| 0 komentar ]

Wedus Combro Buka-bukaan
***Beber Amplop dari Beranda

Wedus Combro tertawa ngakak, ketika ditemui Fiksinews di rumahnya yang wah, di bilangan Mentang. Kumisnya seperti irisan keju. Bergerak ke atas ke bawah mengikuti intonasi ngakaknya. “Orang-orang kutipu, eh percaya juga, wua ka ka kak,” tertawanya sama persis dengan penonton ludruk Kartolo. Ia menyilangkan kakinya dan terbatuk-batuk. Ditenggaknya segelas mini whisky merah “tegluk…”
Wedus Combro mengumbar banyak rahasia. Pertemuannya di hotel Darma bersama Beranda dibuka lebar-lebar. “Fraksi terlibat. Kita terima dari fraksi,” kata Wedus Combro. Ia mulai tenang. Batuknya mereda dan “irisan keju” itu dielus-elus dengan dengan sisa whisky yang menempel di jarinya. Lima belas travel cek dibuka dibeber di depan meja. “Coba lihat, ini cek dari Beranda,” tuturnya sambil menarik tangan Fiksinews yang coba mengabadikannya dengan jepretan kamera poket.
Waktu itu senja belum masuk ketika Beranda dan seluruh pimpinan fraksi-fraksi di Dewan Perhitungan Rakyat (DPR) dan anggota Komisi Perduitan menggelar pertemuan. Sebuah ruangan cukup besar yang menampung hampir 50 orang. “Kalau Anda memilih saya, ini hadiahnya,” Wedus Combro menyitir pernyataan Beranda. Lima buah tas koper besar diletakkan di atas meja oleh anak buah Beranda. Satu koper dibuka. Semua yang hadir berdiri dan menyorongkan mukanya ke atas koper. “Saya duduk paling dekat. Uang itu pecahan Rp 100 ribu,” Wedus mempraktikkan gerakannya saat pertemuan bersama Beranda.
“Oke,” sambung Wedus menirukan ketua fraksi Partai Berjuang Terus. “Saya instruksikan, semua Fraksi Berjuang Terus memilih Beranda.” Wedus Combro waktu itu menyela,” Pembagiannya berapaan ya. Saya ingin travel cek sajalah, lebih mudah,” katanya. Saat itu juga ketua fraksi Berjuang menyela,” Bu Beranda sebaiknya memberikan cek saja. Simpanlah uang tunai itu. Lagian kantong kami kan tak cukup. Pokoknya ibu akan kami pilih,” katanya seperti ditirukan Wedus Combro sambil menggerakkan hidungnya yag sedikit gatal.
Beberapa utusan fraksi, seperti Fraksi Gulung Tikar, Fraksi Ingin Sejahtera dan Ingin Adil, Fraksi Angin Lalu, Fraksi Demo Terus, dan lainnya hanya bisa mengangguk. Disepakati ketua fraksi mendapatkan travel cek Rp 5 milyar. Anggota fraksi mendapatkan Rp 1 milyar. Amplop dibagikan tertutup. Sebagian ada yang membuka dan mencocokkan dengan teman-temannya. “Hei, aku dapat Rp 5 milyar ya. Kamu berapa, lima juga kan.” Beberapa orang saling pandang. Ada yang tidak sama.

Ketua Fraksi Ingin Sejahtera dan Ingin Adil mengumpulkan uangnya menjadi satu kemudian dibagi rata. “Oke. Kita adil kan. Uangnya kita bagi rata. Anggota dan ketua sama saja. Yang penting kita juga bagi untuk fakir miskin, kaum dhuafa, anak yatim, dan setoran ke partai. Adil ya,” ketua fraksi mengomando dan anggota fraksi mengamini. Seorang anggota mengangkat tangan dan berdoa. “Ya Allah terima kasih telah Engkau beri rezeki yang tidak aku sangka-sangka. Semoga uang ini berkah. Amiin.”

