharusnya menjadi anjing yang tidak hanya bisa menggigit maling tetapi mencegah siapa pun agar tidak menjadi maling. KPK perlu segera masuk ke institusi pendidikan dan bersama-sama membrifing birokrasi pendidikan agar tidak menjadi korup. (***)

Guru SMUM 15 Jakarta

Read More......
| 0 komentar ]

Menjadi Guru Berbasis Internet
Drs. Farid Faruq

Dunia itu semakin datar. Segala informasi begitu cepat dan mudah diakses. Dunia ilmu pengetahuan begitu mudah didapatkan hanya dengan sekali klik. Semuanya menjadi serba mudah, murah, dan menyenangkan (3M). Generasi muda kini menjadi generasi yang serba cepat dan terkadang instan.

Sekolah rupanya belum seratus persen menyadari masalah ini. Dunia yang semakin datar tidak diantisipasi dengan cepat dan tepat. Betul, sekolah telah mengembangkan jaringan pendidikan nasional (jardiknas). Tetapi, jaringan ini seolah tanpa arti karena tidak dioptimalkan. Betul juga sudah ada berbagai fasilitas Depdiknas yang dikatkan dengan dunia internet. Tetapi, sudahkan Depdiknas mengimbanginya dengan memberikan pendidikan bagi guru agar lebih melek internet? Ini yang belum disentuh.

Guru berbasis internet masih merupakan mitos. Ini terjadi karena selama ini guru lebih disibukkan oleh metodologi pengajaran konvensional, berceramah di depan kelas. Guru seolah resisten terhadap berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Padahal, guru seharusnya menjadi peselanjar andal yang harus mengarungi derasnya ombak agar bisa memberikan pelajaran terbaik sebagai bekas kehidupan di masa akan datang bagi murid-muridnya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana guru mengajarkan ilmu-ilmu usang kepada siswa padahal siswa harus menghadapi dunia masa depan yang lebih global dan serba super ini.
Persaingan global tidaklah mudah. Siswa harus memiliki banyak keahlian, keterampilan, dan kreativitas (3K). Tanpa 3K itu, sulit sekali siswa bisa melakukan penetrasi terhadap kompetisi global.

Untuk mencapai tahap itu, kuncinya terletak pada guru. Selain membekali siswanya keahlian ilmu, guru merupakan fasilitator dan mediator untuk meningkakan keterampilan dan kreatifitas siswa. Di tangan geneasi muda bangsa ini akan diserahkan. Jika guru di sekolah tidak memiliki kompetensi global, tidak mahir memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dan tidak kreatif dalam melakukan pembelajaran, sulit membayangkan bagaimana generasi muda ke depan dalam menghadapi dunia global yang semakin datar ini.

Di era sekarang ini, guru memang banyak dituntut memperbaiki kualitas dirinya. Di era teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju pesat, guru juga dituntut menguasai dan memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk pembelajran. Menjadi guru berbasis internet sangat penting. Lebih penting lagi guru yang bisa menggunakan fasilitas internet dalam pembelajaran. Hakikatnya guru adalah fasilitator, mediator, dan transformator berbagai ilmu dan sumber daya.

Kini saatnya, pendidikan guru dalam menguasai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi diutamakan. Semua pihak, tak hanya pemerintah, perlu berlomba-lomba melakukan upaya untuk serius mendidik guru agar lebih sadar memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran.

Untuk sementara, guru sebaiknya mengabaikan factor negatif di internet. Dengan bekal moral yang baik, guru bisa menepis berbagai efek buruk itu. Termasuk juga mengajarkan agar siswa memanfaatkan teknologi untuk kebaikan dan bukan mencari hal-hal yang buruk. Sudah saatnya guru tidak memandang kemajuan teknologi sebagai sesuatu yang negative. Sudah saatnya guru bangkit melawan stigmatisasi dirinya sendiri. (***)

***Penulis, praktisi pendidikan

Read More......
| 0 komentar ]

Meniru Pendidikan Laskar Pelangi
Drs. Farid Faruq

Saat ini, film Laskar Pelangi menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Mulai presiden hingga guru-guru di sekolah memanfaatkan ke gedung bioskop dan menonton indahnya film besutan Riri Riza ini. Film yang diadopsi dari novel Andrea Hirata ini bercerita tentang kegigihan anak-anak miskin di Pulai Belitong menempuh pendidikan.

