| 0 komentar ]

Betul, ia memang raja. Benar, ia adalah singa. Badannya besar, tegap, gagah, ganteng, dan disukai rakyat di hutan. Rambutnya selalu licin, tersisir rapi. Aumannya terukur, runtut, teratur, tidak meledak-ledak, dan tenang. Kaki kananya selalu menggaruk-garuk tanah jika ia bicara. Tapi ketika ada masalah, ia menunjukkan watak aslinya: Raja Singa.


Raja Singa
Suatu ketika awan tiba-tiba mendung. Dua tikus got bersama srigala dan buaya hitam bersekongkol membunuh cicak. Rekaman pembicaraan mereka merebak, didengar pohon, ilalang dan seluruh rakyat di hutan. Karena panic takut ketahuan, dua cicak ditangkap dan dipenjara oleh buaya. Sang Raja Singa seperti sakit gigi.

Para lebah mengkritik sikap sang Raja Singa sebagai impoten, tidak tegas, tak punya sikap. Ia baru saja diangkat lagi sebagai raja di hutan. Belum juga seratus hari bekerja. Tapi Sang Raja sudah membuat kepanikan, karena membiarkan aparatnya bekerja asal-asalan. “Padahal ia punya kewenangan memperjelas kasus yang diduga melibatkan aparatnya, baik buaya atau srigala, yang ikut roger-rogeran dengan tikus-tikus got,,” para lebah terus mengomel di televise yang dikelola berang-berang.

Karena telinganya tipis, sang Raja Singa, dengan tanpa dosa berdiri di podium dengan gaya santun, bersih suci, seperti tisu tanpa warna. “Kami serahkan kepada hokum. Semua kasus harus diproses sesuai hokum. Saya tidak bisa dan tidak boleh mengintervensi hokum. Tidak bisa saya meminta seseorang ditahan atau dibebaskan. Biarlah hokum yang bekerja,” kata Raja Singa sambil kipas-kipas kegerahan.

Maklum, nama sang Raja, juga tertera dalam transkrip pembicaraan antara tikus got dengan aparatnya, srigala dan buaya hitam. Para buaya hitam ini mendatangi tikus got ke hutan di luar negeri untuk membuat kesepakatan. Kedatangan mereka dibiayai tikus got, lengkap dengan servis hotel, pelayanan pijat, urut, lulur, spa, berlibur, shoping, oleh-oleh buat isteri dan anak-anak. Semua aliran dana ini terekam dalam kartu kredit si tikus got.

Suara sang Raja Singa seperti menggelitik pepohonan di hutan hingga pohon-pohon bergoyang karena geli. Para lebah kembali berdengung-dengung memintal madu. “Sang Raja Singa ini seperti kutu kupret, tak mengerti persoalan. Srigala dan buaya itu diduga terlibat bersekongkol dengan tikus got untuk membunuh cicak. Bagaimana mungkin srigala dan buaya disuruh bekerja mengusut kasus persekongkolan yang dilakukannya sendiri. Hukum apa yang akan dipakai. Hokum rimba!!”

Tiba-tiba rusa datang dan mendengarkan pendapat para lebah. “Sang Raja Singa juga bisa membentuk tim lebih independen meneliti kasus pembunuhan cicak. Tapi, ini kan Raja Singa, mau apa kita,” Rusa berbalik, berjalan ke padang rumput bersama kawanannya.

Betul ia memang Raja dan benar ia adalah singa. Tetapi kelakuannya tetap dari dulu hingga kini: Raja Singa!!!”

Dulu, seorang aktivis tupai tewas saat berloncatan di udara. Menurut dokter simpanse, ia memakan kelapa yang airnya telah diisi racun tikus. Sang Raja Singa juga tak melakukan apa-apa. Dalihnya “Raja tak boleh intervensi.” Padahal, Raja punya hak mengganti anak buahnya yang tak becus bekerja atau malah terlibat kasus yang ditanganinya. Raja juga punya wewenang mengumpulkan orang-orang yang dipercaya rakyat hutan untuk mengawasi kinerja anak buahnya selama menyelidiki kasus.

Sang Raja juga tetap Singa ketika kisruh pemilihan badak sebagai pemimpin wilayah di hutan, kisruh nama-nama pemilihnya, dan masih banyak lagi. Tak Cuma itu, kisruh pembagian rumput, air, dan terik matahari di hutan juga dibiarkan. “Rakyat seperti tak punya pemimpin. Sang Raja Singa benar-benar menjadi Raja Singa yang sesungguhnya. Rakyat hutan dipaksa menyelesaikan masalahnya sendiri,” Burung Rajawali ikut menimpali diskusi para lebah.

