| 0 komentar ]

Sebelas Nyawa Saat Sesaji Suro

Deburan ombak bersuara tenang. Langit biru mewarnai laut Pemalang tanpa dendam. Nyi Roro Kidul, legenda Ratu Laut Selatan, bahkan sedang pulas. Malam satu Suro, sang Ratu terlalu sibuk menyuci keris saktinya. Pagi itu, Lek Sopek bersama sepuluh keluarganya datang dengan sesaji. Dua gunungan, sayur-mayur, ikan laut, ayam hitam, kepala kambing kendit, dan semangkok darah segarnya. “Sedekah laut ini semoga memberi kesuburan, hasil laut melimpah, rejeki tak putus-putus, dan keselamatan,” Lek Sopek komat-kamit sendiri. Dua belas perahu nelayan lainnya berenang sama-sama ke tengah laut, mencari jarak ideal menyerahkan sesaji.

Perahu compreng Lek Sopek menyisir obak dengan berani. Dua adiknya bersama isteri anaknya dibawa serta. Tiga anak Sopek dan isterinya menggamit sesaji dengan tangannya yang basah. Percikan ombak laut Selatan meratai seluruh gunungan. Sopek berjejingkat mengangkat kakinya. Mulutnya masih kumal oleh mantra-mantra berbahasa Arab. Ia mengawalinya dengan basmalah dan dua kalimat syahadat. Tetapi sesaji entah diserahkan kepada siapa, karena Tuhan tak bermukim di sana. Sopek meniru Habil saat menyerahkan sesajinya untuk Tuhan. Keduanya tak ingin ingkar atas berkah alam. “Seperti Habil, seperti hamba Tuha yang berysukur, limpahan keberkahan kepada kami,” Sopek mengakhiri ritual mantranya.
Dingin datang dan angin laut seketika beringas. Semilirnya berubah bengal. Peci hitam Lek Sopek terlempar dan tenggelam. “Subhanallah,” Sopek terksiap. Tiga anaknya sontak menjerit,”Bapaaaakkk!!” Isteri Sopek melepas pegangan dan terjungkal ke geladak, “Brukk, aduhh, Pak eee.”
Suara-suara itu bertebaran mengisi sunyi. Nyi Roro Kidul seolah digedor dan bangun tergagap. Dua gunungan yang dibawa Sopek terangkat dan menghunjam ke laut. Dua hiu menyerangnya tanpa kemalasan. Ombak tiba-tiba menjadi gelap. Dua meter air datang seperti tembok berjalan. Keluarga Sopek histeris, “Awassss…!!” Sedetik kemudian perahu compreng itu ditikam tanpa melawan. Perahu terbalik dan tak berani berdoa untuk keselamatan penumpangnya.
Sebelas nyawa keluarga Lek Sopek disergap dingin air laut yang jernih. Seolah tanpa tenaga Sopek dan keluarganya terdorong arus ke bawah, terus meluncur mengikuti arus gasing, terus dan terus. Suara tertawa seorang perempuan tiba-tiba terdengar menyambutnya…
Laut menjadi bingung. Kedua belas perahu nelayan yang mengiringi compreng Sopek menjadi gusar. Tim SAR dikerahkan. Setengah jam kemudian sebelas mayat datang menyembul. Yang laki-laki datang dengan tengkurap. Yang perempuan muncul dengan telentang. Mereka diam sambil tersenyum. Dua gunungan telah terrain bersama darah kambing kendit dan ayam hitam pekat. Dua hiu memanggil kawanan ikan untuk menghadiri pesta. Selururuh warga kampong menangisi Sopek. Mereka bersedih, mengapa dirinya tak ikut bersama Sopek. Mereka tahu kematian saat larung sesaji satu Suro sama bersahajanya dengan berjihad memberangus ribuan tentara zionis.
Sebulan kemudian nelayan bersorak sorai. Hasil nelayan melimpah ruah. Ikan seperti datang tanpa diundang. Perahu-perahu nelayan nyaris tenggelam karena kebanyakan muatan. Berhari-hari kegirangan itu tak pernah putus. Menjadi nelayan telah menjadi impian para pemuda. Mereka ingin mengarungi bahtera. “Hidup Lek Sopek, hidup Lek Sopek,”begitu teriakan ratusan warga kampung Nelayan saat pesta panen ikan dimulai. (si regar)

