| 0 komentar ]

Maaf, judul ini tak ingin bercanda. Bagi pengusaha bangunan, gempa ini untuk melariskan bahan bangunannya. Bagi maskapai penerbangan, gempa ini untuk menaikkan harga setinggi-tingginya, melebihi batas atas, tuslah, atau apapun, yang ditetapkan pemerintah karena demand yang sangat tinggi menuju Sumbar. Bagi perusahaan, gempa merupakan ajang kepedulian social untuk menaikkan citra perusahaannya bahwa mereka lebih peduli, lebih care, pada mereka yang susah, yang sedang tertimpa musibah.



Bagi presiden, inilah ajang promosi: gw mau ke sana mengunjungi korban. Jika janji itu tak ditepati saat itu juga, ribuan tesis bisa dijadikan alasan: gempa masih terjadi, gw lagi sibuk, korban masih banyak, takut kena penyakit akibat gempa, atau wakil sajalah. Ntar-ntaran kalau udah “reda” gw akan ke sana. Tunggu apa?
Saat bom meletup di Kuningan, janji itu pula yang diajukan: gw mau ke sana. Jika tak ditunaikan sesuai ucapan, bejibun alas an dimunculkan. Sang pejabat tak mau dikatakan menciderai janjinya. Tak datang karena ingin menyelamatkan jasadnya dari berbagai ancaman. Masih adanya bom yang masih aktif.

Bagi televise, inilah cara mereka berebut rating. Gempa juga menjadi show room bagaimana awak redaksi bekerja. Lihatlah reporter yang dengan biadab mewawancarai korban selamat yang kakinya tertimbun beton lima ton, sementara tim regu penyelamat mengepruk-ngepruk reruntuhan yang tak kunjung hancur.

Lihatlah cara mereka bertanya kepada orang tua siswa yang terperangkap di dalam museum gedung yang luluh lantak rata tanah: bagaimana perasaan bapak? Mengapa bapak tak menangis, meraung-raung, meratap-ratap, agar kami dapat gambar yang lebih bagus.

Bila perlu suara tangisnya yang histeris, air mata yang tumpah ruah, pakai mencakar-cakar seperti orang gila, agar kami bisa menjadikan gambar ini untuk menyedot simpati, empati penonton. Telvisi mencari drama agar penonton membeludak. Bukankah mereka bersaing berebut penonton. Lihatlah siswa yang melungker, wajah hancur, terekam kuat-kuat di layar kaca. Untuk siapa gambar itu? Untuk orang tua siswa agar mereka mengenali lewat televise, untuk penonton agar mereka muntah darah karena ngeri dan mual-mual, atau untuk berkompetisi dengan televise tetangga.

Tayangan ini juga bisa menjadi positif untuk media. Mereka beramai-ramai mengumpulkan dana masyarakat hingga milyaran dan lihatlah apa yang terjadi: didirikanlah sekolah-sekolah di daerah gempa dengan nama perusahaan media. Semakin tragis gempa, semakin dramatis tayangannya, semakin besar bantuan datang dan semakin gagah bangunan sekolah, rumah sederhana, fasilitas umum, panti social, dan bendera perusahaannya. Seolah matahari tak pernah terang dan lisrik terus padam.

Bagi LSM korup, pejabat propinsi, kabupaten, yang korup, inilah cara mereka menarik bantuan sebanyak-banyaknya dan mengorupsinya. Bagi para pengamat, inilah saatnya mengolok-olok birokrasi yang lamban, yang lelet, yang bekerja seperti pemadam kebakaran, reaktif, dan tak terkoordinasi dengan baik. Bagi birokrasi, gempa ini senantiasa menjadia layar tancap kebobrokan kinerjanya.

Gempa juga menjadi ajang promosi mi instan. Hampir setiap korban disodori mi instan. Mi yang banyak dimusuhui pencari hidup sehat itu seolah menjadi menu utama dan satu-satunyapengganjal untuk tetap hidup. Di mana roti tentara yang padat protein itu. Roti yang bisa dimakan sekali untuk hidup sepekan.