Angin sepoi-sepon panas menerpa forum diskusi. “Ya beginilah risiko mempunyai Raja SInga. Toh itu pilihan mayoritas rakyat kita. Siapa suruh memilih Raja Singa,” burung Hantu terbang dan menclok di dahan sambil membaca kitab berbahasa sansekerta. (Jakarta, 291009-si ragil)




Read More......
| 0 komentar ]





Hutan kali ini seperti di musim kemarau. Panas sekali, meski tidak ada kobaran api. Gerah padahal tidak menjelang hujan. Angin berembus seperti saling berbisik. Buaya hitam menangkap dua cicak putih. “Kamu itu kecil, jangan macem-macem. Memangnya kamu siapa, cicak dungu!!” petinggi buaya hitam mendengus sambil mengibas-ibaskan ekornya yang tajam. “Sekali dor, kamu juga mati.” Dua cicak dilemparkan ke rumah berduri. “Kalau nggak begini, gw bisa ancur nih…!!”

Buaya hitam melihat suara rakyat hutan mulai menyerang sarang buaya. Ini terjadi akibat para lebah yang menyebarkan berita rekaman para tikus yang ingin menghanguskan rumah cicak. Dalam rekaman itu para tikus berencana memenjarakan para cicak dan melenyapkan rumahnya dari hutan. Kemarahan tikus akibat ulah cicak yang memenjarakan teman-temannya yang baru saja menebang ribuan pohon di hutan dan dijual ke luar.


Tiba-tiba kancil datang dan membuat pengumuman."Nama saya dicatut dalam rekaman itu," katanya. Suara kancil ini membuat berita para lebah yang awalnya remang-remang semakin terang-benderang. Padahal tadinya, rekaman suara tikus, buaya hitam, dan srigala cuma berasal dari “sumber’ yang dirahasiakan. Petinggi cicak yang baru juga tak mau mengakui isi rekaman tikus, buaya hitam dan srigala yang merencanakan pembakaran rumah cicak dan memenjarakan penghuninya.

Lebah hutan penghasil madu baru saja memberi kabar mencengangkan. Mereka menulis rekaman pembicaraan buaya hitam, tikus dengan para srigala. “roger..roger…apakah dua cicak sudah digoreng,” tanya srigala penasaran. “tenang saja…sudah kita rencanakan penangkapan. "H-1 sudah setuju. Tinggal nunggu surat thok rek,!!"

Kawanan srigala belingsatan karena baru saja tersengat kabar tak sedap. Dua petinggi serigala tertangkap main kayu, merencanakan pembakaran rumah cicak di seluruh sudut-sudut hutan. Rencana jahat itu melibatkan petinggi buaya hitam yang baru saja memangsa dua cicak putih. Semut, kupu-kupu, lebah, dan berang-berang cuma bisa bertepuk tangan. Sesekali berteriak merdu, sebentar bersuara “huuuu.”
“Nama saya harus jernih, putih bersih seperti kapas. Ini pencatutan. Saya tak pernah mendukung srigala dan buaya merencanakan pembakaran rumah cicak,” Kancil mempertegas ucapannya.

Setelah turun podium, kancil mengadakan pertemuan dengan para tikus. "Tenang, habis ini kepala buaya kita copot, berikut antek-anteknya. Thanks biaya kampanyenya ya. Alihkan isu segera," kata kancil sambil menggerogoti carrot.

Belum juga dicopot, kepala buaya mengumumkan penangkapan kalajengking sang teroris. "KIta menangkap 3 kalajengking sekaligus yang melakukan pengeboman di sejumlah tempat. Mereka masih terkait kalajengking gembong teroris asal Malaysia."
Seluruh siaran televisi yang dilakukan para lebah menyiarkan penangkapan teroris. Tiga ditangkap dan lima tewas mengenaskan. Badannya hancur diberondong peluru.

Berita cicak pun tenggelam. Rakyat hutan kembali membicarakan kalajengking teroris."Gampang kan mengalihkan perhatian rakyat di hutan," tutur kepala buaya sambil berbisik, "wong mereka bakul tahu, kita sebut saja terrois. beres kan. lha wong informasinya dari saya. mantap toh, enak toh..hehehehe." (si ragil)



Read More......
| 0 komentar ]

Sumpah Sampah!!

“Sumpah aku tidak ikut merekayasa,” kata Lurah Sudrun sambil berlalu meninggalkan kerumunan wartawan. Biasanya kalau namanya dijadikan target, ia langsung berdiri di podium dan mengatakan,” Mereka ingin membunuh saya. Target diarahkan ke Pak Lurah.”



Dasar wartawan, mulutnya selalu saja usil. Sambil berlari, seorang wartawan nyeletuk lagi. ”Tapi nama Bapak terekam dalam percakapan,” si wartawan menodongkan recordernya sambil nyengir. ”Sumpah dah!! Saya tak terima uangnya. Dia cuma sekali saja ke rumah dan saya tak menyanggupi permintaannya!!” ”Lho, berarti Bapak tahu dong rencana jahat mereka?!!” ”Sumpah saya tidak tahu. Dia hanya menyodorkan selembar surat di meja dan saya tak membacanya,” Pak Lurah bergegas menuju ruang kerjanya.