Read More......
| 1 komentar ]

Rudal Irsael Merobek Jantung Ali

Baru saja Ali (9) mengerjakan PR sekolah ketika sebuah rudal jatuh di meja belajarya dan meledak. Tak hanya bukunya yang semburat, kepala, tangan, kaki, ginjal, dan jantung berceceran tak tentu arah. Potongan-potongan bagian tubuh mungil itu memulai gempuran pasukan Irsael di Guza, pagi ini.
Ali tak sempat menangis atau mengembuskan napasnya yang terakhir. Ia juga tak sempat melipat bukunya dan menyimpannya di dalam tas dan diberikan kepada gurunya esok hari. Ali bahkan tak sempat beranjak dari tempat duduknya sesenti pun. Satu-satunya yang bisa dikenali adalah dua baris kalimat di akhir yang tersobek dari buku tulisnya: “Bu guru, kata ayahku, bu guru cantik. Ayah ingin segera melamarmu. Ali.”
Sobekan kertas habis terbakar itu terbang mengikuti dentuman rudal yang terus melelehkan Guza. Ratusan orang tewas gosong tersambar bom panas. Ribuan lainnya meronta-ronta menyongsong sakaratul maut. Anak kehilangan bapak, isteri kehilangan suami. Kematian begitu dekat dan suara takbir sayup-sayup hilang. Langit tersobek di pusarnya. Matahari congkak menyiram cerlangnya. Rentetan tembakan terus dimuntahkan dan semakin hari nyawa orang-orang sipil Palestani beterbangan seperti laron.
Serangan ini diputuskan dalam sidang cabinet. Seluruh anggota parlemen mengacungkan tangan pertanda setuju. Gempuran dimulai dari sebuah gang sempit, tempat pemimpin besar partai politik Hanas, Ayatoellah Syafe’i Usman, berdiam. Tiga rumah dari bilik sempit pemimpin Hanas yang sedang berkhalwat itulah rumah Ali. Tentara Irsael menjatuhkan rudal tidak hanya di bilik sempit Syafe’i yang waktu itu sedang bertandang ke anak gadisnya yang sedang menikah di sebuah surau kecil di Ramal. “Blummm…” Rudak dijatuhkan hampir di sekujur gang. Syifa, teman sekelas Ali, juga Ridho, yang rumahnya di ujung gang, ikut bisu. Tak ada suara, rata dengan tanah. Tak ada bangunan tersisa. Ratusan rudal seolah membayar semua dendam Irsael kepada mereka.
Ali, Syifa, Ridho kemudian melanjutkan petulangan mereka di alam berbeda. Ketiganya tertawa, berlarian, menjumputi rudal-rudal kosong yang berserakan. Mereka terus tertawa dan bermain-main bersenda gurau. Sekejam Ali menghentikan anak kakinya. Ia melihat sobekan kertas di angkasa yang terombang-ambing dibawa desingnya angin. Ali mengejarnya dengan rapuh. Syifa dan Ridho menyusulnya. Ketiganya memainkan irama keceriaan, berkejar-kejaran, bersama-sama merebut kertas yang naas.
Ali menangkap kertas yang pinggirnya cokelat hitam. Ia membaca dua kalimat yang baru digoreskan. “Bu guru, kata ayahku, bu guru cantik. Ayah ingin segera melamarmu. Ali.” Seketika Ali terduduk dan menangis. Ayahnya tergolek di depannya tanpa kepala. Ibu gurunya tertatih-tatih diperkosa tentara Irsael. Ali menangis di sana, di alam berbeda dengan gurunya. “Bu guru…!!” (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Skenario Peledakan Bom

