| 0 komentar ]

Sebelas Nyawa Saat Sesaji Suro

Deburan ombak bersuara tenang. Langit biru mewarnai laut Pemalang tanpa dendam. Nyi Roro Kidul, legenda Ratu Laut Selatan, bahkan sedang pulas. Malam satu Suro, sang Ratu terlalu sibuk menyuci keris saktinya. Pagi itu, Lek Sopek bersama sepuluh keluarganya datang dengan sesaji. Dua gunungan, sayur-mayur, ikan laut, ayam hitam, kepala kambing kendit, dan semangkok darah segarnya. “Sedekah laut ini semoga memberi kesuburan, hasil laut melimpah, rejeki tak putus-putus, dan keselamatan,” Lek Sopek komat-kamit sendiri. Dua belas perahu nelayan lainnya berenang sama-sama ke tengah laut, mencari jarak ideal menyerahkan sesaji.

Perahu compreng Lek Sopek menyisir obak dengan berani. Dua adiknya bersama isteri anaknya dibawa serta. Tiga anak Sopek dan isterinya menggamit sesaji dengan tangannya yang basah. Percikan ombak laut Selatan meratai seluruh gunungan. Sopek berjejingkat mengangkat kakinya. Mulutnya masih kumal oleh mantra-mantra berbahasa Arab. Ia mengawalinya dengan basmalah dan dua kalimat syahadat. Tetapi sesaji entah diserahkan kepada siapa, karena Tuhan tak bermukim di sana. Sopek meniru Habil saat menyerahkan sesajinya untuk Tuhan. Keduanya tak ingin ingkar atas berkah alam. “Seperti Habil, seperti hamba Tuha yang berysukur, limpahan keberkahan kepada kami,” Sopek mengakhiri ritual mantranya.
Dingin datang dan angin laut seketika beringas. Semilirnya berubah bengal. Peci hitam Lek Sopek terlempar dan tenggelam. “Subhanallah,” Sopek terksiap. Tiga anaknya sontak menjerit,”Bapaaaakkk!!” Isteri Sopek melepas pegangan dan terjungkal ke geladak, “Brukk, aduhh, Pak eee.”
Suara-suara itu bertebaran mengisi sunyi. Nyi Roro Kidul seolah digedor dan bangun tergagap. Dua gunungan yang dibawa Sopek terangkat dan menghunjam ke laut. Dua hiu menyerangnya tanpa kemalasan. Ombak tiba-tiba menjadi gelap. Dua meter air datang seperti tembok berjalan. Keluarga Sopek histeris, “Awassss…!!” Sedetik kemudian perahu compreng itu ditikam tanpa melawan. Perahu terbalik dan tak berani berdoa untuk keselamatan penumpangnya.
Sebelas nyawa keluarga Lek Sopek disergap dingin air laut yang jernih. Seolah tanpa tenaga Sopek dan keluarganya terdorong arus ke bawah, terus meluncur mengikuti arus gasing, terus dan terus. Suara tertawa seorang perempuan tiba-tiba terdengar menyambutnya…
Laut menjadi bingung. Kedua belas perahu nelayan yang mengiringi compreng Sopek menjadi gusar. Tim SAR dikerahkan. Setengah jam kemudian sebelas mayat datang menyembul. Yang laki-laki datang dengan tengkurap. Yang perempuan muncul dengan telentang. Mereka diam sambil tersenyum. Dua gunungan telah terrain bersama darah kambing kendit dan ayam hitam pekat. Dua hiu memanggil kawanan ikan untuk menghadiri pesta. Selururuh warga kampong menangisi Sopek. Mereka bersedih, mengapa dirinya tak ikut bersama Sopek. Mereka tahu kematian saat larung sesaji satu Suro sama bersahajanya dengan berjihad memberangus ribuan tentara zionis.
Sebulan kemudian nelayan bersorak sorai. Hasil nelayan melimpah ruah. Ikan seperti datang tanpa diundang. Perahu-perahu nelayan nyaris tenggelam karena kebanyakan muatan. Berhari-hari kegirangan itu tak pernah putus. Menjadi nelayan telah menjadi impian para pemuda. Mereka ingin mengarungi bahtera. “Hidup Lek Sopek, hidup Lek Sopek,”begitu teriakan ratusan warga kampung Nelayan saat pesta panen ikan dimulai. (si regar)

Read More......
| 1 komentar ]

Rudal Irsael Merobek Jantung Ali

Baru saja Ali (9) mengerjakan PR sekolah ketika sebuah rudal jatuh di meja belajarya dan meledak. Tak hanya bukunya yang semburat, kepala, tangan, kaki, ginjal, dan jantung berceceran tak tentu arah. Potongan-potongan bagian tubuh mungil itu memulai gempuran pasukan Irsael di Guza, pagi ini.
Ali tak sempat menangis atau mengembuskan napasnya yang terakhir. Ia juga tak sempat melipat bukunya dan menyimpannya di dalam tas dan diberikan kepada gurunya esok hari. Ali bahkan tak sempat beranjak dari tempat duduknya sesenti pun. Satu-satunya yang bisa dikenali adalah dua baris kalimat di akhir yang tersobek dari buku tulisnya: “Bu guru, kata ayahku, bu guru cantik. Ayah ingin segera melamarmu. Ali.”
Sobekan kertas habis terbakar itu terbang mengikuti dentuman rudal yang terus melelehkan Guza. Ratusan orang tewas gosong tersambar bom panas. Ribuan lainnya meronta-ronta menyongsong sakaratul maut. Anak kehilangan bapak, isteri kehilangan suami. Kematian begitu dekat dan suara takbir sayup-sayup hilang. Langit tersobek di pusarnya. Matahari congkak menyiram cerlangnya. Rentetan tembakan terus dimuntahkan dan semakin hari nyawa orang-orang sipil Palestani beterbangan seperti laron.
Serangan ini diputuskan dalam sidang cabinet. Seluruh anggota parlemen mengacungkan tangan pertanda setuju. Gempuran dimulai dari sebuah gang sempit, tempat pemimpin besar partai politik Hanas, Ayatoellah Syafe’i Usman, berdiam. Tiga rumah dari bilik sempit pemimpin Hanas yang sedang berkhalwat itulah rumah Ali. Tentara Irsael menjatuhkan rudal tidak hanya di bilik sempit Syafe’i yang waktu itu sedang bertandang ke anak gadisnya yang sedang menikah di sebuah surau kecil di Ramal. “Blummm…” Rudak dijatuhkan hampir di sekujur gang. Syifa, teman sekelas Ali, juga Ridho, yang rumahnya di ujung gang, ikut bisu. Tak ada suara, rata dengan tanah. Tak ada bangunan tersisa. Ratusan rudal seolah membayar semua dendam Irsael kepada mereka.
Ali, Syifa, Ridho kemudian melanjutkan petulangan mereka di alam berbeda. Ketiganya tertawa, berlarian, menjumputi rudal-rudal kosong yang berserakan. Mereka terus tertawa dan bermain-main bersenda gurau. Sekejam Ali menghentikan anak kakinya. Ia melihat sobekan kertas di angkasa yang terombang-ambing dibawa desingnya angin. Ali mengejarnya dengan rapuh. Syifa dan Ridho menyusulnya. Ketiganya memainkan irama keceriaan, berkejar-kejaran, bersama-sama merebut kertas yang naas.
Ali menangkap kertas yang pinggirnya cokelat hitam. Ia membaca dua kalimat yang baru digoreskan. “Bu guru, kata ayahku, bu guru cantik. Ayah ingin segera melamarmu. Ali.” Seketika Ali terduduk dan menangis. Ayahnya tergolek di depannya tanpa kepala. Ibu gurunya tertatih-tatih diperkosa tentara Irsael. Ali menangis di sana, di alam berbeda dengan gurunya. “Bu guru…!!” (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Skenario Peledakan Bom

