| 0 komentar ]

Sebelum datang, kehebohan membuncah. Juga oleh orang-orang berjubah yang suka bergamis. Mereka menolak Miyabi. Bintang film porno yang suka telanjang. Sama seperti ketika kita bikin nasi goreng. Sebelum nasi dipanaskan, suara wajan penggorengah kemrengseng memekakkan telinga. Satu dua tetes minyak meledak, menciprati tangan kita hingga melepuh. Kehebohan itu datang ketika kabinet pemerintah belum disusun.



Satu, dua, tiga manusia-manusia “terpilih” mengibarkan bendera keakuan di Cipeas. “Aku calon menteri.” Mereka datang dengan senyum kemenangan, meski partainya baru saja kalah, meski rakyat baru saja tertimpa gempa. Lambaian tangan mereka seperti pesta kembang api di atas langit, lengkap dengan siaran live sorot kamera.

Blitz para fotografer seperti teriakan supporter bola ketika di stadium Gelora. Supporter yang nyaris tak pernah mengakui kelemahan tim yang didukungnya. Bila perlu dibela dengan makian ke supporter lawan atau tawuran. Persis nasi goreng yang menjadi menu favorit di hamper semua restoran karena menu yang satu ini enak dipandang, gurih dipesan, nendang dirasakan. Padahal, sejatinya nasi goreng itu menu putus asa. Menu orang-orang yang sedang kelaparan di jalan dan tak punya pilihan apalagi harapan.

Tak ubahnya selera rendah para produser dan sutradara yang membawa Miyabi, menjadi lakon utama di panggung hiburan. Lakon pemuas libido yang tiba-tiba mencuat menjadi perhatian menteri perempuan, ulama bersorban, dan ormas agama jalanan. Pertunjukan seni di Cikeas tak lebih juga pertunjukan untuk memuaskan libido kekuasaan semata. Tak lebih. Konser siang hari dalam irama orchestra yang sepi dan hasyrat yang ramai.

Kabinet disusun dengan kalkulasi sopir angkot, tanpa kernet. Sekali ngetem, calo sibuk mencari penumpang. Saling sikut, saling tubruk, nama-nama dimasukkan. Kolega sopir mendapatkan prioritas. Yang putih masuk, yang merah masuk, yang hitam juga masuk. Dicampur jadi satu seperti kolak durian. Kelihatannya wangi, manis, tapi bikin naik kolesterol dan darah tinggi kumat. Calo pasrah, tak bisa berontak. “Apa kata sopir dah!!”

Para penumpang angkot jenis ini juga hepi. Yang dulunya jauh menjadi dekat. Yang dulunya dekat memilih posisi bangku strategis, yang kira-kira bisa menikam sopir dari dekat, atau berpotensi merebut simpati langsung rakyat. Bukankah sopir perlu istirahat dan perlu ada penggantinya kelak?! Toh rambutnya sudah beruban, meski syahwat perseneling empat!! Sementara penumpang yang dulunya rapat justru bersikap apa kata majikan. Begitu angkot dijalankan, sopir hanya membutuhkan tepuk tangan, sorak sorai. “Dulu juga begitu kok. Pro-kontra itu wajar. Itulah indahnya demokrasi!!” kata sopir sebelum menjalankan angkotnya.

Sopir angkot lupa bahwa angkotnya angkot sewaan, angkot pinjaman. Sopir lalai atau memang tak peduli kalau angkot itu bukan miliknya sendiri. Pemilik angkot adalah pemilik demokrasi di negeri ini yang ingin merasakan indahnya demokrasi tanpa harus merusak ban, menghancurkan mesin, dan melunturkan cat.

Sopir diberi kepercayaan menjalankan angkot bukan untuk dipakai arak-arakan di jalan agar mendapat perhatian orang. Apalagi untuk ugal-ugalan semau udelnya. Seperti Miyabi memamerkan pusernya ke keping-keping DVD. ( www.fiksinews.com/si ragil)



0 komentar

Posting Komentar