Pria itu tinggi besar. Kumisnya lebat. Mulutnya disumpal cerutu. Kakinya pongah, seperti anak-anak yang baru saja disunat. Ia tak berjenggot, juga tak mirip Osama. Ia tak berjubah, bersurban, apalagi teriak Allahu Akbar. Syahadatain saja mungkin tidak hapal. “Kamu atur saja, kapan bom dibawa dan diledakkan,” ia memerintah dengan suara gempa. Tiga pria berjenggot, berjubah hitam, bercelana semata kaki, bergegas ke ruang depan. “Antum sudah bisa bawa bomnya sekarang,” tutur satu dari tiga pria itu kepada tiga ihwan, yang tampak hitam jidatnya. Ketiga ihwan berjubah itu menangangguk. “Nanti akan ditransfer melalui nomor rekening yang antum berikan tadi,” tambahnya.

Tiga kardus lecek diangkat. Isinya 50 granat nanas aktif, belasan TNT, dan bom rakitan. Ketiga ihwan bergegas meninggalkan rumah itu dengan taksi yang sudah dipesan sebelumnya. Ketiganya meletakkan kardus-kardus itu di jok belakang. Kepada sopir taksi ketiga ihwan ini mengaku sedang berjualan buku-buku agama. “Pantesan kok tampak berat ya Ustad,” begitu sang sopir iseng.

Begitu ketiga ihwan ini menjauh, tiga pria berjenggot dan berjubah hitam itu menghampiri pria tinggi besar dan berkumis. “Bagaimana, apakah ihwan-ihwan bahlul itu sudah pergi,” kata si pria tinggi besar berkumis itu sambil meludah. Seketika tiga perawan datang dari kamar membawa tiga gelas anggur disuguhkan ke tiga pria berjenggot dan berjubah hitam. “Hahaha..mereka sudah pergi. Sekarang mana bagian ane, Bang,” kata salah satu dari ketiga pria berjenggot dan berjubah hitam itu. “Minum dulu anggurnya,” sergah pria tinggi besar dan berkumis. Tiga koper uang seratus ribuan dibanting di depan ketiganya. “Jumlahnya satu setengah milyar. Sisanya yang satu setengah milyar dibayar kalau bom sudah meledak,” kata pria tinggi besar dan berkumis.

Ketiga pria berjenggot dan berjubah itu tak banyak berkata. Ketiganya mengambil tiga koper kecil itu dengan serakah. “Hei…tunggu dulu,” si pria tinggi besar dan berkumis itu menginjak tiga koper itu dengan kasar. “Bagaimana dengan bom yang dipakai untuk menghancurkan masjid, apakah sudah dikirim dan siap diledakkan begitu sebuah gereja meledak lebih dulu,” pria tinggi besar itu menanti jawaban. “Semuanya sudah siap Bang. Tinggal nunggu perintah Abang saja, menit ke berapa bom bisa ditiup,” ujar salah satu dari ketiga pria berjenggot dan berjubah itu spontan. “Oke. Silakan bawa koper-koper ini,” pria tinggi besar itu segera meremas payudara tiga perawan yang membawa anggur dan menyerahkan ke tiga pria berjenggot dan berjubah hitam itu. Ketiga perawan itu juga sebagai imbalan untuk pekerjaan besar ini.

Si pria kini sendiri. Ia tertawa terpingkal-pingkal sampai bibirnya kesundut cerutu. “Diancuk, panas!!” Ia kembali tertawa terbahak-bahak. Dua perempuan cantik di belakangnya tak digubris. Padahal keduanya telah membuka behanya bulat-bulat. “Bagaimana bangsa ini bisa besar kalau masih ada orang-orang seperti mereka. Mudah diadu domba, wakakak, wakakak, wakakak!!!” Satu ngebom gereja, satunya ngebom masjid. “Semua aku atur rapi, agar seolah-olah terjadi permusuhan antaragama, media aku atur agar menempatkan berita ini menjadi headline terus-menerus. Tokoh-tokoh telah kusiapkan, pengacar-pengacara juga telah kubeli. Semua akan tunduk di bawah uangku, wakakak, wakakak, wakakak!!!”