Pria itu tinggi besar. Kumisnya lebat. Mulutnya disumpal cerutu. Kakinya pongah, seperti anak-anak yang baru saja disunat. Ia tak berjenggot, juga tak mirip Osama. Ia tak berjubah, bersurban, apalagi teriak Allahu Akbar. Syahadatain saja mungkin tidak hapal. “Kamu atur saja, kapan bom dibawa dan diledakkan,” ia memerintah dengan suara gempa. Tiga pria berjenggot, berjubah hitam, bercelana semata kaki, bergegas ke ruang depan. “Antum sudah bisa bawa bomnya sekarang,” tutur satu dari tiga pria itu kepada tiga ihwan, yang tampak hitam jidatnya. Ketiga ihwan berjubah itu menangangguk. “Nanti akan ditransfer melalui nomor rekening yang antum berikan tadi,” tambahnya.

Tiga kardus lecek diangkat. Isinya 50 granat nanas aktif, belasan TNT, dan bom rakitan. Ketiga ihwan bergegas meninggalkan rumah itu dengan taksi yang sudah dipesan sebelumnya. Ketiganya meletakkan kardus-kardus itu di jok belakang. Kepada sopir taksi ketiga ihwan ini mengaku sedang berjualan buku-buku agama. “Pantesan kok tampak berat ya Ustad,” begitu sang sopir iseng.

Begitu ketiga ihwan ini menjauh, tiga pria berjenggot dan berjubah hitam itu menghampiri pria tinggi besar dan berkumis. “Bagaimana, apakah ihwan-ihwan bahlul itu sudah pergi,” kata si pria tinggi besar berkumis itu sambil meludah. Seketika tiga perawan datang dari kamar membawa tiga gelas anggur disuguhkan ke tiga pria berjenggot dan berjubah hitam. “Hahaha..mereka sudah pergi. Sekarang mana bagian ane, Bang,” kata salah satu dari ketiga pria berjenggot dan berjubah hitam itu. “Minum dulu anggurnya,” sergah pria tinggi besar dan berkumis. Tiga koper uang seratus ribuan dibanting di depan ketiganya. “Jumlahnya satu setengah milyar. Sisanya yang satu setengah milyar dibayar kalau bom sudah meledak,” kata pria tinggi besar dan berkumis.

Ketiga pria berjenggot dan berjubah itu tak banyak berkata. Ketiganya mengambil tiga koper kecil itu dengan serakah. “Hei…tunggu dulu,” si pria tinggi besar dan berkumis itu menginjak tiga koper itu dengan kasar. “Bagaimana dengan bom yang dipakai untuk menghancurkan masjid, apakah sudah dikirim dan siap diledakkan begitu sebuah gereja meledak lebih dulu,” pria tinggi besar itu menanti jawaban. “Semuanya sudah siap Bang. Tinggal nunggu perintah Abang saja, menit ke berapa bom bisa ditiup,” ujar salah satu dari ketiga pria berjenggot dan berjubah itu spontan. “Oke. Silakan bawa koper-koper ini,” pria tinggi besar itu segera meremas payudara tiga perawan yang membawa anggur dan menyerahkan ke tiga pria berjenggot dan berjubah hitam itu. Ketiga perawan itu juga sebagai imbalan untuk pekerjaan besar ini.

Si pria kini sendiri. Ia tertawa terpingkal-pingkal sampai bibirnya kesundut cerutu. “Diancuk, panas!!” Ia kembali tertawa terbahak-bahak. Dua perempuan cantik di belakangnya tak digubris. Padahal keduanya telah membuka behanya bulat-bulat. “Bagaimana bangsa ini bisa besar kalau masih ada orang-orang seperti mereka. Mudah diadu domba, wakakak, wakakak, wakakak!!!” Satu ngebom gereja, satunya ngebom masjid. “Semua aku atur rapi, agar seolah-olah terjadi permusuhan antaragama, media aku atur agar menempatkan berita ini menjadi headline terus-menerus. Tokoh-tokoh telah kusiapkan, pengacar-pengacara juga telah kubeli. Semua akan tunduk di bawah uangku, wakakak, wakakak, wakakak!!!”

Si pria tinggi besar dan berkumis terus berceloteh sendiri, padahal dua perempuan belia di belakangnya sudah tak memakai selembar benang pun. Di kanan kirinya botol-botol tuak bergelimpangan. “Kalau kondisinya aman, untuk apa latihan antiteror, nggak ada gunanya kan, atau sekedar habisin anggaran, wakakak, wakakak, atau bantuan luar negeri, wakakak, wakakak,” si pria itu mulai menyeruput perempuan belia, seperti ia minum kapucino pagi hari. “Yes boss!! I am ready. Ya Ndan, nanti aku laporan via email. Skenario telah diatur rapi dan uang telah aku distribusikan,” si pria tinggi besar itu menerima telepon dengan sigap. Lima menit ia kembali teler dan berada di perut dua perempuan belia itu.