Kisah ini sejatinya amat sederhana. Anak-anak miskin yang gigih bersekolah dan guru yang terus bersemangat mengajar anak-anak miskin di tanah air yang paling kaya di Indonesia itu. Pendidikan sejatinya diawali dari sini, sebuah kesederhanaan cita-cita, yaitu semangat menempuh pendidikan, semengat mencari ilmu, dan semangat mengajar, mendidik, melatih, mengevaluasi hasil pengajaran kepada anak didiknya.

Film Laskar Pelangi memberi hamparan hikmah yang luar biasa dalam pendidikan di negeri ini. Impitan ekonomi, rusaknya infrastruktur pendidikan, tingginya diskriminasi, jurang si kaya dan si miskin, tidak melemahan semangat mencari ilmu dan menaruh harapan, menaruh impian dan cita-cita. Anak-anak bangsa ini perlu diajari untuk bermimpi mengejar cita-cita, mengejar harapan, dengan semangat, kemandirian, ketangguhan, dan kerja keras. Tidak ada kata kenal menyerah untuk sebuah mimpi, untuk sebuah harapan. Dari impian itu pula, Andre Hirata, sang penulis novel, sejatinya ingin mengajarkan kekuatan internal, mental dan semangat juang yang tak pernah ada habisnya.

Film ini mengilhami banyak hal. Tetapi, setidkanya ada dua hal utama yang perlu dibicarakan. Pertama, di tengah eksploitasi kekayaan alam di negeri ini, justeru anak-anak yang bertempat tinggal di daerah eksploitasi nyaris tidak memperoleh hak untuk belajar. Mereka nyaris tidak bisa sekolah karena ketiadaan sekolah yang layak, baju atau sepatu untuk pergi-pulang sekolah. Anak-anak ini harus menempul bermil-mil jauhnya untuk bisa sekolah. Kekayaan alam tidak memberi jaminan kepada masyarakat untuk hidup layak, termasuk memenuhi hak dasar yakni pendidikan.

Kedua, film ini merupakan gambaran nyata bahwa pendidikan harus menjadi tiang utama bangunan bangsa dan negara. Di tengah kesulitan apa pun, pendidikan harus tetap bisa dilaksanakan. Meski bangunan sekolah seperti kandang ayam dan nyaris runtuh, pendidikan harus tetap berjalan. Perlu orang-orang seperti Ibu guru Muslimah yang dengan gigih dan tekun membimbing anak-anak miskin ini untuk tetap bisa sekolah, tetap bisa memupuk cita-cita, mimpi, dan harapannya.

Ibu Guru Muslimah bisa menjadi profil guru utama. Ia tidak saja kesulitan memenuhi hidupya sendiri karena berbulan-bulan tidka digaji oleh sekolah. Tetapi ia mnegabdikan dirinya untuk anak-anak. Ia menolak tawaran bekerja di tempat yang bergaji besar dan mewah. Ia tetap memilih mengajar di kelas rakyat yang bangunan sekolahnya nyaris ambruk. Ia sadar, anak-anak miskin ini mempunyai hak yang sama dengan anak-anak orang kaya untuk bisa sekolah. Ia tidak bisa meninggalkan hak-hak mereka demi ego pribadi agar bisa menerima gaji besar dan hidup layak.

Guru sejati seharusnya lebih mementingkan masalah ini. Bahwa di dalam diri guru sejatinya ada hak anak-anak yang tidak bisa sekolah, tidak bisa menuntut ilmu. Guru hars mengajari mereka dan membimbing mereka agar kelak di kemudian hari anak-anak kurang mampu ini bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan anak-anak lainnya bahkan dengan anak-anak di seluruh dunia. (***)

***Drs. Farid Faruq
Praktisi Pendidikan

Read More......
| 0 komentar ]

Mencari Makna Demo Mahasiswa
Bahtiar

Demo mahasiswa rusuh. Benarkah? Pertanyaan ini penting guna memberikan background mengapa mahasiswa melakukan gerakan parlemen jalanan seperti itu. Mari kita melihat lagi aksi demo mahasiswa 1998. Siapakah yang saat itu menggunakan istilah demo mahasiswa rusuh. Padahal, tak sedikit mobil yang dibakar dan pagar DPR berulang kali dirobohkan. Bentrokan mahasiswa aparat sering kali terjadi. Bahkan, aparat dengan peluru tajam menembaki mahasiswa yang tak berdosa di Kampus Trisakti. Benarkah demo mahasiswa rusuh?