Si wartawan makin panas. ”Siapa saja yang mendatangi Bapak dan apa yang disampaikannya??!!” ”Sumpah aku cuma tahu salah satu saja dari mereka. Dua lainnya aku baru tahu dari yang satunya. Sumpah saya tak mengerti. Tadinya uang itu untuk mendukung kampanye, tapi saya tak mengizinkan. Sumpah tiba-tiba banyak poster saya di mana-mana dan saya menang!! Sumpah saya tak tahu. Sumpah dah!!” (si regar)

Jakarta, 28 oktober 2008


Read More......
| 0 komentar ]

kami bukan siapa siapa

Yu Jinem berdemo siang ini di Gedung DPR. Ia mengajak serta ketiga anaknya. Jupri, anak ragil yang masih ingusan, digendongnya dengan kain selendang lusuh. Yu Jinem menguatkan air matanya agar tak tumpah di sepanjang jalan yang dilewati. Sudah terbayang gubuk dan kebun kangkungnya bakal digusur pemerintah. Ia datang bersama seratusan tetangganya, yang mengalami nasib serupa.



Dengan kakinya yang pincang sebelah, Yu Jinem mendekat ke gerbang DPR yang angkuh. Ia mendongakkan wajahnya ke atas, melihat pucuk jeruji besi yang menjulang tinggi ke langit. Air mata yang ditahannya kini tumpah. Tetapi matanya tak berpaling. Ia tetap melihat jeruji besi pintu gerbang DPR itu dengan berlinangan. ”Kami memang bukan siapa-siapa, Tuan.” Air mata itu mengajak bicara jeruji besi.

Beberapa koordinator aksi silih berganti memberi orasi. Yu Jinem tidak begitu tertarik pada teriakan-teriakan itu. Ia juga tak menyahut ketika diminta berteriak, ”hidup rakyat!! hidup rakyat!!.” Mata Yu Jinem sudah melihat anak-anaknya segera mati kelaparan jika penggusuran tetap dilakukan. ”kami memang bukan siapa siapa, tak memiliki apa apa, karena kami cuma rakyat jelata.” Air mata itu kembali mengajak jeruji besi berdialog. Seperti tak pernah mendengar, jeruji itu tak memberikan jawaban. Jeruji besi tetap berdiri mematung, keras, dan angkuh. Matanya tetap memandang ke langit. Tak pernah sedetik pun melihat ke bawah, tempat air mata Yu Jinem bergetar.

Yu Jinem jatuh terduduk. Jupri merengek di gendongan. Yu Jinem menumpahkan air mata sekuatnya. Tubuhnya roboh, kepalanya sujud setara dengan aspal. Suara permohonan tu menyayat hati, merogoh-rogoh empedu nurani, menusuk-nusuk empati. ”Le, kau dengar nak.” Yu Jinem memangku Jupri yang merintih kehausan. ”Tuan ini punya mulut tetapi ia bisu. Emak sudah berkali-kali mengajaknya bicara tetapi ia tak menjawab.” Jupri mulai menangis, tapi tak pernah terdengar suaranya. Ketua rombongan tak memberinya air mineral. Untuk sewa metromini saja mereka urunan. Yu Jinem bahkan harus berhutang ke rentenir mingguan.

Yu Jinem menenangkannya sejenak. ”Emak sudah mengadu nak. Kamu haus, emak juga haus. Gubuk kita akan digusur. Juga kebun kangkung yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan kita.” Jupri tertidur. Ia tak kuasa lagi menahan panas dan haus. Matanya tertutup rapat-rapat seperti bocah-bocah Pangandaran yang mati terkena tsunami. ”Tuan ini punya telinga tetapi tak pernah mendengar, nak. Kau sabar ya. Mugi, Gusti menolong orang-orang seperti kami yang bukan siapa siapa ini.”

Yu Jinem mengelus-elus kening Jupri. Ditiup-tiupnya hingga ia makin pulas. ”Sebentar lagi kita akan tak punya gubuk lagi. Besok pemerintah akan menggusur gubuk kita. Sabar ya nak. Emak tak tahu akan tidur di mana. Tapi emak tak mau kita jadi peminta-minta. Mengemis pemberian. Tidak, jangan seperti itu. Bapakmu pasti marah. Biarlah dia hidup tenang di alam kuburnya.”

” Semoga kelak kamu bisa tumbuh besar, menjadi orang yang suka mendengar, menjawab jika diajak bicara. Tapi emak tak mau kau menjadi anggota DPR yang duduk-duduk di gedung sana. Jangan, emak tak rela nak. Emak juga tak mau kamu menjadi presiden, kepala pemerintahan. Karena pemerintah suka menggusur orang-orang miskin seperti kita. Emak juga tak rela. Emak ingin kau menjadi orang yang suka memberi, walaupun cuma memberi senyum. Emak sudah senang, emak sudah bahagia. Tidurlah nak yang pulas dan bermimpilah yang indah, agar lapar dan dahaga ini hilang bersama berjalannya waktu. Tidur ya nak.”