Ketua Fraksi Gulung Tikar tidak banyak bicara. Dia memasukkan amplop dan langsung pulang. Seluruh anggotanya juga tak banyak ba bi bu. “Hoi, jangan lupa pilih aku,” teriak Beranda, seperti ditirukan Wedus Combro.

Begitu semua yang hadir pulang, Wedus Combro mendekati Beranda yang masih duduk di meja. “Boleh minta tambahan Bu. Saya mau ganti mobil nih,” katanya. Wedus pun mendapat tambahan beberapa lembar cek. Totalnya Rp 5 milyar.

Lima hari kemudian, pemilihan di gedung Dewan Perhitungan Rakyat (DPR), Beranda dinobatkan lolos menjadi salah satu petinggi di Bank Ino. Beranda senang dan memanggil Wedus Combro. “Dus, isterimu berapa,” tanyanya. “Baru satu,” Wedus nyengir ditanya begitu. “Aku udah pesenin kamar 501. Di sana sudah menunggu cewek cantik yang siap melayanimu,” Beranda menyerahkan kunci dan pergi begitu saja.

Wedus Combro bergegas pergi ke hotel dan membuka pintu. “Nah, wanita itu kini jadi isteri keduaku. Nduk, merinio (ke sini, red) Nduk,” wedus Combro memanggil isterinya. “Kenalin, Elmai,” cewek itu menggenggam tangan Fiksinews. “Bajingan,” bisik Fiksinews sambil tetap ramah. Luna Maya pun kalah telak: 5-0. Wedus Combro kembali menenggak whisky-nya sambil bersandar ke dada Elmai yang montok. Bebrapa lembar travel cek masih berhamburan di meja. (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Rudi, Lima Menit Sebelum Diadili
(21/8/08)

Pria berkemeja garis-garis itu menyatroni Rudi, di ruang tunggu. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya klimis. Mulutnya bau sigaret, tapi parfumnya Italia. Tiga penjaga tak kuasa menahannya. ”Jenderal,” bisiknya, persis di gendang telinga Rudi. “Kita yang nanggung keluarga, tujuh turunan. Sabar, jenderal.” Sang jenderal kecut. “Bagaimana si Blacky, si Chacky, si Dhacky, apa juga kena. Kenapa cuma gw,” pahanya setengah diangkat. Dua kali kentutnya ditahan. Kali ini ambrol dan parfum Italia itu ditelannya dalam-dalam.

Ruangan pengab. Semua tutup hidung. “Chacky tidak bisa diganggu,” bisik sang pria itu belingsatan. Mulutnya tak di telinga Rudi lagi. “Dhacky?” “Ke luar negeri.” Rudi berdiri dan menyisir rambutnya. Kancing atas kemeja dalamnya dibuka dua. Jaket cokelat muda setengah krem dibiarkan tergerai, menjuntai ke bawah. Terlihat perutnya sedikit gendut. “Perkawanan kita bubar. Gw akan melawan,” teriak Rudi.

Pria itu terkesiap. Irama napasnya menjadi orkestra. Dua kali ia melakukan operasi jantung di Singapura. Dua kali pula ia nyaris binasa. Kini, untuk kali ketiga, sang pria kuning langsat itu tak bisa menyembunyikan kegalauannya. “Jenderal gilaaaaaaaaaaaaa!!!!” Ia berlari menjebol pintu. Tiga lembar travel cek berjatuhan. Dua bloknote berisi catatan rencana pembunuhan Kurir lengkap dengan jadwal, rute, pelaku, pendukung, alat transportasi, kontak person, dan plan A-Z tercerai berai. Wartawan melihatnya dengan tatapan kosong: ( si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Detik-detik Eksekusi Muklis

“Kita tidak akan pernah menyerah kepada orang-orang kafir. Mereka pantas dibunuh, mereka pantas dihabisi. Allah memerintahkan kepadaku, orang-orang kafir itu akan selalu memerangi kaum muslimin sampai orang muslim itu mengikuti keinginan mereka. Kita jangan pernah tunduk apalagi menyerah, Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar,” suara Muklis menggelegar begitu jeruji penjara dibuka dan tiga prajurit merangsek. Kepalan tangan Muklis ke udara seketika dibekuk. Rantai borgol menggiringnya ke tengkuk.