Betul, bahwa pagar DR dirobohkan mahasiswa dan mobil polisi dihancurkan demonstran waktu itu. Juga sebuah mobil Avanza milik pemerintah dibakar di Semanggi. Juga tidak salah mahasiswa melempari aparat kepolisian dengan batu-batu. Tetapi, lagi-lagi ini hanyalah akibat dan bukan sebab. Ini ekses dari sebuah rezim otoriter dan tiran.

Mari kita lihat satu per satu persoalannya. Demo mahasiswa bukan kali ini saja dilakukan. Mahasiswa bahkan nyaris mengepung Istana Negara dan meminta Presiden SBY membatalkan kenaikan harga BBM. Seluruh mahasiswa di hampir seluruh daerah menyurakan hal yang sama: jangan naikkan harga BBM. Sejumlah kepala daerah bahkan menolak menyalurkna bantuan langsung tunai (BLT). Saat itu, mahasiswa menyuarakan dengan tertib dan santun.

Tetapi, apa yang terjadi. Pemerintah tetap saja menaikkan harga BBM. DPR, lembaga yang diharapkan, bisa menyalurkan aspirasi masyarakat ternyata juga mandul. Mereka tak melakukan gerakan apa-apa. Interpelasi dan hak angket cuma sekadar wacana. Gerakan penolakan kenaikan harga BBM hanya dilakukan secara sporadic oleh bebarapa anggota DPR dan bukan sikap resmi DPR. Artinya, lembaga wakil rakyat ini tidak melakukan apapun terhadap kenaikan harga BBM.

Ini artinya, dengan demo baik-baik, pemerintah justru tidak menggubris mahasiswa. Seolah-olah mahasiswa buta dan tulis atas semua aspirasi yang disuarakan mahasiswa. Gerakan demi gerakan yang dilakukan di jalan tidak dianggap sama sekali. Pemerintah dengan kekuasaannya tetap menaikkan harga BBM dan sedetik itu juga terjadilah kenaikan harga sembako hingga berkali-kali lipat. Semua kebutuhan hidup naik berkali-kali.

Pada saat yang sama, aparat kepolisian justeru menjadi tameng bagi penguasa. Mereka tidak menjadi abdi negara dan abdi hukum. Polisi menjadi centeng kekuasaan. Ini terbukti dengan penyerangan yang dilakukan kepolisian terhadap aksi penolakan BBM di kampus Universitas Nasional. Mereka hanya berdemo menolak kenaikan BBM, tetapi polisi menyerbu masuk dan memukuli mahasiswa. Seorang mahasiswa Maftuh Fauzi pun tewas setelah mendapat perawatan.

Kematian mahasiswa ini ibarat sumbu bom yang sudah disulut. Apalagi, RS Pusat Pertamina (rumah sakit milik Pertamina---yang diuntungkan dengan kenaikan BBM) membuat keputusan ironis tentang kematian Maftuh Fauzi. Dokter menyebut mahasiswa meninggal akibat HIV/AIDS. Pernyataan ini memantik gerakan mahasiswa makin menyala-nyala.

Didukung oleh berbagai elemen organisasi buruh dan gerakan mahasiswa lintas generasi, mahasiswa pun bergerak. Saat itu, sedang berlangsung rapat paripurna untuk menentukan hak interpelasi atau hak angket di DPR. Mahasiswa memberi tekanan agar penolakan kenaikan harga BBM mendapat support.