Rombongan aksi unjuk rasa di Gedung DPR dibubarkan polisi. Yu Jinem bersama anaknya Jupri tampak masih duduk di pojok, depan gerbang DPR. Sepatu lars salah seorang polisi ditendang-tendangkan ke tubuhnya, sambil minta Yu Jinem segera pergi. Ketua rombongan sudah di metromini sebentar lagi menuju Cirapas, untuk pulang, menghadang aparat yang siap menggusur. Beberapa polisi mendekat. Menarik tangan Yu Jinem yang lunglai. Yu Jinem lemas...ia bermimpi bertemu suaminya, di alam kubur. Jupri merangkul erat emaknya tanpa bernapas. Nadinya berhenti. Jantungnya diam. Mereka mati. Dengan metromini, emak-anak itu dibawa pulang...di gubuk yang esok akan digusur.(si ragil, 261009)


Read More......
| 0 komentar ]

Poligami Itu Haram

Sejatinya poligami itu haram. Jika dan hanya jika para pelakunya tidak memenuhi syarat seperti yang termaktub dalam Al Quran, yakni jika kamu tidak bisa bisa berlaku adil, maka satu saja. (faintakdilu biwahidatah).

Poligami juga bisa berlaku sunnah apabila para pelakunya bisa menjalankan sesuai persyaratan, bisa adil dan tidak menyakiti hati isterinya. sebagaimana Nabi Muhammad melarang Ali untuk menikah lagi karena dikhawatirkan menyakiti hati Fatimah, anak Rasulullah.

Poligami bisa berhukum wajib bagi para pelakunya apabila jika tidak melakukan poligami mereka akan terus melakukan perbuatan maksiat atau perzinahan akibat isteri pertamanya tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai layaknya seorang isteri.

Demikian hukum poligami yang sejatinya juga sama dengan hukum perkawinan, yakin sunnah, wajib, bahkan haram.

HB Arifin
hukum ini hanyalah ijtihad fiksi pribadi

Read More......
| 0 komentar ]

Sebelum datang, kehebohan membuncah. Juga oleh orang-orang berjubah yang suka bergamis. Mereka menolak Miyabi. Bintang film porno yang suka telanjang. Sama seperti ketika kita bikin nasi goreng. Sebelum nasi dipanaskan, suara wajan penggorengah kemrengseng memekakkan telinga. Satu dua tetes minyak meledak, menciprati tangan kita hingga melepuh. Kehebohan itu datang ketika kabinet pemerintah belum disusun.



Satu, dua, tiga manusia-manusia “terpilih” mengibarkan bendera keakuan di Cipeas. “Aku calon menteri.” Mereka datang dengan senyum kemenangan, meski partainya baru saja kalah, meski rakyat baru saja tertimpa gempa. Lambaian tangan mereka seperti pesta kembang api di atas langit, lengkap dengan siaran live sorot kamera.

Blitz para fotografer seperti teriakan supporter bola ketika di stadium Gelora. Supporter yang nyaris tak pernah mengakui kelemahan tim yang didukungnya. Bila perlu dibela dengan makian ke supporter lawan atau tawuran. Persis nasi goreng yang menjadi menu favorit di hamper semua restoran karena menu yang satu ini enak dipandang, gurih dipesan, nendang dirasakan. Padahal, sejatinya nasi goreng itu menu putus asa. Menu orang-orang yang sedang kelaparan di jalan dan tak punya pilihan apalagi harapan.

Tak ubahnya selera rendah para produser dan sutradara yang membawa Miyabi, menjadi lakon utama di panggung hiburan. Lakon pemuas libido yang tiba-tiba mencuat menjadi perhatian menteri perempuan, ulama bersorban, dan ormas agama jalanan. Pertunjukan seni di Cikeas tak lebih juga pertunjukan untuk memuaskan libido kekuasaan semata. Tak lebih. Konser siang hari dalam irama orchestra yang sepi dan hasyrat yang ramai.

Kabinet disusun dengan kalkulasi sopir angkot, tanpa kernet. Sekali ngetem, calo sibuk mencari penumpang. Saling sikut, saling tubruk, nama-nama dimasukkan. Kolega sopir mendapatkan prioritas. Yang putih masuk, yang merah masuk, yang hitam juga masuk. Dicampur jadi satu seperti kolak durian. Kelihatannya wangi, manis, tapi bikin naik kolesterol dan darah tinggi kumat. Calo pasrah, tak bisa berontak. “Apa kata sopir dah!!”

Para penumpang angkot jenis ini juga hepi. Yang dulunya jauh menjadi dekat. Yang dulunya dekat memilih posisi bangku strategis, yang kira-kira bisa menikam sopir dari dekat, atau berpotensi merebut simpati langsung rakyat. Bukankah sopir perlu istirahat dan perlu ada penggantinya kelak?! Toh rambutnya sudah beruban, meski syahwat perseneling empat!! Sementara penumpang yang dulunya rapat justru bersikap apa kata majikan. Begitu angkot dijalankan, sopir hanya membutuhkan tepuk tangan, sorak sorai. “Dulu juga begitu kok. Pro-kontra itu wajar. Itulah indahnya demokrasi!!” kata sopir sebelum menjalankan angkotnya.