Muklis masih memakai sarung dan koko sekadarnya. Gamisnya tertancap di paku tembok. Kopiah putih tergeletak di lantai. Dua buku bertumpuk di pojok bersama sajadah yang belum terlipat. Ruangan tiga kali dua itu serasa sumpek. Lumut hijau seperti ukiran batik, nempel di dinding yang dingin. Atap plafon dibeton. Jeruji-jeruji besi kamar seperti barisan pasukan Nazi yang siap mencerabut ruh.

Matanya baru saja terlelap, ketika suara gembok dibuka dan tiga prajurit merangsek. Muklis terkejut. Ia bangkit dan dua hardikan sepatu lars mengiris tulang kerasnya, “dukk..!!”. Ayah dari Nisa, Ani, Ina, dan Ica itu langsung tertunduk. Bola matanya merah. Dengusnya berdarah. Dan, teriakan itu lantas menggelegar, mengumandangkan permusuhan. “Aku tak akan menyerah: bajingan, kafir, zionis, yahud!!” Serapah Muklis terusik. Jantungnya bergolak. Nadinya keras berdetak.

Di luar kamar, satu kompi pasukan khusus tembak seperti baru memulai operasi petrus. Belasan mobil angkut pasukan, lima ambulan, dua jip, lima sedan, dan sepuluh motor besar lalu lalang. Suara bising handy talky menyadarkan Muklis: “aku akan dieksekusi malam ini.” Matanya melihat bintang, tetapi seorang perwira cepat datang dan mengarugi kepalanya dengan karung goni. “Setan, kamu!!” umpat sang perwira bintang dua.

Muklis digelandang. Jejak kakinya meneteskan darah. Ia tak bersendal. Dua kali sepatu lars melesakkan tendangan. Muklis terus berkumandang, meneriakkan rapalan perjuangan. “Di Afghanistan, aku tak menyerah. Di sini, aku tak kan pernah tunduk. Hei, bangkitlah kaum muslimin. Kita lawan kaum kafir,” suaranya serak, terdengar sayup-sayup. Dua gagak melintas di langit dan berkoak… “koaaaakkk..koaakkk.”

Ia belum menyisir rambut. Ia belum berdoa. Ia belum assalamualaikum kepada malaikat agar dibukakan pintu surga. Ia belum melihat bidadari cantik yang menyambutnya di tepian sungai keabadian. Muklis telah dibawa bersama truk tentara ke pinggiran hutan. Tetapi, suara-suara binatang malam terus memanjatkan doa untuknya. Getaran tanah dari pijakan roda membacakan shalawat badar. Gemerisik angin seperti zikir kemenangan untuknya. Napas para serdadu yang didengarnya seperti kumandang azan untuk keberangkatannya menuju surga keabadian.

Muklis duduk di lantai truk. Sarungnya melorot hingga ke kaki. Ia hanya pakai kolor lusuh. Tampak bekas sobekan yang baru saja dijahit tangan. Muklis menggelepar-gelepar. Sepuluh senjata siap kokang di jidatnya. Prajurit bergaji pak ogah itu sami’na waato’na pada tugasnya. Mereka begitu tegang. Guncangan badan truk tak mengubah pendiriannya. Serdadu seperti peluru…, serdadu seperti peluru. “Hoiiii…buka penutup kepalaku….buka karung goni ini…banyak kecoa!!” Suara itu terdengar begitu keras. Sang serdadu tetap saja seperti peluru.

Tiba di tanah lapang. Muklis dilempar dari atas truk “brukk.” Satu dua kecoa melompat keluar. Sepasukan regu tembak segera merubungnya. Muklis kembali digelandang 300 meter dari tanah datar. Di sebuah pohon turi, Muklis diikat. Kakinya menggantung, badannya meronta-ronta. Tubuhnya menjadi sasaran seratus sniper. Muklis seperti musang kalah perang.