Si pria tinggi besar dan berkumis terus berceloteh sendiri, padahal dua perempuan belia di belakangnya sudah tak memakai selembar benang pun. Di kanan kirinya botol-botol tuak bergelimpangan. “Kalau kondisinya aman, untuk apa latihan antiteror, nggak ada gunanya kan, atau sekedar habisin anggaran, wakakak, wakakak, atau bantuan luar negeri, wakakak, wakakak,” si pria itu mulai menyeruput perempuan belia, seperti ia minum kapucino pagi hari. “Yes boss!! I am ready. Ya Ndan, nanti aku laporan via email. Skenario telah diatur rapi dan uang telah aku distribusikan,” si pria tinggi besar itu menerima telepon dengan sigap. Lima menit ia kembali teler dan berada di perut dua perempuan belia itu.

Seminggu kemudian seluruh stasiun televisi menyiarkan berita peledakan gereja dan dibalas dengan peledakan masjid di sejumlah daerah. Presiden menetapkan negara dalam kondisi darurat dan pemilu terancam ditunda. Sementara di ujung telepon, si pria tinggi besar dan berkumis itu tertawa ngakak, wakakak, wakakak, wakakak!!! ( si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Calon Presiden Indonesia Ditentukan di Singapura

Presiden Indonesia 2009-2014 ditentukan di kota kecil di Singapura. Demikian laporan koresponden fiksinews dari Singapura, kemarin. Sejumlah utusan 10 negara berpengaruh di dunia telah melakukan rapat intensif selama tiga hari tiga malam. Mereka siap mengucurkan dana milyaran dolar AS untuk mendukung salah satu kandidat yang “diinginkan.”

Rapat dipimpin oleh seorang tokoh politik Indonesia. Ia menjadi kepanjangan tangan calon presiden yang akan maju dalam pemilu mendatang. Tokoh ini diharapkan bisa melindungi kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi sejumlah negara berpengaruh di dunia, terutama perusahaan-perusahaan mereka yang bercokol di Indonesia. Selain itu sejumlah kepentingan politik-bisnis telah disodorkan untuk dijadikan dasar kebijakan jika sang calon presiden telah dilantik secara resmi oleh MPR.

Saat ini, sepuluh negara itu telah berkomitmen mengucurkan anggaran 100 milyar dolar AS untuk mendanai kampanye sang calon. Anggaran dipatok sebesar Rp 500 milyar dolar untuk seluruh kebutuhan sang capres hingga dia dilantik. Anggaran ini diberikan tidak cuma-cuma tetapi dianggap sebagai utang politik. Jika sudah dilantik, seluruh kepentingan negara-negara yang tergabung dalam 10G itu harus diakomodasi seluruhnya. Sejumlah RUU strategis juga telah disiapkan. Scenario ekonomi Indonesia akan ditentukan oleh proposal yang telah disiapkan 10G.

Yang mencengangkan sejumlah koruptor kelas kakap, mafia narkoba, judi, dan perdagangan manusia juga melakukan rapat tertutup di tempat itu. Mereka juga mengonsep scenario dukungan terhadap salah satu calon presiden RI. Mereka juga telah menyepakati bantuan politik sebesar 200 milyar dolar AS untuk sang calon presiden. Mereka tegas-tegas menulis dokumen perlindungan bisnis haramnya agar bisa beroperasi secara legal atau semi legal di Indonesia.

Di dalam negeri sang calon presiden tetap mendapatkan simpatik dari rakyat. Sayangnya nama sang calon belum berhasil dikonfirmasi. (si regar)

Read More......