Sopir angkot lupa bahwa angkotnya angkot sewaan, angkot pinjaman. Sopir lalai atau memang tak peduli kalau angkot itu bukan miliknya sendiri. Pemilik angkot adalah pemilik demokrasi di negeri ini yang ingin merasakan indahnya demokrasi tanpa harus merusak ban, menghancurkan mesin, dan melunturkan cat.

Sopir diberi kepercayaan menjalankan angkot bukan untuk dipakai arak-arakan di jalan agar mendapat perhatian orang. Apalagi untuk ugal-ugalan semau udelnya. Seperti Miyabi memamerkan pusernya ke keping-keping DVD. ( www.fiksinews.com/si ragil)



Read More......
| 0 komentar ]


Puisi ini memberi gambaran penting bagaimana pemerintahan SBY-Boediono harus menjalankan roda pemerintahannya.


merah putih...hitam

anak itu datang dengan tangis memilukan
ia menatap kibaran merah putih di bawah terik matahari
ketika semua mata menyaksikan pelantikan presiden lama

"di mana ayahku, di mana ibuku."

air matanya telah kering
mukanya biru hitam seperti kapas tercelup comberan
telinganya pekak, karena tembok rumah orang kaya menindihnya
ketika ia sedang tidur siang di emperan pagar
saat kiamat gempa menghunus senja kala

"di mana ayahku, di mana ibuku

sumpah aku tak tahu anak itu meronta-ronta di kibaran merah putih
ketika hitam tiba-tiba mengantarkannya menjadi yatim piatu

jangan paksa aku mengetahuinya
atau mengenalinya karena aku sedang pesta

"pergilah nak, aku tidak tahu ayah-ibumu. mungkin sudah mati tertimbun batu atau hancur dimakan cacing. bukankah gempa sudah lama terjadi dan kau tak pernah memintaku menemukan ayah ibumu. "

"Ah kau, nak. mengapa kau tetap tak mendengarkan omonganku. Pergilah dan jangan bertanya kepadaku karena aku sedang banyak tamu. Mereka menyalamiku, menyampaikan ucapan selamat kepadaku. Jadi jangan kau menggangguku. "

anak itu tetap tak mendengar karena gendang telinganya retak
ia datang dengan kaleng roti kosong yang dikalungkan di lehernya yang kurus
wajahnya hitam luka dan sorot matanya tajam seperti elang

anak itu menghardikku
"di mana ayahku, di mana ibuku. ayah yang melindungiku, ibu yang menyayangiku. mengapa mereka tiada ketika aku membutuhkannya. mengapa kau diam saja dan malah berpesta pora. kau tega membuatku menangis hingga air mataku habis."

anak itu berlari dan menjauh
merah putih...hitam

jakarta, 20 oktober 2009
hb arifin

Read More......
| 0 komentar ]

Maaf, judul ini tak ingin bercanda. Bagi pengusaha bangunan, gempa ini untuk melariskan bahan bangunannya. Bagi maskapai penerbangan, gempa ini untuk menaikkan harga setinggi-tingginya, melebihi batas atas, tuslah, atau apapun, yang ditetapkan pemerintah karena demand yang sangat tinggi menuju Sumbar. Bagi perusahaan, gempa merupakan ajang kepedulian social untuk menaikkan citra perusahaannya bahwa mereka lebih peduli, lebih care, pada mereka yang susah, yang sedang tertimpa musibah.



Bagi presiden, inilah ajang promosi: gw mau ke sana mengunjungi korban. Jika janji itu tak ditepati saat itu juga, ribuan tesis bisa dijadikan alasan: gempa masih terjadi, gw lagi sibuk, korban masih banyak, takut kena penyakit akibat gempa, atau wakil sajalah. Ntar-ntaran kalau udah “reda” gw akan ke sana. Tunggu apa?
Saat bom meletup di Kuningan, janji itu pula yang diajukan: gw mau ke sana. Jika tak ditunaikan sesuai ucapan, bejibun alas an dimunculkan. Sang pejabat tak mau dikatakan menciderai janjinya. Tak datang karena ingin menyelamatkan jasadnya dari berbagai ancaman. Masih adanya bom yang masih aktif.

Bagi televise, inilah cara mereka berebut rating. Gempa juga menjadi show room bagaimana awak redaksi bekerja. Lihatlah reporter yang dengan biadab mewawancarai korban selamat yang kakinya tertimbun beton lima ton, sementara tim regu penyelamat mengepruk-ngepruk reruntuhan yang tak kunjung hancur.

Lihatlah cara mereka bertanya kepada orang tua siswa yang terperangkap di dalam museum gedung yang luluh lantak rata tanah: bagaimana perasaan bapak? Mengapa bapak tak menangis, meraung-raung, meratap-ratap, agar kami dapat gambar yang lebih bagus.