Seminggu kemudian seluruh stasiun televisi menyiarkan berita peledakan gereja dan dibalas dengan peledakan masjid di sejumlah daerah. Presiden menetapkan negara dalam kondisi darurat dan pemilu terancam ditunda. Sementara di ujung telepon, si pria tinggi besar dan berkumis itu tertawa ngakak, wakakak, wakakak, wakakak!!! ( si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Calon Presiden Indonesia Ditentukan di Singapura

Presiden Indonesia 2009-2014 ditentukan di kota kecil di Singapura. Demikian laporan koresponden fiksinews dari Singapura, kemarin. Sejumlah utusan 10 negara berpengaruh di dunia telah melakukan rapat intensif selama tiga hari tiga malam. Mereka siap mengucurkan dana milyaran dolar AS untuk mendukung salah satu kandidat yang “diinginkan.”

Rapat dipimpin oleh seorang tokoh politik Indonesia. Ia menjadi kepanjangan tangan calon presiden yang akan maju dalam pemilu mendatang. Tokoh ini diharapkan bisa melindungi kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi sejumlah negara berpengaruh di dunia, terutama perusahaan-perusahaan mereka yang bercokol di Indonesia. Selain itu sejumlah kepentingan politik-bisnis telah disodorkan untuk dijadikan dasar kebijakan jika sang calon presiden telah dilantik secara resmi oleh MPR.

Saat ini, sepuluh negara itu telah berkomitmen mengucurkan anggaran 100 milyar dolar AS untuk mendanai kampanye sang calon. Anggaran dipatok sebesar Rp 500 milyar dolar untuk seluruh kebutuhan sang capres hingga dia dilantik. Anggaran ini diberikan tidak cuma-cuma tetapi dianggap sebagai utang politik. Jika sudah dilantik, seluruh kepentingan negara-negara yang tergabung dalam 10G itu harus diakomodasi seluruhnya. Sejumlah RUU strategis juga telah disiapkan. Scenario ekonomi Indonesia akan ditentukan oleh proposal yang telah disiapkan 10G.

Yang mencengangkan sejumlah koruptor kelas kakap, mafia narkoba, judi, dan perdagangan manusia juga melakukan rapat tertutup di tempat itu. Mereka juga mengonsep scenario dukungan terhadap salah satu calon presiden RI. Mereka juga telah menyepakati bantuan politik sebesar 200 milyar dolar AS untuk sang calon presiden. Mereka tegas-tegas menulis dokumen perlindungan bisnis haramnya agar bisa beroperasi secara legal atau semi legal di Indonesia.

Di dalam negeri sang calon presiden tetap mendapatkan simpatik dari rakyat. Sayangnya nama sang calon belum berhasil dikonfirmasi. (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Kuburan Zi Dibongkar

Belum genap sepekan, kuburan Zi dibongkar. “Aku harus tahu luka tembak Zi.” Suara itu begitu ringkih, seperti tak ingin terdengar khalayak. Sorot kamera datang tiba-tiba dan empunya suara menatapnya haru. Tak ada tetes air mata kesedihan. “Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Volume televisi diperbesar. Suara ringkih itu tiba-tiba seperti auman harimau, terdengar hingga ke pelosok dunia. “Aku harus tahu luka tembak Zi.”
Satu batalyon prajurit diterjunkan ke lapangan bola, tak jauh dari pekuburan Zi. Dengan menenteng senjata lengkap, prajurit mengepung pekuburan Zi dengan garang. Seekor lalat pun tak bisa menerbos barikade. Gulungan kawat berduri siang-malam menyelimuti area pekuburan. “Tidak ada yang boleh membongkar kuburan. Itu perbuatan pidana!” Suara itu datang bergemuruh di ruang pers conference di gedung bundar.
Nyanyian katak berkali-kali memanggil jasad Zi. Malam kini tak begitu sunyi. Suara katak terus berkaraoke, seperti ingin memandikan jasad Zi dan mengafaninya kembali. “Zi anakku. Tidak satu pun yang bisa melarangku. Aku ingin tahu luka tembak Zi,” suara ringkih itu berulang-ulang disorot kamera dan menyedot ratusan relawan dari berbagai daerah. “Aku ingin merangkulnya. Aku ingin merangkulnya.” Kali ini pemilik suara ringkih itu meneteskan air mata.
Barikade aparat terus ditambah. Siang-malam, mereka siaga. Hanya udara malam yang dingin yang bisa mondar-mandir menyelinap di antara barisan mereka. Selebihnya nyamuk alang-alang yang sesekali mencubit hidung. Perdebatan hukum pidana terus dikumandangkan dua pihak. Kuasa Hukum Zi melakukan gugatan kembali. Gugatan segera disidangkan dan ditolak. Diajukan banding dan ditolak kembali. Ancam-mengancam, saling mengumbar emosi, terus terjadi. Sebuah blog menyebarkan amis darah bagi nyawa para pejabat. “Kuburan ak bisa dibogkar. Itu pidana,” suara dari gedung bundar kembali membahana. “Bisa. Itu hak kami. Hak keluarga terpidana,” kuasa hukum Zi berapi-api.
Kuburan itu tak lagi angker. Kematian begitu dekat. Ruh-ruh beterbangan menyanyikan lagu kupu-kupu. Suara ringkih itu datang mengetuk pintu. “Zi, kaukah itu Nak?” Suara ringkih itu membongkar sendiri kuburan anaknya. Zi masih tidur di dalam peti. Ia begitu kaget dan cemas. Wajah anaknya tak lagi dikenali. Ia begitu dingin dan biru. Luka tembak itu tak ada lagi. “Itu bukan anakku. Itu bukan Zi!!” Suara ringkih itu menggelegar menyesaki jutaan penonton televisi. Sorot kamera menukik memasuki liang lahat. Jasad itu tidur dalam diam..sekujur tubuhnya remuk dan tak bisa dikenali. Ratusan peluru berhamburan seperti laron di musim penghujan.
Sore tampak mendung. Lampu-lampu belum dinyalakan. Teror bom kembali menyalak. Dua kedutaan besar disasar. Lumbung minyak dimasukkan dalam dokumen ancaman. Perjuangan jihad yang coba disuarakan oleh corong penguasa kini dikebiri sendiri. "Jihad kok ngebom depo minyak," si Mamad ngedumel menyaksikan televisi.