Tekanan mahasiswa, pressure groups, seperti ini dilakukan dengan menggulingkan simbol keangkuhan DPR, yaitu dengan merobohkan pagar DPR. Rupanya polisi makin represif dengan menyemprotkan watercanon kea rah mahasiswa. Kontan saja mahasiswa yang sudah memendam marah atas penyerbuan ke kampus Unas membalasnya dengan merusak mobil polisi. Pengrusakan dilakukan agar polisi tidak represif. Ia digaji dan senjatanya dibeli dengan uang rakyat dan jangan digunakan untuk menindas rakyat.

Rupanya polisi tak menggubris peringatan ini. Polisi makin represif dan menangkapi mahasiswa. Akhirnya mahasiswa menyingkir ke Semanggi dan merobohkan, menggulingkan simbol kekuasaan SBY-JK yakni mobil dinas pemerintah. Setelah digulingkan, mobil dibakar. Tujuannya jelas, kekuasaan yang otoriter dan tiran harus dimusnahkan dan jangan diberikan tempat.

Tetapi, apa yang dilakukan mahasiswa justeru dianggap berbeda. Aksi mahasiswa disebut didalangi. Dalang mahasiswa adalah nasib rakyat yang makin miskin akibat kenaikan harga BBM. Merekalah yang menggerakkan mahasiswa turun gunung. Tetapi, BIN menuding nama-nama sebagai dalang kisruh. Upaya BIN ini menurut pandangan penulis hanyalah upaya pengalihan isu atas kasus penahanan mantan Deputi V BIN yang ditetapkan sebagai trsangka kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. BIN sedang cuci gudang rupanya agar rakyat tak menyoroti kebobrokan lembaga telik sandi ini.***

**Mantan aktivis 1998

Read More......
| 0 komentar ]

DKI Menyongsong Pergantian Tahun
Oleh Bahtiar

Tahun baru tinggal beberapa jam lagi. DKI Jakarta perlu memotret dirinya agar bisa ditelisik apa kelebihan, kekurangan, dan hal-hal yang bisa dilakukan tahun depan. Segala kekurangan bisa secepatnya diperbaiki dan segala kelebihan bisa dipertahankan dan menjadi potensi pembangunan ke depan.

DKI sejatinya masih saja dihadapkan pada persoalan abadi yang hampir setiap tahun selalu muncul dalam listing buku besar problematika Ibu Kota. Sejumlah masalah itu antara lain kemacetan yang tidak saja menyebabkan kerugian trilyunan rupiah per tahunnya juga menyebabkan polusi udara yang menyesakkan. Segala cara dilakukan DKI untuk mengurai kemacetan ini. Paling mutakhir adalah rencana pemajuan jam sekolah menjadi pukul 06.30, yang ditaksir banyak pihak bisa menyebabkan para pelajar kelimpungan dan para pengajar stress.

Pro-kontra itu akan segera menuai puncaknya ketika Pemprov DKI mengeluarkan peraturan gubernur awal Januari tahun depan. Saat itulah seluruh siswa akan dipaksa masuk pagi. Setelah diberlakukan dipastikan akan terjadi fakta-fakta yang selama ini hanya dipersepsikan. Apakah sekolah pagi sekali itu aman-aman saja atau justeru malah menimbulkan masalah baru yang justeru lebih runyam:

Yang juga pelik adalah masalah banjir. Ibu Kota RI ini seolah tak pernah berhenti dirundung musibah banjir. Mulai banjir dari gelombang pasang air laut hingga banjir akibat hujan deras selalu menjadi momok menakutkan warga Ibu Kota. Banjir selalu mengintip setiap awal tahun. Januari hingga Februari selalu menjadi bulan paling menakutkan bagi warga Jakarta. Dua bulan ini ditaksir hujan akan mencapai puncaknya dan air bah itu akan menjadi malapetaka. Maklu, kanal-kanal yang disediakan Pemprov DKI belum bisa menampung seluruh tumpahan air hujan. Penyerapan biopori, waduk, situ, dan gorong-gorong tak siap melahap seluruh tumpahan air hujan. Akibatnya, rumah-rumah tenggelam oleh banjir. Kota-kota satelit Jakarta seperti Depok, Tangerang dan Bekasi telah siap siaga dengan musibah tahunan ini.