Bila perlu suara tangisnya yang histeris, air mata yang tumpah ruah, pakai mencakar-cakar seperti orang gila, agar kami bisa menjadikan gambar ini untuk menyedot simpati, empati penonton. Telvisi mencari drama agar penonton membeludak. Bukankah mereka bersaing berebut penonton. Lihatlah siswa yang melungker, wajah hancur, terekam kuat-kuat di layar kaca. Untuk siapa gambar itu? Untuk orang tua siswa agar mereka mengenali lewat televise, untuk penonton agar mereka muntah darah karena ngeri dan mual-mual, atau untuk berkompetisi dengan televise tetangga.

Tayangan ini juga bisa menjadi positif untuk media. Mereka beramai-ramai mengumpulkan dana masyarakat hingga milyaran dan lihatlah apa yang terjadi: didirikanlah sekolah-sekolah di daerah gempa dengan nama perusahaan media. Semakin tragis gempa, semakin dramatis tayangannya, semakin besar bantuan datang dan semakin gagah bangunan sekolah, rumah sederhana, fasilitas umum, panti social, dan bendera perusahaannya. Seolah matahari tak pernah terang dan lisrik terus padam.

Bagi LSM korup, pejabat propinsi, kabupaten, yang korup, inilah cara mereka menarik bantuan sebanyak-banyaknya dan mengorupsinya. Bagi para pengamat, inilah saatnya mengolok-olok birokrasi yang lamban, yang lelet, yang bekerja seperti pemadam kebakaran, reaktif, dan tak terkoordinasi dengan baik. Bagi birokrasi, gempa ini senantiasa menjadia layar tancap kebobrokan kinerjanya.

Gempa juga menjadi ajang promosi mi instan. Hampir setiap korban disodori mi instan. Mi yang banyak dimusuhui pencari hidup sehat itu seolah menjadi menu utama dan satu-satunyapengganjal untuk tetap hidup. Di mana roti tentara yang padat protein itu. Roti yang bisa dimakan sekali untuk hidup sepekan.

Bagi korban, gempa bisa ditafsirkan beragam. Bagi penjahat yang turut menjadi korban gempa adalah kesialan. Sial karena ia tak bisa merampok atau gagal merampok karena keburu kena gempa. Bagi korban siswa yang sedang belajar, gempa berarti ujian yang mengubur impiannya menjadi pribadi yang lebih berilmu dan bertaqwa. Bagi orang tua siswa, gempa bisa berarti musibah dan ujian kepasrahan.

Bagi ulama gempa adalah musibah agar umat lebih mendekat mohon pertolongan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Gempa menjadi pengingat dosa dan kesalahan manusia dan lebih mementingkan urusan dunia, melupakan Allah, melupakan kemanusiaan, melupakan tolong-menolong, melupakan haji social, melupakan kepedulian social, melupakan tetangga, melupakan saudara, melupakan anak, melupakan orang tua. Gempa menjadi pengingat tentang amal saleh, tentang kepedulian, tentang gotong royong, tentang tolong-menolong, tentang solidaritas.

Gempa juga bercerita tentang ketidakberdayaan manusia terhadap alam, tetapi manusia selalu menghancurkan alam. Manusia melupakan alam sebagai tempatnya berpijak, tempatnya bernapas, tempatnya hidup, tetapi juga tempatnya mati. Gempa mengingatkan tempat kembalinya manusia: yang mereka rusak dan mereka hancurkan sendiri.


Bagi orang-orang seperti Permadi, gempa berarti kutukan alam. Sudah tak ada lagi upacara sedekah bumi, sedekah laut. Manusia telah sombong dan melupakan bumi, melupakan laut. Manusia melupakan penguasa bumi, penguasa laut. Manusia melupakan Nyi Roro Kidul. Simbol sumber kehidupan, kelemahlembutan, dan kekuatan mahadahsyat. Nyi berarti perempuan. Setiap perempuan adalah sumber kehidupan. Bayi lahir dari rahim perempuan. Manusia hidup setelah terlahir dari rahim perempuan. Laut adalah air. Air sumber kehidupan. Perempuan adalah kelemahlembutan. Air itu lembut. Perempuan adalah kekuatan. Ia kuat mengandung Sembilan bulan, mengeluarkan bayi besar dari rahim yang sempit, mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah kehidupan baru. Laut adalah kekuatan. Dari dasar laut gempa datang dan memorak-morandakan. Tetapi manusia melupakan laut. Manusia melupakan bumi. Tak ada lagi sedekah laut, tak ada lagi sedekah bumi. Sedekah adalah kearifan. Di mana kearifan pada bumi, kearifan pada laut. Sudah tahu manusia tak berdaya pada kekuatan bumi. Kapan gempa terjadi pun tak tahu, apalagi kekuataannya. Tetapi manusia tetap alpa untuk melindungi dan memohon pada Yang Berkuasa Atas Bumi dan Seisinya untuk meredamnya, melunakkan gempanya, melindungi umat yang duduk berzikir di musholah-Nya.