Kuburan Zi akhirnya dibongkar, mayatnya tiba-tiba hilang. Suara ringkih itu kini tak bersuara lagi. Ia pergi bersama Zi, menjajal beragam permainan di Tanjung Kodok. (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Barak Osama!!

Batu di sana sini tampak begitu dingin. Suara tetes air seperti hadirnya surga di kesunyian. Hari seolah buta. Pagi, siang, senja sama gelapnya seperti malam. Sejumput cahaya pun enggan datang. Hanya isak kelelawar yang melengking-lengking mengutuki telinga. Dia duduk bersila di ketinggian. Inilah Barak Osama. Sebuah tempat persembunyian yang konon begitu ramai tetapi sepi, begitu glamour tetapi perih.
Dia berada di bawah tanah sekian puluh meter. Sebuah bangunan yang mirip gua Hira. Di atasnya ditanam bangunan yang sering dinamai white house--simbol kegagalan bangsa besar terhadap persamaan hak: hitam dan putih- yang turun-temurun tetap dilanggengkan seolah ia penghapus dosa. Bahkan, ia menjadi ikon dunia tentang pentingnya demokrasi.
Beda jauh dengan Barak Osama. Ia tidak pernah punya warna. Barak Osama hanyalah gugusan batu, tetesan air dan cericau kelelawar. Tetapi, dia begitu gigih duduk di atas ketinggian. Pertarungan menegangkan telah dimenangkannya. Ia dinobatkan sebagai musuh demokrasi. Tetapi ia tak pernah mengolok-olok white house, karena dia sadar, dirinya hidup di bawah bangunan tua itu.
Kini, Barak Osama tak dingin lagi. Seorang muda berkulit gelap hadir untuk berdamai. Keduanya berjabat tangan. “Nama kita ini sama. Hanya beda huruf B.” Barak Osama segera ditinggalkannya. Dia akan pergi ke pasar, tempat keramaian berabad-abad. Dia mencukur gundul rambutnya, jenggotnya, dan mengganti jubahnya dengan jas hitam, lengkap dengan dasi dan musik hip hop. “Selamat datang Obama!!” (***)

Read More......
| 0 komentar ]

Sumpah Pemuda/Pemudi Pengangguran

kami pemuda/pemudi Indonesia
Bertanah Air Satu Tanah Air Tanpa Pekerjaan

kami pemuda/pemudi Indonesia
Berbangsa Satu Bangsa Pengangguran

kami pemuda/pemudi Indonesia
Berbahasa Satu Bahasa Kemiskinan

Djakarta, 28 Oktober 2008
/hb arifin

Read More......
| 0 komentar ]


Obama Menang, Langsung Teriak “Allahu Akbar”

JAKARTA - Seperti diprediksi banyak pengamat, Barrack Obama memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat. Begitu hasil uji petik cepat (quick qount) menempatkan murid SD Menteng Jakarta itu di urutan nomor wahid, Obama langsung berteriak,” Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Teriakan gegap gempita ini diikuti oleh tim sukses Obama yang menyesaki ruangan di sebuah gedung berlantai 10.
Tak berselang lama, Obama menuju jendela. Ia melihat di halaman gedung itu telah sesak ribuan pendukungnya. Dengan senyum ceria, Obama langsung mengepalkan tangannya dan berteriak lantang,”Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.”
Ribuan mulut pendukungnya dengan bersemangat turut meneriakkan “Allahu Akbar.” Banyak dari mereka masih ragu-ragu, tetapi begitu Obama bersuara lantang, para pendukung yang ragu itu spontan meneriakkan takbir. Satu di antara pendukung Obama yang menyesaki pelataran gedung itu Ust. Abu Bakar Baasyir. “You…up, up!!” Obama menunjuk Baasyir. Seketika itu pula, pria berjenggot putih itu dibopong beramai-ramai menuju tempat Obama. Baasyir menggenggam erat tangan Obama yang tampak hangat. “Ana khair, ana khair,” berkali-kali Baasyir mengucapkan kabar baik.
Obama memperkenalkan Baasyir kepada pendukungnya yang seketika itu senyap. “This is my friend. He is mujahid from Indonesia,” Obama memuji Baasyir. Ia lantang memberikan pidato singkat. “Amerika telah diteror dengan runtuhnya gedung WTC. Tetapi, tahukah wahai rakyat Amerika, para peneror itu bukanlah Osama bin Laden. Para peneror itu bukanlah Baasyir. Pemerintahan Amerika telah salah menghancurkan Irak dan Afghanistan. Saat ini, ketika saya terpilih sebagai Presiden Amerika, secara pribadi dan mewakili rakyat Amerika, saya menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada rakyat Irak, rakyat Afghanistan, dan Indonesia. Baasyir dan kawan-kawannya dari Indonesia telah menjadi korban perang terorisme yang digelar Amerika di seluruh dunia. I am sory my friend, I am sory Baasyir,” teriak Obama diikuti teriakan yang sama oleh seluruh pendukungnya yang kian lama kian membeludak dan memenuhi jalanan kota New York.
Setelah Obama, Baasyir mengambil mikrofon dan berpidato. “Amerika telah diserang akibat kesalahan Amerika sendiri yang tidak berlaku adil kepada kawan-kawannya, kepada rakyatnya, juga kepada negara-negara di belahan dunia. Siapa pelakunya, mari kita cari ke dalam pemerintahan George Walker Bush. Obama harus menuntaskan perang terhadap terorisme ini dengan baik agar Amerika bisa bangkit menjadi negara adidaya yang baik dan adil. Karena kalau Amerika tidak adil, krisis keuangan global ini akan membangkrutkan Amerika hingga semiskin-miskinnya. System ekonomi harus diubah menjadi system syariah. Pemerintahan Amerika harus diubah menjadi pemerintahan khilafah. Inilah perintah Allah yang benar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Di sepanjang jalan kota New York teriakan “Allahu Akbar” terus berkumandang. Stasiun televisi menayangkan pidato ini secara live. Berbagai pengamat memberi komentar baik atas isi pidato dua tokoh dunia itu.
Gerakan khilafah dimulai dari New York. Obama ditahbiskan menjadi presiden sekaligus pemerintahan tertinggi Khilafah Islam. Uniknya Obama tak mengubah status agamanya. Ia tetap memeluk agama lamanya. Tetapi, ia menerapkan seluruh system pemerintahan dan keuangan syariah.
Pidato Obama yang disiarkan oleh 1500 televisi di seluruh dunia ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menangis. Ia memanggil Jaksa Agung Hendarman Supandji dan pengacara Tim Pembela Muslim. Saat pertemuan terjadi, Presiden SBY itu langsung meminta TPM mengajukan grasi. “Aku akan mengabulkan grasi sebelum Obama dilantik,” tandas SBY. Imam Samudera, Amrozi dan Ali Gufron dan seluruh pelaku terorisme dibebaskan.
Seketika itu, aku terbangun dari tidur. “Subhanallah, mimpi apa aku barusan. Seolah Amerika telah menjadi khilafah. Seolah Indonesia dipimpin oleh presiden yang suka menangis.” Aku menyalakan televisi. Kukucek mataku berkali-kali. Berita di televisi menyebutkan Amrozi dkk akan dieksekusi awal bulan November dan pemilihan presiden AS belum terjadi. “Edan!! Mimpi kok seperti sungguhan!! Ratusan orang tewas, pelakunya dieksekusi yo ben! Gak urusan.” (***)