Para sniper menunggu aba-aba. Perwira bintang dua berdehem dua kali sebelum memberi petuah. “Tembak persis di dada kirinya!” Seratus senjata serentak bergeser ke kiri. “Tunggu perintah dari saya dan langsung shoot!!” Sang perwira melangkah mundur. Tangannya memberi komando. “Shoot!!” “door!!” Karung goni di kepala Muklis bergoyang. Tak ada teriakan. “Shoot!!” “door!!” Karung goni di kepala Muklis kembali bergetar. Sakaratul maut belum juga terdengar. “Shoot!!” “door…door..door..door!!”

Koko Muklis berwarna darah. Seperti aliran banjir bandang, darah itu meluncur deras dari karung goni menuju leher, merembes ke baju dan menghunjam ke semak-semak. Aungan serigala terdengar seperti melodi kematian. Dua gagak kembali melintas di atas kepala Muklik, “koaaakkk…koaaakkk.” Jengekrik dan ngengat menyanyikan kesedihan. Suara azan tiba-tiba berkumandang. Seorang serdadu roboh. Di dada kirinya ratusan amunisi bersarang. (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Detik-detik Eksekusi Zi Bin Amrodi

Zi merapikan rambutnya yang panjang. Beberapa tampak memutih. Jenggotnya sepuluh senti, hitam-putih. Zi mengelus jenggotnya tiga kali, mengelap rambutnya tiga kali, dan mengusap wajahnya tiga kali. “Ya, Allah, hari ini surga-Mu terbuka untukku,” bibirnya tersenyum. Hatinya berbunga.

Di pelupuknya, penjaga surga sudah memanggilnya berkali-kali. Suara dari surga menyebarkan kedatangannya. “Ahlan wasahlan Zi Bin Amrodi, ahlan wasahlan…come in please, silakan masuk wahai para syuhada.” Seperti suara azan, penyambutan atas Zi Bin Amrodi membahana ke seluruh surga. Orang-orang berbaju putih-putih menanti penuh harap.

Zi bergegas mengambil surban, gamis, dan memercikinya dengan kasturi. Terompah kulit yang baru dibawakan isteri keduanya langsung dipasangkan ke telapaknya. “Isteriku, rasanya tak sabar aku menantimu di surgaku. Ingin rasanya aku mengajakmu sekarang. Tapi, sudahlah, kau besarkan dulu anakku yang kusemai di rahimmu. Ia akan lebih hebat dari bapaknya. Kalau sekarang hanya 200 ribu, 20 tahun lagi, mungkin 2 juta nyawa kafirin itu akan melayang,” Zi melamun.

Para penjaga tak sabar. Beberapa polisi memegang mesin pencabut nyawa di depan kamar. “Zi,” komandan pasukan menegur. Waktu semakin pendek. Upacara eksekusi segera dilakukan. Regu tembak telah disiapkan.

Seorang ustad duduk memandangi Zi. Setelah mengucap istighfar tiga kali, Zi duduk di hadapan sang ustad. Keduanya taqorrub Ilallah. “Ikhlaskan hatimu Zi. Engkau dinantikan ribuan bidadari di surga. Parfumnya sudah tercium di kamar penjara ini,” sang Ustad menadahkan tangannya dan berdoa. Zi mengamini.

Semenit kemudian, setelah tangan mengusap wajah, Zi bangkit. Tangannya mengepal ke udara. Suaranya merobek keheningan malam.” Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…!!” Sepuluh penjaga mengapitnya erat-erat. Tangannya diborgol. Zi digelandang ke mobil tahanan. “Kau tak akan mati sia-sia wahai para mujahid. Kamu akan dimasukkan ke dalam surga dan ribuan bidadari menyambutmu. Kamu akan kekal selamanya, bahagia selamanya,” Zi mencerami sepuluh pasukan pengawal.