Gempa bagi kita yang tak terkena musibah juga bermacam-macam artinya. Bagi pemilik handphone flexi, gempa berarti ketik peduli kirim ke 5000. Gempa juga menjadi tontonan untuk memicu adrenalin kengerian tanpa mau peduli apalagi berempati. Yang maksiat tetap maksiat, yang berpesta tetap berpesta, yang merampok tetap merampok, yang korupsi tetap korupsi. Gempa dan korbannya hanyalah sebuah berita, sebuah cerita, tanpa pengaruh. Bagi anak-anak TK, gempa menjadi belajar bersolidaritas, belajar berdoa, shalat ghaib, dan belajar ilmu pengetahuan tentang gempa, tentang penyakit patah tulang, tentang rumah tahan gempa.

Bagi Nabi Khidr, apa artinya gempa dan korban yang ribuan, ratusan ribu, atau jutaan. Bukankah Nabi Khidr pernah membunuh anak kecil dan melubangi perahu agar perahu tenggelam. Mengapa Nabi Musa tak pernah paham perbuatan Nabi Khidr yang menurutnya tak masuk akal dan melawan kemanusiaan?

Nabi Khidr punya cerita di balik peristiwa, apalagi Sang Maha Pencipta.

Jakarta, 2 Oktober 2009
Si Ragil


Read More......
| 0 komentar ]

Cuma sekadar nasi goreng. Anehnya terletak pada kata tsunami. Kata yang diadopsi dari bangsa Jepang itu identik dengan gelombang air laut yang menghantam daratan. Besar dan meluluhlantakkan apa saja. Juga identik dengan kematian setiap nyawa yang alpa tentang bahaya. Padahal ini nasi goreng. Digoreng identik dengan minyak, kering, bahkan krispy, tanpa air. Nasi goreng tsunami akan menjadi paradox.
Sebuah paradox seperti halnya sejumlah peristiwa awal lima tahun lalu, akhir lima tahun kini.




Nasi Goreng Tsunami

Cuma sekadar nasi goreng. Anehnya terletak pada kata tsunami. Kata yang diadopsi dari bangsa Jepang itu identik dengan gelombang air laut yang menghantam daratan. Besar dan meluluhlantakkan apa saja. Juga identik dengan kematian setiap nyawa yang alpa tentang bahaya. Padahal ini nasi goreng. Digoreng identik dengan minyak, kering, bahkan krispy, tanpa air. Nasi goreng tsunami akan menjadi paradox.
Sebuah paradox seperti halnya sejumlah peristiwa awal lima tahun lalu, akhir lima tahun kini.

Awal lima tahun silam, tsunami datang dengan mengancam: 200 ribu lebih orang tewas, mati, bahkan terhina. Mereka dipaksa menyerah pada air. Air yang dik odratkan menjadi hamba sahaya manusia: diminum, dibuat mandi, menyiram tanaman, membesarkan bayi-bayi ikan di keramba atau di lautan luas. Akhir lima tahun kini tsunami kembali terjadi. Gempa besar meluluhlantakkan jasad yang semula hidup bahkan bersenang-senang, tersenyum, sesaat menjelang beduk buka mengakhiri puasa ramadhan ditabuh. Yang hidup menjadi mati. Yang mati menjadi bumi. Yang bumi mengeluarkan air.

Ya, ini Cuma nasi goreng. Tak lebih tak kurang. Jika ada bumbunya, itu penyedap, menambah cita rasa makanan. Ya, ini memang bicara tentang makanan. Mabes Polri memakan KPK. KPK memakan koruptor. Koruptor memakan presiden. Presiden memakan rakyat. Rakyat memakan harga-harga yang terus naik. Ini memang bicara rantai makanan. Tak lebih tak kurang. Jika ada bumbunya, itu penyedap, menambah cita rasa makanan.

Bank Century juga menyangkut cita rasa makanan. Ia ibarat nasi goreng. Sebelum dihidangkan di meja makan dan disantap beramai-ramai, koki akan mengatur rencananya. Menyiapkan beras, mengatur pemanas. Menyiapkan korban dan perangkap, memutar aturan, mengubah sana sini, sebelum beras dikucurkan dan dimasak agar menjadi nasi. Soal menabrak aturan lain, menghantam logika, itu memang masalah beras. Kalau ada yang tak setuju dalam rapat, cukup ditatat dan masuk dalam museum catatan. Yang penting beras menjadi nasi bukan menjadi bubur agar bisa digoreng. Begitu nasi telah siap, semua bisa digoreng. CAR bisa digoreng. Sebelumnya 8% bisa saja digoreng hanya 2,5 %. Kalau CAR minus, ah koki bisa menggorengnya agar lebih kering dan bisa dinikmati. Kalau sudah dikucurkan 6,7 trilyun, siapa yang tak mau. Bank kecil, yang tak memiliki pengaruh, apalagi dampak sistemik, pengucuran kreditnya pun nggak berdampak, teman seeprofesinya pun banyak, tapi di tangan koki yang tepat, bank kecil bisa memberi keuntungan maha besar.