Read More......
| 0 komentar ]

Jaksa Hidup Tak Berguna Termehek-mehek

Jakarta- Ia duduk diam menekuri putusan. Majelis hakim mengetuk palu sambil komat-kamit,"Suadara kami nyatakan bersalah menerima suap dan dengan ini diptuskan hukuman Saudara 200 tahun penjara tanpa remisi, grasi, dan keringanan hukuman lainnya. Saudara juga didenda mengembalikan seragam korps, termasuk sandal Mushola." Ketua Majelis Hakim Adil Sitorus bersuara lantang. Sang terdakwa tetap diam. Air matanya tiba-tiba merembes. Bajunya basah. Ia tak kuasa bangkit dan pingsan seketika. Ambulan gratis milik Yayasan Wakaf Front Pecandu Islam menggotongnya ke RSCM. Ambulan ini selalu siaga di mana-mana.

Nasib Jaksa Hidup Tak Berguna benar-benar tak digunakan lagi oleh institusinya. Ia dipecat tidak hormat. Gaji dan pensiunnya distop. "Ia tahu, sebagai aparat hukum harus menegakkan hukum. Bukan malah menggerogoti hukum," tegas Sadarman Sudarmin, sang Jaksa Agung Negeri Bulbul.

Di RSCM, Jaksa Hidup terus menangis. Ia tak kuasa membuka matanya. "Saya sudah tak berguna lagi. Saya mau mati saja," ia menangisi nasibnya. Di sebelah kanan, ada isterinya yang juga tersedu-sedu. Di sebelah kirinya, tiga anaknya histeria meraung-raung menangisi putusan majelis hakim yang begitu lama. "Sampai jamuran aku masih di penjara, Bu," Hidup terus mengadu.

Lima menit kemudian, Ratu Suap Artomoro Sugih Tanpo Bondo datang. Ia membawa segebok rupiah. "Pak Hidup, berhentilah menangis. Saya menjamin hidup Anda tidak sampai lumutan di penjara Percayalah pada saya," Ratu Suap Artomoro Sugih Tanpo Bondo melesakkan dadanya ke wajah Hidup. Isteri Hidup terpengarah. Ketiga anaknay mengelap air mata. "Ini kan lumrah. Dalam hidup, ada suka ada duka. Wajar," Ratu Suap kembali menelungkukpkan wajah Hidup ke ketiaknya. Isteri Hidup mematung. Ketiga anaknya melotot. Suara Hidup masih sesenggukan. "hmmm heeee heeeeee."

Hidup duduk dan melihat Ratu Suap. Di tempat pembaringan, lima kopor penuh rupiah dibukanya. "Semua untuk saya Bu," tanya Hidup. "Iya, untuk kamu dan anak-isterimu." "Untuk Kepala LP juga sudah saya siapkan. Saya sudah teken kontrak sama dia, agar tidak mengganggu kamu. Kamu bisa tidur di rumah dan di sana sudah ada yang menggantikanmu. wajahnya persis dirimu. Jadi, tenang sajalah. Semua sudah diatur rapi. Jangan menangis lagi ya," Ratu Suap pamit pulang.

Hidup bersama anak dan isterinya begitu gembira. Ia dikawal pulang ke rumah baru di Puncak Bogor. Ia menjalani hidup baru yang lebih bahagia. Sepekan lagi ia sudah direncanakan melakukan perjalanan ke Singapura dan menetap di sana. (***)

Read More......
| 0 komentar ]