Bagi korban, gempa bisa ditafsirkan beragam. Bagi penjahat yang turut menjadi korban gempa adalah kesialan. Sial karena ia tak bisa merampok atau gagal merampok karena keburu kena gempa. Bagi korban siswa yang sedang belajar, gempa berarti ujian yang mengubur impiannya menjadi pribadi yang lebih berilmu dan bertaqwa. Bagi orang tua siswa, gempa bisa berarti musibah dan ujian kepasrahan.

Bagi ulama gempa adalah musibah agar umat lebih mendekat mohon pertolongan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Gempa menjadi pengingat dosa dan kesalahan manusia dan lebih mementingkan urusan dunia, melupakan Allah, melupakan kemanusiaan, melupakan tolong-menolong, melupakan haji social, melupakan kepedulian social, melupakan tetangga, melupakan saudara, melupakan anak, melupakan orang tua. Gempa menjadi pengingat tentang amal saleh, tentang kepedulian, tentang gotong royong, tentang tolong-menolong, tentang solidaritas.

Gempa juga bercerita tentang ketidakberdayaan manusia terhadap alam, tetapi manusia selalu menghancurkan alam. Manusia melupakan alam sebagai tempatnya berpijak, tempatnya bernapas, tempatnya hidup, tetapi juga tempatnya mati. Gempa mengingatkan tempat kembalinya manusia: yang mereka rusak dan mereka hancurkan sendiri.


Bagi orang-orang seperti Permadi, gempa berarti kutukan alam. Sudah tak ada lagi upacara sedekah bumi, sedekah laut. Manusia telah sombong dan melupakan bumi, melupakan laut. Manusia melupakan penguasa bumi, penguasa laut. Manusia melupakan Nyi Roro Kidul. Simbol sumber kehidupan, kelemahlembutan, dan kekuatan mahadahsyat. Nyi berarti perempuan. Setiap perempuan adalah sumber kehidupan. Bayi lahir dari rahim perempuan. Manusia hidup setelah terlahir dari rahim perempuan. Laut adalah air. Air sumber kehidupan. Perempuan adalah kelemahlembutan. Air itu lembut. Perempuan adalah kekuatan. Ia kuat mengandung Sembilan bulan, mengeluarkan bayi besar dari rahim yang sempit, mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah kehidupan baru. Laut adalah kekuatan. Dari dasar laut gempa datang dan memorak-morandakan. Tetapi manusia melupakan laut. Manusia melupakan bumi. Tak ada lagi sedekah laut, tak ada lagi sedekah bumi. Sedekah adalah kearifan. Di mana kearifan pada bumi, kearifan pada laut. Sudah tahu manusia tak berdaya pada kekuatan bumi. Kapan gempa terjadi pun tak tahu, apalagi kekuataannya. Tetapi manusia tetap alpa untuk melindungi dan memohon pada Yang Berkuasa Atas Bumi dan Seisinya untuk meredamnya, melunakkan gempanya, melindungi umat yang duduk berzikir di musholah-Nya.

Gempa bagi kita yang tak terkena musibah juga bermacam-macam artinya. Bagi pemilik handphone flexi, gempa berarti ketik peduli kirim ke 5000. Gempa juga menjadi tontonan untuk memicu adrenalin kengerian tanpa mau peduli apalagi berempati. Yang maksiat tetap maksiat, yang berpesta tetap berpesta, yang merampok tetap merampok, yang korupsi tetap korupsi. Gempa dan korbannya hanyalah sebuah berita, sebuah cerita, tanpa pengaruh. Bagi anak-anak TK, gempa menjadi belajar bersolidaritas, belajar berdoa, shalat ghaib, dan belajar ilmu pengetahuan tentang gempa, tentang penyakit patah tulang, tentang rumah tahan gempa.

Bagi Nabi Khidr, apa artinya gempa dan korban yang ribuan, ratusan ribu, atau jutaan. Bukankah Nabi Khidr pernah membunuh anak kecil dan melubangi perahu agar perahu tenggelam. Mengapa Nabi Musa tak pernah paham perbuatan Nabi Khidr yang menurutnya tak masuk akal dan melawan kemanusiaan?

Nabi Khidr punya cerita di balik peristiwa, apalagi Sang Maha Pencipta.

Jakarta, 2 Oktober 2009
Si Ragil


0 komentar

Posting Komentar