| 0 komentar ]

Rudi, Lima Menit Sebelum Diadili
(21/8/08)

Pria berkemeja garis-garis itu menyatroni Rudi, di ruang tunggu. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya klimis. Mulutnya bau sigaret, tapi parfumnya Italia. Tiga penjaga tak kuasa menahannya. ”Jenderal,” bisiknya, persis di gendang telinga Rudi. “Kita yang nanggung keluarga, tujuh turunan. Sabar, jenderal.” Sang jenderal kecut. “Bagaimana si Blacky, si Chacky, si Dhacky, apa juga kena. Kenapa cuma gw,” pahanya setengah diangkat. Dua kali kentutnya ditahan. Kali ini ambrol dan parfum Italia itu ditelannya dalam-dalam.

Ruangan pengab. Semua tutup hidung. “Chacky tidak bisa diganggu,” bisik sang pria itu belingsatan. Mulutnya tak di telinga Rudi lagi. “Dhacky?” “Ke luar negeri.” Rudi berdiri dan menyisir rambutnya. Kancing atas kemeja dalamnya dibuka dua. Jaket cokelat muda setengah krem dibiarkan tergerai, menjuntai ke bawah. Terlihat perutnya sedikit gendut. “Perkawanan kita bubar. Gw akan melawan,” teriak Rudi.

Pria itu terkesiap. Irama napasnya menjadi orkestra. Dua kali ia melakukan operasi jantung di Singapura. Dua kali pula ia nyaris binasa. Kini, untuk kali ketiga, sang pria kuning langsat itu tak bisa menyembunyikan kegalauannya. “Jenderal gilaaaaaaaaaaaaa!!!!” Ia berlari menjebol pintu. Tiga lembar travel cek berjatuhan. Dua bloknote berisi catatan rencana pembunuhan Kurir lengkap dengan jadwal, rute, pelaku, pendukung, alat transportasi, kontak person, dan plan A-Z tercerai berai. Wartawan melihatnya dengan tatapan kosong: ( si regar)

0 komentar

Posting Komentar