Wedus Combro Buka-bukaan
***Beber Amplop dari Beranda

Wedus Combro tertawa ngakak, ketika ditemui Fiksinews di rumahnya yang wah, di bilangan Mentang. Kumisnya seperti irisan keju. Bergerak ke atas ke bawah mengikuti intonasi ngakaknya. “Orang-orang kutipu, eh percaya juga, wua ka ka kak,” tertawanya sama persis dengan penonton ludruk Kartolo. Ia menyilangkan kakinya dan terbatuk-batuk. Ditenggaknya segelas mini whisky merah “tegluk…”
Wedus Combro mengumbar banyak rahasia. Pertemuannya di hotel Darma bersama Beranda dibuka lebar-lebar. “Fraksi terlibat. Kita terima dari fraksi,” kata Wedus Combro. Ia mulai tenang. Batuknya mereda dan “irisan keju” itu dielus-elus dengan dengan sisa whisky yang menempel di jarinya. Lima belas travel cek dibuka dibeber di depan meja. “Coba lihat, ini cek dari Beranda,” tuturnya sambil menarik tangan Fiksinews yang coba mengabadikannya dengan jepretan kamera poket.
Waktu itu senja belum masuk ketika Beranda dan seluruh pimpinan fraksi-fraksi di Dewan Perhitungan Rakyat (DPR) dan anggota Komisi Perduitan menggelar pertemuan. Sebuah ruangan cukup besar yang menampung hampir 50 orang. “Kalau Anda memilih saya, ini hadiahnya,” Wedus Combro menyitir pernyataan Beranda. Lima buah tas koper besar diletakkan di atas meja oleh anak buah Beranda. Satu koper dibuka. Semua yang hadir berdiri dan menyorongkan mukanya ke atas koper. “Saya duduk paling dekat. Uang itu pecahan Rp 100 ribu,” Wedus mempraktikkan gerakannya saat pertemuan bersama Beranda.
“Oke,” sambung Wedus menirukan ketua fraksi Partai Berjuang Terus. “Saya instruksikan, semua Fraksi Berjuang Terus memilih Beranda.” Wedus Combro waktu itu menyela,” Pembagiannya berapaan ya. Saya ingin travel cek sajalah, lebih mudah,” katanya. Saat itu juga ketua fraksi Berjuang menyela,” Bu Beranda sebaiknya memberikan cek saja. Simpanlah uang tunai itu. Lagian kantong kami kan tak cukup. Pokoknya ibu akan kami pilih,” katanya seperti ditirukan Wedus Combro sambil menggerakkan hidungnya yag sedikit gatal.
Beberapa utusan fraksi, seperti Fraksi Gulung Tikar, Fraksi Ingin Sejahtera dan Ingin Adil, Fraksi Angin Lalu, Fraksi Demo Terus, dan lainnya hanya bisa mengangguk. Disepakati ketua fraksi mendapatkan travel cek Rp 5 milyar. Anggota fraksi mendapatkan Rp 1 milyar. Amplop dibagikan tertutup. Sebagian ada yang membuka dan mencocokkan dengan teman-temannya. “Hei, aku dapat Rp 5 milyar ya. Kamu berapa, lima juga kan.” Beberapa orang saling pandang. Ada yang tidak sama.

Ketua Fraksi Ingin Sejahtera dan Ingin Adil mengumpulkan uangnya menjadi satu kemudian dibagi rata. “Oke. Kita adil kan. Uangnya kita bagi rata. Anggota dan ketua sama saja. Yang penting kita juga bagi untuk fakir miskin, kaum dhuafa, anak yatim, dan setoran ke partai. Adil ya,” ketua fraksi mengomando dan anggota fraksi mengamini. Seorang anggota mengangkat tangan dan berdoa. “Ya Allah terima kasih telah Engkau beri rezeki yang tidak aku sangka-sangka. Semoga uang ini berkah. Amiin.”

Ketua Fraksi Gulung Tikar tidak banyak bicara. Dia memasukkan amplop dan langsung pulang. Seluruh anggotanya juga tak banyak ba bi bu. “Hoi, jangan lupa pilih aku,” teriak Beranda, seperti ditirukan Wedus Combro.

Begitu semua yang hadir pulang, Wedus Combro mendekati Beranda yang masih duduk di meja. “Boleh minta tambahan Bu. Saya mau ganti mobil nih,” katanya. Wedus pun mendapat tambahan beberapa lembar cek. Totalnya Rp 5 milyar.

Lima hari kemudian, pemilihan di gedung Dewan Perhitungan Rakyat (DPR), Beranda dinobatkan lolos menjadi salah satu petinggi di Bank Ino. Beranda senang dan memanggil Wedus Combro. “Dus, isterimu berapa,” tanyanya. “Baru satu,” Wedus nyengir ditanya begitu. “Aku udah pesenin kamar 501. Di sana sudah menunggu cewek cantik yang siap melayanimu,” Beranda menyerahkan kunci dan pergi begitu saja.

Wedus Combro bergegas pergi ke hotel dan membuka pintu. “Nah, wanita itu kini jadi isteri keduaku. Nduk, merinio (ke sini, red) Nduk,” wedus Combro memanggil isterinya. “Kenalin, Elmai,” cewek itu menggenggam tangan Fiksinews. “Bajingan,” bisik Fiksinews sambil tetap ramah. Luna Maya pun kalah telak: 5-0. Wedus Combro kembali menenggak whisky-nya sambil bersandar ke dada Elmai yang montok. Bebrapa lembar travel cek masih berhamburan di meja. (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Rudi, Lima Menit Sebelum Diadili
(21/8/08)

Pria berkemeja garis-garis itu menyatroni Rudi, di ruang tunggu. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya klimis. Mulutnya bau sigaret, tapi parfumnya Italia. Tiga penjaga tak kuasa menahannya. ”Jenderal,” bisiknya, persis di gendang telinga Rudi. “Kita yang nanggung keluarga, tujuh turunan. Sabar, jenderal.” Sang jenderal kecut. “Bagaimana si Blacky, si Chacky, si Dhacky, apa juga kena. Kenapa cuma gw,” pahanya setengah diangkat. Dua kali kentutnya ditahan. Kali ini ambrol dan parfum Italia itu ditelannya dalam-dalam.

Ruangan pengab. Semua tutup hidung. “Chacky tidak bisa diganggu,” bisik sang pria itu belingsatan. Mulutnya tak di telinga Rudi lagi. “Dhacky?” “Ke luar negeri.” Rudi berdiri dan menyisir rambutnya. Kancing atas kemeja dalamnya dibuka dua. Jaket cokelat muda setengah krem dibiarkan tergerai, menjuntai ke bawah. Terlihat perutnya sedikit gendut. “Perkawanan kita bubar. Gw akan melawan,” teriak Rudi.