Sepuluh prajurit bersenjata lengkap, memakai jaket antipeluru, itu diam. Matanya memandang atap. Tak melirik, tak tersenyum. Zi terus berceramah. Guncangan mobil tak bersirine itu membelah kerumunan semak-semak. Di kanan kiri, pohon trembesi berdiri seperti gua al kahfi. Dua mobil tahanan menyusuri jalan tak lebar menuju Permisan. Ombak terdengar menyalak. Berdebur-debur memahat pantai. Dingin malam menyerusuk tulang. Di kejauhan, lentera berkedip. Pabrik industri di Cilacap sayup-sayup mengepulkan asap. Pabrik semen ikut melukisi langit biru gelap. Zi memuntahkan dalil-dalil ke sepuluh telinga prajurit. “Kafir harus dibunuh, kafir itu najis.”

Tak sampai tiga puluh menit, mobil tahanan memasuki jalan setapak, di samping Permisan, menuju ke pantai. Sungai kecil tampak berkilauan. Di tengah laut, sebuah sangkur besar tertancap di batu. Debur ombak terus menampar-nampar malam. Angin laut bertiup kencang, melipat kantuk yang sedang menggeliat.

Sepasukan prajurit mengepung mobil senjata terhunus di dada. Zi dikempit pasukan. Popornya menampar-nampar mukanya. “Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Terompahnya terjatuh. Gamisnya tersingkap oleh derasnya angin pantai. Surbannya melorot. “Tolong, tolong surbanku,” Zi coba berhenti melangkah. Prajurit terus menggelandangnya. “Jahanam…!” Zi melototkan matanya.

Surban ZI terbang dihempas angina, tinggi…tinggii…lalu diputar-putar angin di udara, dibawa ke atas pantai, terus tinggi ke tengah laut dan tiba-tiba meluncur deras menghunjam ke bawah, menuju sangkur yang tertancap di atas batu karas. Surban itu menyelimutinya dari cipratan ombak.

Di tengah pantai, sepasukan regu tembak disiapkan. Dari jarak seratus meter, sebuah tiang ditancamkan tegak. Zi diikat kuat-kuat, dibiarkan sendiri, menjemput maut. Pasukan bergeser, menjauh. Seorang algojo maju dan menutupi kepal Zi dengan kain hitam. Zi tak melihat. Ia tersenyum. “Ya Allah, betapa indah pertemuanku nanti,” katanya. Sesobek ayat kitab suci dibacanya. “Tidak ada daya dan kekuatan hanyalah milik-MU Ya Allah,” Zi komat-kamit. Beristighfar, merapal apa saja.

Ia seperti sedang menaiki Garuda, terbang ke udara, melayang-layang, melihat pemandangan, melihat bumi tempat manusia bermain-main. Zi terus melayang, ke udara tertinggi, menuju langit, menerabas mendung. Zi menyapa malaikat, menyalaminya dan menciumi keningnya. Zi melihat ribuan bidadari berbaris rapi, melambaikan tangan ke arahnya, menyambut kedatangannya. “Ahlan wasahlan ya Zi Bin Amrodi.” Kasturi di mana-mana. Air mengalir jernih. Keabadian datang dengan kemewahan. Zi tersenyum, tersenyum, terus tinggi dan tinggi.. Zi tak merasakan apapun. Zi menikmati keindahan, kebahagiaan.

Sepasukan prajurit pencabut nyawa itu lemas. Ribuan peluru telah ditembakkan. Tak satu pun yang membuat Zi terkulai. Pasukan lain ikut memberondongkan amunisi. Zi tetap tegak berdiri. Gamisnya tetap putih. Tak ada bercak darah. Kakinya menginjak tanah. Terompah kirinya hilang. Zi tetap tegak. Ia tak pernah tertembak. Zi…di mana kau. Gamis itu tetap berdiri tegak di tiang eksekusi. Di mana kau Zi…!! (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Sepuluh Menit di Ruang Kapol

JAKARTA - Rizali tampak bergegas menaiki tangga. Sepatunya sempat terlepas. Jas hitam , celana hitam, wewangian semerbak, Rizali tetap tak percaya diri. “Siapa yang memerintahkan pemeriksaan, raja, intelijen, atau siapa,” ia menggugat dalam hati. Sempat dicegat ajudan Pak Kapol, Rizali tak menggubris. Dua ajudan Pak Kapol terkesiap. Rizali menggebrak meja Pak Kapol. “Emangnya gw maling. Siapa yang merintah loe periksa gw,” bentak Rizali setengah mabuk.