Kaum miskin kota, pengangguran, urbanisasi, dan tingkat kriminalitas merupakan sedertan persoalan kependudukan yang akut. Pemprov belum bisa melakukan langkah terobosan yang manusiasi dan bisa menyelesaikan masalah. Operasi yustisi selalu saja menjadi ujung tombak untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi operasi ini justeru mendapat perlawanan warga dan LSM. Pemprov belum mampu beranjak dari kegetiran kemanusiaan selain dengan cara operasi dan razia.

Kaum miskin kota yang terus-menerus digusur juga masih menjadi bayangan menakutkan warga Jakarta yang menyakiskan secara vulgar di televise-televisi. Mereka juga manusia. Karena kekurangan ekonominya, mereka tinggal di daerah-daerah yang diharamkan Pemprov. Tetapi, mereka tak punya pilihan lain. Program rusunami dan rusun-rusun lainnya seolah hanyalah program buat mereka yang berduit. Kaum miskin kota tinggal mendengarkan dan mengutuk dirinya sendiri mengapa bertahun-tahun masih saja miskin dan miskin, digusur dan digusur. Berbagai kebijakan untuk golongan ini tak pernah selesai dan tak pernah sejalalan dengan rel keadilan. Diskriminasi begitu tinggi. Seolah-olah Jakarta hanya untuk orang kaya.

Kaum miskin kota dilarang tinggal apalagi menikmati fasilitasnya.
Tahun 200 di depan mata. Saatnya Pemprov DKI menunjukkan kepedulian kepada seluruh lapisan warga Jakarta dan melayaninya dengan sepenuh hati, dengan uang rakyat yang telah diamanahkan. Selamat tahun baru Islam 1430 hijriyah dan selamat tahun baru masehi 2009. (***)

Read More......
| 0 komentar ]

Percakapan Pak Otrah dengan Malaikat


Pak Otrah (PO) tidur lemas. Kesadarannya nol. Ia normal dalam dunia lainRupaya ia bertemu malaikat pencabut nyawa berinisial (IZ)

PO : Kamu siapa?
IZ : Aku malaikat(Pak Otrah gemetar bukan kepalang. Ia menggigil)

PO : Mengapa kamu ke sini
IZ : Aku barusan baca koran, katanya kamu meninggal. Apa benar kamu meninggal(Pak Otrah makin kedinginan. Bibirnya terkatup rapat. Dokter menyebut hemoglobin menurun drastic dan terjadi kegagalan multiorgan. Dokter memasang ventilator.)

PO : Mengapa kau tanyakan itu kepadaku. Bukankah mati hidupnya seseorang urusan Tuhanmu dan kamu yang melaksanakannya.
IZ : Aku masih PK. Kamu divonis mati. Pengadilan banding dan kasasi juga demikian. Tapi, aku merasa, sebaiknya aku gunakan seluruh jalur hukum yang ada hingga tuntas. Bukankah PK tak dilarang dalam aturan hokum.(Izroil membawa tongkat dan buku catatan setebal gunung semeru)

PO : Itu apa kok tinggi banget tumpukan bukunya?
IZ : Itu catatan dosamu(Pak Otrah langsung koma. Tim dokter menggelar konferensi pers dan menyatakan Pak Otrah kolaps). Begitu ia sadar lagi, Pak Otrah bertanya lagi.

PO : Lalu yang itu apa? (Ia menunjuk lautan)
IZ : Itu juga dosamu yang luasnya melebihi luas lautan di negerimu(Pak Otrah koma lagi. Tim dokter menggelar konferensi pers dan menyebut terjadi kegawatan yang sangat. Menteri Kesehatan menyebut terjadi kehidupan palsu. Begitu sadar, Pak Otrah bertanya lagi)

PO : Lantas, yang ada di tanganmu (Pak Otrah menunjuk tongkat)
IZ : Oh itu kan tongkatmu

PO : Kenapa ada di kamu
IZ : Aku disuruh menjadikan tongkat ini sebuah naga raksasa.

PO : Untuk apa naga itu?
IZ : Untuk mengunyah-ngunyah kepalamu(Pak Otrah tak bangun lagi).

Pengadilan menolak PK Pak Otrah.


Jakarta, 15 Januari 2008Habe Arifin

Read More......