Karena uang memang bisa digoreng ke mana saja. Untuk dana kampanye politik bisa, menyuap pejabat juga bisa, atau mendirikan perusahaan untuk anak-anak penguasa di Jababeka. Boleh jadi, uang bapaknya cuma 5 milyar, seperti tercantum dalam lembaran kekayaan yang disetor ke KPK. Tetapi, pendapatan dan penghasilan memang berbeda. Uang gorengan bisa dipakai untuk mendirikan perusahaan dan dicatatkan atas nama anak, ponakan, atau menantu-cucu. Biar kelihatan tetap dermawan, alih-alih menengok korban gempa, merogoh kocek 5 milyar..eh, darimana tuh duit. Jelas duit itu dari jualan nasi goreng. Setiap gorengan memang bisa menghasilkan laba yang tak sedikit. Laba politik berupa kesetiaan dan kekuasaan. Laba bisnis berupa deposito, asset, saham, atau jaringan pebisnis. Lihat siapa yang datang ke Jababeka dengan pengawalan seketat itu.

Nasi goreng juga sedap dinikmati pagi menjelang siang hari, kala latihan di lapangan, di pinggir hotel yang akan dibom. Sambil menikmati nasi goreng, camera handycam dinyalakan dan semua ucapan direkam. Semua rencana didokumentasikan, semua kegiatan dicatat, direkam, diabadikan. Lantas, semuanya diserahkan kepada polisi. Berikut para pelakunya, bahan peledaknya, laptopnya, jaringannya, organisasinya. Nyaris tak ada yang disembunyikan. Semua diserahkan, semua diberikan. Sejak bom belum diledakkan, jejak sudah dipahat. Begitu bom disulut dan kematian mengharu-biru, semua property diserahkan agar mudah ditelusuri. Dan ketika sebuah kesunyian datang, gegap gempita ditabuh: berondongan ribuan pelusur menghunus jasad dalam toilet. Hanya tiga yang melukai kematiannya. Sisanya hanya drama. Lantas, sang pelaku utama disiksa dalam drama kematian yang sama. Berondongan peluru dan penolakan penguburannya. Aha…setiap sinetron memang punya sutradara. Para pemain hanyalah aktor dan aktris. Mereka dibesarkan oleh media massa. Sementara kita menyaksikannya seperti peristiwa dalam berita. Pakai mengutuk-ngutuk segala.

Cobalah tengok nasi goreng buatan KPK. Dengan alat penyadap, gorengan sedang dirancang untuk menangkap kakap. Yang terjadi malah sebaliknya. Koki ditetapkan tersangka. Ini berawal dari lima menit di sebuah hotel istimewa, ketika koruptor bertemu sejumlah jurnalis. Paket A hancurkan KPK. Dana disediakan unlimited. Rupanya beberapa jurnsli ngeper menerima order ini. Tak biasanya mereka menolak. Kali ini mereka gemetar. Paket B dirancang. Beberapa pemain lama berjalan seperti biasa dan sebuah scenario telah disetujui dengan dana unlimited: cash tanpa digit.
Nasi goreng tsunami diracik dengan jalan cerita yang tak layak. Seorang presiden bercerita tentang sebuah keamanan, ketentraman ekonomi, keunggulan program, kesuksesan kinerja. Tetapi tiba-tiba sebuah perampokan di depan mata terjadi. Trilyunan uang rakyat dirampok. Ya, itu memang uang rakyat. Memangnya uang siapa? BPK saja telah bercerita tentang perampokan itu. Aha…masihkan ada laporan investigasi soal ini? Atau hanya laporan pandangan mata yang sipit sebelah.

Ah, nasi goreng tsunami memang aneh. Katanya nasi goreng tapi kuahnya banjir. Bumbunya pun tanpa dioseng-oseng pakai minyak. Nasi goreng jenis ini memang sedang terjadi di negeri ini. Rakyat tak boleh bertakahyul, bahwa nama seorang pemimpin bisa menjadi kuburan bagi rakyatnya. Tetapi sang pemimpin malah mengagung-agungkan tanggal dan bulan kelahirannya. Bahkan mengkeramatkannya. Sebuah keputusan dibuat dengan angka yang sama dengan angka kelahirannya. Nama-nama tim untuk menggodok hal-hal penting juga dibuat sama dengan angka kelahiran. Antara ucapan dan tindakan memang tak padu. Tapi nggak ada yang mengatakan: oiii…kok begitu. Yang berteriak juga mulai bias. Antara mendukung tikus atau menolak kucing. Akhirnya mereka memelihara hamster dan anggora.

Jika ingin mengintip resep nagoreng tsunami, catatlah baik-baik:
1. Sepiring nasi setengah pera
2. Garam, bawang merah-putih, udang,
3. Bumbu gak penting. Yang utama cara masak dan menggorengnya, karena bumbu dan aturan apapun di negeri ini bisa digoreng dan bila penggorengannya bagus, cara menggorengnya juga mantab, hasilnya akan dahsyat. Rasanya dijamin pasti nikmat. Semua senang, semua pesta. Yang sengsara ya hanya kita: kita yang masih menganggap nasi goreng tsunami campuran antara nasi goreng dan gelombang tsunami.

Selamat menikmati, kawan!!
(si ragil-30-09-09)




Read More......