Pak Kapol tersenyum. Dia merapikan kemejanya. Beberapa tanda penghargaan dipakainya lengkap. Ia duduk di pinggir meja. “Sabarlah Bang,” tangannya mengelus pundak Rizali. “Abang kayak nggak tahu saja,” imbuhnya sambil menaikkan pantat dan berjalan memutar. Satu set meja kursi dibiarkan kosong. Rizali berdiri mematung. Pak Kapol lalu melangkah ke samping.
Rizali menurunkan tensinya. “Gw kan cuma kasih Rp 500 juta doing. Itu kan nggak besar. Masak gw harus dipenjara,” pundaknya dikernyitkan. “Tapi kan Abang belum setor ke rekening anak saya,” Pak Kapol mencari bargaining. “Sialan loe,” Rizali membanting koran pagi yang baru saja dipegangnya. Di halaman dua tertulis, “Rizali Dalangi Demo Anarkis, Kucurkan Dana Rp 500 M.” “Ini lagi, wartawan mana itu nulis kaya gini. Setan gundul. Mana punya aku uang Rp 500 milyar,” kali ini Rizali tak menyia-nyiakan empuknya sofa Italia yang mahal itu dan membanting pahanya seperti ingin melompat.

Pak Kapol duduk di depannya. “Sekarang begini Bang. Abang transfer ke rekening anakku dan nanti Abang akan diperiksa oleh perwira menengah yang jempolan. Dijamin Abang bebas,” Pak Kapol menyungging dan memberikan bullpen.
Rizali mengeluarkan cek dari balik jas. “Ini saja deh, cek. Tulis sendirilah,” Rizali menyilangkan kakinya. Matanya dipejamkan. Dalam hatinya, dia berujar, “Diancuk!!” (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Annisa Melahirkan, Aulia Ditahan

JAKARTA - Lengkap sudah kebahagiaan Annisah Pongah. Isteri Pangeran Cimalas itu berhasil memaksa tim dokter RSPI (Rumah Sakit Pongah Indah) untuk menjalankan operasi caesar, persis pada hari kemerdekaan RI ke-63. Tim dokter tak berkutik. Awalnya, kelahiran direncanakan September, agar tanggalnya sama dengan tanggal kelahiran Raja Cimalas. Namun, kebahagiaan Annisah diciderai oleh berita penahanan ayah tirinya, Aulia Pongah, oleh Komisi Pemberangus Korupsi (KPK).
Berita mengejutkan ini membuat kunjungan Raja Cimalas ke RSPI dipercepat. Di kamar Annisah, Sang Raja menelepon Ketua KPK Asal Enyahlah. “Apa benar, Aulia kamu tahan,’ Tanya Raja dalam percakapan telepon. “Terpaksa kami tahan Raja, karena bukti-bukti telah menunjukkan keterlibatannya dalam mengotaki korupsi uang Bank Inonesia,” tutur Entahlah gemetar.
Tangan sang Raja mengepal dan ditinjukan ke tembok. Suaranya gemeretak. Annisah terkejut. Jabang bayinya menangis. Pengawal raja terkesiap dan mengambil posisi siaga. “Apa kau masih kurang. Berapa lagi nomor rekening yang harus kuisi,” bentak Sang Raja. Suara di telepon itu terdengar putus-putus. “Ti …tidak Sang Raja. Apa harus kami lepas lagi,” suara di telepon makin kecil.” “Goblok!!” Handphone di genggaman Raja dibanting, “bletaakkk.”
Raja keluar ruangan. Kakinya dihentakkan ke ubin seperti langkah serdadu menuju medan pertempuran. Napasnya berdengus. Jantungnya melompat-lompat. Matanya nanar. Raja terus melangkah menuju teras. Pasukan pengawal bergeragap. Mobil disiapkan di depan pintu. Semua pengawal dalam posisi siaga. Satu, dua, tiga langah lagi Raja akan menginjakkan kakinya ke mobil. Blizz, blizzz, blizzz…kameramen mengabadikan kehadiran Raja.
Tiba-tiba Raja berhenti melangkah. Ia berdiri di samping sedan mengkilapnya. Ia melihat kerumunan wartawan dan melambaikan tangan. Bibirnya tersenyum, seolah ia baru saja menghadiri pesta kemenangan di medan perang. Berkilai-kilau rambutnya digagahi cahaya kamera. Sedetik kemudian, Raja duduk di dalam mobil dan memaki-maki Asal Enyahlah. “Saya sudah mentransfer milyaran rupiah untuk dia agar Aulia dibebaskan. Apa perintahku kurang jelas,” suaranya dimuntahkan ke ajudannya, Abi Malah Menggoreng. Abi mengernyitkan dahi. Matanya pucat seperti baru dijilat herder. (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Ryan Makan Tubuh Penjaga Tahanan