Pria itu terkesiap. Irama napasnya menjadi orkestra. Dua kali ia melakukan operasi jantung di Singapura. Dua kali pula ia nyaris binasa. Kini, untuk kali ketiga, sang pria kuning langsat itu tak bisa menyembunyikan kegalauannya. “Jenderal gilaaaaaaaaaaaaa!!!!” Ia berlari menjebol pintu. Tiga lembar travel cek berjatuhan. Dua bloknote berisi catatan rencana pembunuhan Kurir lengkap dengan jadwal, rute, pelaku, pendukung, alat transportasi, kontak person, dan plan A-Z tercerai berai. Wartawan melihatnya dengan tatapan kosong: ( si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Detik-detik Eksekusi Muklis

“Kita tidak akan pernah menyerah kepada orang-orang kafir. Mereka pantas dibunuh, mereka pantas dihabisi. Allah memerintahkan kepadaku, orang-orang kafir itu akan selalu memerangi kaum muslimin sampai orang muslim itu mengikuti keinginan mereka. Kita jangan pernah tunduk apalagi menyerah, Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar,” suara Muklis menggelegar begitu jeruji penjara dibuka dan tiga prajurit merangsek. Kepalan tangan Muklis ke udara seketika dibekuk. Rantai borgol menggiringnya ke tengkuk.

Muklis masih memakai sarung dan koko sekadarnya. Gamisnya tertancap di paku tembok. Kopiah putih tergeletak di lantai. Dua buku bertumpuk di pojok bersama sajadah yang belum terlipat. Ruangan tiga kali dua itu serasa sumpek. Lumut hijau seperti ukiran batik, nempel di dinding yang dingin. Atap plafon dibeton. Jeruji-jeruji besi kamar seperti barisan pasukan Nazi yang siap mencerabut ruh.

Matanya baru saja terlelap, ketika suara gembok dibuka dan tiga prajurit merangsek. Muklis terkejut. Ia bangkit dan dua hardikan sepatu lars mengiris tulang kerasnya, “dukk..!!”. Ayah dari Nisa, Ani, Ina, dan Ica itu langsung tertunduk. Bola matanya merah. Dengusnya berdarah. Dan, teriakan itu lantas menggelegar, mengumandangkan permusuhan. “Aku tak akan menyerah: bajingan, kafir, zionis, yahud!!” Serapah Muklis terusik. Jantungnya bergolak. Nadinya keras berdetak.

Di luar kamar, satu kompi pasukan khusus tembak seperti baru memulai operasi petrus. Belasan mobil angkut pasukan, lima ambulan, dua jip, lima sedan, dan sepuluh motor besar lalu lalang. Suara bising handy talky menyadarkan Muklis: “aku akan dieksekusi malam ini.” Matanya melihat bintang, tetapi seorang perwira cepat datang dan mengarugi kepalanya dengan karung goni. “Setan, kamu!!” umpat sang perwira bintang dua.

Muklis digelandang. Jejak kakinya meneteskan darah. Ia tak bersendal. Dua kali sepatu lars melesakkan tendangan. Muklis terus berkumandang, meneriakkan rapalan perjuangan. “Di Afghanistan, aku tak menyerah. Di sini, aku tak kan pernah tunduk. Hei, bangkitlah kaum muslimin. Kita lawan kaum kafir,” suaranya serak, terdengar sayup-sayup. Dua gagak melintas di langit dan berkoak… “koaaaakkk..koaakkk.”

Ia belum menyisir rambut. Ia belum berdoa. Ia belum assalamualaikum kepada malaikat agar dibukakan pintu surga. Ia belum melihat bidadari cantik yang menyambutnya di tepian sungai keabadian. Muklis telah dibawa bersama truk tentara ke pinggiran hutan. Tetapi, suara-suara binatang malam terus memanjatkan doa untuknya. Getaran tanah dari pijakan roda membacakan shalawat badar. Gemerisik angin seperti zikir kemenangan untuknya. Napas para serdadu yang didengarnya seperti kumandang azan untuk keberangkatannya menuju surga keabadian.

Muklis duduk di lantai truk. Sarungnya melorot hingga ke kaki. Ia hanya pakai kolor lusuh. Tampak bekas sobekan yang baru saja dijahit tangan. Muklis menggelepar-gelepar. Sepuluh senjata siap kokang di jidatnya. Prajurit bergaji pak ogah itu sami’na waato’na pada tugasnya. Mereka begitu tegang. Guncangan badan truk tak mengubah pendiriannya. Serdadu seperti peluru…, serdadu seperti peluru. “Hoiiii…buka penutup kepalaku….buka karung goni ini…banyak kecoa!!” Suara itu terdengar begitu keras. Sang serdadu tetap saja seperti peluru.

Tiba di tanah lapang. Muklis dilempar dari atas truk “brukk.” Satu dua kecoa melompat keluar. Sepasukan regu tembak segera merubungnya. Muklis kembali digelandang 300 meter dari tanah datar. Di sebuah pohon turi, Muklis diikat. Kakinya menggantung, badannya meronta-ronta. Tubuhnya menjadi sasaran seratus sniper. Muklis seperti musang kalah perang.

Para sniper menunggu aba-aba. Perwira bintang dua berdehem dua kali sebelum memberi petuah. “Tembak persis di dada kirinya!” Seratus senjata serentak bergeser ke kiri. “Tunggu perintah dari saya dan langsung shoot!!” Sang perwira melangkah mundur. Tangannya memberi komando. “Shoot!!” “door!!” Karung goni di kepala Muklis bergoyang. Tak ada teriakan. “Shoot!!” “door!!” Karung goni di kepala Muklis kembali bergetar. Sakaratul maut belum juga terdengar. “Shoot!!” “door…door..door..door!!”

Koko Muklis berwarna darah. Seperti aliran banjir bandang, darah itu meluncur deras dari karung goni menuju leher, merembes ke baju dan menghunjam ke semak-semak. Aungan serigala terdengar seperti melodi kematian. Dua gagak kembali melintas di atas kepala Muklik, “koaaakkk…koaaakkk.” Jengekrik dan ngengat menyanyikan kesedihan. Suara azan tiba-tiba berkumandang. Seorang serdadu roboh. Di dada kirinya ratusan amunisi bersarang. (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Detik-detik Eksekusi Zi Bin Amrodi

Zi merapikan rambutnya yang panjang. Beberapa tampak memutih. Jenggotnya sepuluh senti, hitam-putih. Zi mengelus jenggotnya tiga kali, mengelap rambutnya tiga kali, dan mengusap wajahnya tiga kali. “Ya, Allah, hari ini surga-Mu terbuka untukku,” bibirnya tersenyum. Hatinya berbunga.

