| 0 komentar ]

kami bukan siapa siapa

Yu Jinem berdemo siang ini di Gedung DPR. Ia mengajak serta ketiga anaknya. Jupri, anak ragil yang masih ingusan, digendongnya dengan kain selendang lusuh. Yu Jinem menguatkan air matanya agar tak tumpah di sepanjang jalan yang dilewati. Sudah terbayang gubuk dan kebun kangkungnya bakal digusur pemerintah. Ia datang bersama seratusan tetangganya, yang mengalami nasib serupa.



Dengan kakinya yang pincang sebelah, Yu Jinem mendekat ke gerbang DPR yang angkuh. Ia mendongakkan wajahnya ke atas, melihat pucuk jeruji besi yang menjulang tinggi ke langit. Air mata yang ditahannya kini tumpah. Tetapi matanya tak berpaling. Ia tetap melihat jeruji besi pintu gerbang DPR itu dengan berlinangan. ”Kami memang bukan siapa-siapa, Tuan.” Air mata itu mengajak bicara jeruji besi.

Beberapa koordinator aksi silih berganti memberi orasi. Yu Jinem tidak begitu tertarik pada teriakan-teriakan itu. Ia juga tak menyahut ketika diminta berteriak, ”hidup rakyat!! hidup rakyat!!.” Mata Yu Jinem sudah melihat anak-anaknya segera mati kelaparan jika penggusuran tetap dilakukan. ”kami memang bukan siapa siapa, tak memiliki apa apa, karena kami cuma rakyat jelata.” Air mata itu kembali mengajak jeruji besi berdialog. Seperti tak pernah mendengar, jeruji itu tak memberikan jawaban. Jeruji besi tetap berdiri mematung, keras, dan angkuh. Matanya tetap memandang ke langit. Tak pernah sedetik pun melihat ke bawah, tempat air mata Yu Jinem bergetar.

Yu Jinem jatuh terduduk. Jupri merengek di gendongan. Yu Jinem menumpahkan air mata sekuatnya. Tubuhnya roboh, kepalanya sujud setara dengan aspal. Suara permohonan tu menyayat hati, merogoh-rogoh empedu nurani, menusuk-nusuk empati. ”Le, kau dengar nak.” Yu Jinem memangku Jupri yang merintih kehausan. ”Tuan ini punya mulut tetapi ia bisu. Emak sudah berkali-kali mengajaknya bicara tetapi ia tak menjawab.” Jupri mulai menangis, tapi tak pernah terdengar suaranya. Ketua rombongan tak memberinya air mineral. Untuk sewa metromini saja mereka urunan. Yu Jinem bahkan harus berhutang ke rentenir mingguan.

Yu Jinem menenangkannya sejenak. ”Emak sudah mengadu nak. Kamu haus, emak juga haus. Gubuk kita akan digusur. Juga kebun kangkung yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan kita.” Jupri tertidur. Ia tak kuasa lagi menahan panas dan haus. Matanya tertutup rapat-rapat seperti bocah-bocah Pangandaran yang mati terkena tsunami. ”Tuan ini punya telinga tetapi tak pernah mendengar, nak. Kau sabar ya. Mugi, Gusti menolong orang-orang seperti kami yang bukan siapa siapa ini.”

Yu Jinem mengelus-elus kening Jupri. Ditiup-tiupnya hingga ia makin pulas. ”Sebentar lagi kita akan tak punya gubuk lagi. Besok pemerintah akan menggusur gubuk kita. Sabar ya nak. Emak tak tahu akan tidur di mana. Tapi emak tak mau kita jadi peminta-minta. Mengemis pemberian. Tidak, jangan seperti itu. Bapakmu pasti marah. Biarlah dia hidup tenang di alam kuburnya.”

” Semoga kelak kamu bisa tumbuh besar, menjadi orang yang suka mendengar, menjawab jika diajak bicara. Tapi emak tak mau kau menjadi anggota DPR yang duduk-duduk di gedung sana. Jangan, emak tak rela nak. Emak juga tak mau kamu menjadi presiden, kepala pemerintahan. Karena pemerintah suka menggusur orang-orang miskin seperti kita. Emak juga tak rela. Emak ingin kau menjadi orang yang suka memberi, walaupun cuma memberi senyum. Emak sudah senang, emak sudah bahagia. Tidurlah nak yang pulas dan bermimpilah yang indah, agar lapar dan dahaga ini hilang bersama berjalannya waktu. Tidur ya nak.”

Rombongan aksi unjuk rasa di Gedung DPR dibubarkan polisi. Yu Jinem bersama anaknya Jupri tampak masih duduk di pojok, depan gerbang DPR. Sepatu lars salah seorang polisi ditendang-tendangkan ke tubuhnya, sambil minta Yu Jinem segera pergi. Ketua rombongan sudah di metromini sebentar lagi menuju Cirapas, untuk pulang, menghadang aparat yang siap menggusur. Beberapa polisi mendekat. Menarik tangan Yu Jinem yang lunglai. Yu Jinem lemas...ia bermimpi bertemu suaminya, di alam kubur. Jupri merangkul erat emaknya tanpa bernapas. Nadinya berhenti. Jantungnya diam. Mereka mati. Dengan metromini, emak-anak itu dibawa pulang...di gubuk yang esok akan digusur.(si ragil, 261009)


0 komentar

Posting Komentar