Jakarta- Ryan-to dikabarkan muntah darah di dalam tahanan. Semua penjaga panic. Seorang prajurit mendekat dan memegang kepala Ryan-to dari balik jeruji. “Mampus, loe,” katanya, kemarin. Mata Ryan merah. Mulutnya amis. Giginya gemeretak. Tiba-tiba tangan anggota kepolisian itu dipegang kuat-kuat.” Apa loe bilang,” Ryan-to mengeram seperti kesetanan. Tangan sang prajurit rendahan itu digigit hingga patah. Sang prajurit mengerang kesakitan. “Tolong, tolong,” sebuah letusan mengiringi histerianya.

Dada Ryan-to tertembus peluru. Darah mengalir hitam. Ryan-to roboh. Matanya mendelik. Mulutnya keluar begitu banyak darah. Ryan-to tergeletak. Tubuhnya kaku.

Tak berselang lama, sepuluh prajurit brsenjata lengkap datang menolong kawannya. Mereka lantas mengeluarkan Ryan-to dari tahanan. Ia dibawa ke belakang. Ke sebuah ruangan yang gelap dan dingin. Ryan-to tetap tak berkutik. Tubuhnya ditendang. Tangannya diinjak. “Bajingan loe. Tak tahu malu,” teriak salah satu dari mereka. Kemaluannya dipopor senjata. Ryan-to menjerit sambil terbatuk-batuk. Ia mengerang. Lalu, ia diam.

Setelah puas menyiksa Ryan-to, kesepuluh prajurit itu duduk, melepas senjata sambil merokok. Tiba-tiba Ryan-to bangun dan menerkam salah seorang prajurit yang sedang merokok. Lehernya digigit gingga sekepal dagingnya tersobek. Ryan-to memakan daging itu dan menikmati kuah darah segar yang mengucur deras. Ryan-to merampa senjata dan menembakkan pelurunya ke sembilan prajurit lainnya.

Markas kepolisian pun geger. Seluruh ruangan diisolasi. Tak ada yang berani mendekati ruangan tempat Ryan-to menghabisi prajurit penjaga sel tahanan. Polisi hanya berani mengimbau agar Ryan-to menyerahkan diri. Tetapi, Ryan-to justeru membalasnya dengan serentetan tembakan. Polisi menunggu hingga pagi hari.

Begitu matahari bersinar terang, polisi mengerahkan tim khusus antiteror untuk menggerebek Ryan. Begitu digerebek, Ryan sedang tertidur lelap. Di ruangan itu tampak berceceran daging basah. Hampir semua tubuh prajurit tak utuh..Ryan telah memakan tubuh prajurit semalaman..hmmmm…(siregar)

Read More......