Di pelupuknya, penjaga surga sudah memanggilnya berkali-kali. Suara dari surga menyebarkan kedatangannya. “Ahlan wasahlan Zi Bin Amrodi, ahlan wasahlan…come in please, silakan masuk wahai para syuhada.” Seperti suara azan, penyambutan atas Zi Bin Amrodi membahana ke seluruh surga. Orang-orang berbaju putih-putih menanti penuh harap.

Zi bergegas mengambil surban, gamis, dan memercikinya dengan kasturi. Terompah kulit yang baru dibawakan isteri keduanya langsung dipasangkan ke telapaknya. “Isteriku, rasanya tak sabar aku menantimu di surgaku. Ingin rasanya aku mengajakmu sekarang. Tapi, sudahlah, kau besarkan dulu anakku yang kusemai di rahimmu. Ia akan lebih hebat dari bapaknya. Kalau sekarang hanya 200 ribu, 20 tahun lagi, mungkin 2 juta nyawa kafirin itu akan melayang,” Zi melamun.

Para penjaga tak sabar. Beberapa polisi memegang mesin pencabut nyawa di depan kamar. “Zi,” komandan pasukan menegur. Waktu semakin pendek. Upacara eksekusi segera dilakukan. Regu tembak telah disiapkan.

Seorang ustad duduk memandangi Zi. Setelah mengucap istighfar tiga kali, Zi duduk di hadapan sang ustad. Keduanya taqorrub Ilallah. “Ikhlaskan hatimu Zi. Engkau dinantikan ribuan bidadari di surga. Parfumnya sudah tercium di kamar penjara ini,” sang Ustad menadahkan tangannya dan berdoa. Zi mengamini.

Semenit kemudian, setelah tangan mengusap wajah, Zi bangkit. Tangannya mengepal ke udara. Suaranya merobek keheningan malam.” Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…!!” Sepuluh penjaga mengapitnya erat-erat. Tangannya diborgol. Zi digelandang ke mobil tahanan. “Kau tak akan mati sia-sia wahai para mujahid. Kamu akan dimasukkan ke dalam surga dan ribuan bidadari menyambutmu. Kamu akan kekal selamanya, bahagia selamanya,” Zi mencerami sepuluh pasukan pengawal.

Sepuluh prajurit bersenjata lengkap, memakai jaket antipeluru, itu diam. Matanya memandang atap. Tak melirik, tak tersenyum. Zi terus berceramah. Guncangan mobil tak bersirine itu membelah kerumunan semak-semak. Di kanan kiri, pohon trembesi berdiri seperti gua al kahfi. Dua mobil tahanan menyusuri jalan tak lebar menuju Permisan. Ombak terdengar menyalak. Berdebur-debur memahat pantai. Dingin malam menyerusuk tulang. Di kejauhan, lentera berkedip. Pabrik industri di Cilacap sayup-sayup mengepulkan asap. Pabrik semen ikut melukisi langit biru gelap. Zi memuntahkan dalil-dalil ke sepuluh telinga prajurit. “Kafir harus dibunuh, kafir itu najis.”

Tak sampai tiga puluh menit, mobil tahanan memasuki jalan setapak, di samping Permisan, menuju ke pantai. Sungai kecil tampak berkilauan. Di tengah laut, sebuah sangkur besar tertancap di batu. Debur ombak terus menampar-nampar malam. Angin laut bertiup kencang, melipat kantuk yang sedang menggeliat.

Sepasukan prajurit mengepung mobil senjata terhunus di dada. Zi dikempit pasukan. Popornya menampar-nampar mukanya. “Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Terompahnya terjatuh. Gamisnya tersingkap oleh derasnya angin pantai. Surbannya melorot. “Tolong, tolong surbanku,” Zi coba berhenti melangkah. Prajurit terus menggelandangnya. “Jahanam…!” Zi melototkan matanya.

Surban ZI terbang dihempas angina, tinggi…tinggii…lalu diputar-putar angin di udara, dibawa ke atas pantai, terus tinggi ke tengah laut dan tiba-tiba meluncur deras menghunjam ke bawah, menuju sangkur yang tertancap di atas batu karas. Surban itu menyelimutinya dari cipratan ombak.

Di tengah pantai, sepasukan regu tembak disiapkan. Dari jarak seratus meter, sebuah tiang ditancamkan tegak. Zi diikat kuat-kuat, dibiarkan sendiri, menjemput maut. Pasukan bergeser, menjauh. Seorang algojo maju dan menutupi kepal Zi dengan kain hitam. Zi tak melihat. Ia tersenyum. “Ya Allah, betapa indah pertemuanku nanti,” katanya. Sesobek ayat kitab suci dibacanya. “Tidak ada daya dan kekuatan hanyalah milik-MU Ya Allah,” Zi komat-kamit. Beristighfar, merapal apa saja.

Ia seperti sedang menaiki Garuda, terbang ke udara, melayang-layang, melihat pemandangan, melihat bumi tempat manusia bermain-main. Zi terus melayang, ke udara tertinggi, menuju langit, menerabas mendung. Zi menyapa malaikat, menyalaminya dan menciumi keningnya. Zi melihat ribuan bidadari berbaris rapi, melambaikan tangan ke arahnya, menyambut kedatangannya. “Ahlan wasahlan ya Zi Bin Amrodi.” Kasturi di mana-mana. Air mengalir jernih. Keabadian datang dengan kemewahan. Zi tersenyum, tersenyum, terus tinggi dan tinggi.. Zi tak merasakan apapun. Zi menikmati keindahan, kebahagiaan.

Sepasukan prajurit pencabut nyawa itu lemas. Ribuan peluru telah ditembakkan. Tak satu pun yang membuat Zi terkulai. Pasukan lain ikut memberondongkan amunisi. Zi tetap tegak berdiri. Gamisnya tetap putih. Tak ada bercak darah. Kakinya menginjak tanah. Terompah kirinya hilang. Zi tetap tegak. Ia tak pernah tertembak. Zi…di mana kau. Gamis itu tetap berdiri tegak di tiang eksekusi. Di mana kau Zi…!! (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Sepuluh Menit di Ruang Kapol

JAKARTA - Rizali tampak bergegas menaiki tangga. Sepatunya sempat terlepas. Jas hitam , celana hitam, wewangian semerbak, Rizali tetap tak percaya diri. “Siapa yang memerintahkan pemeriksaan, raja, intelijen, atau siapa,” ia menggugat dalam hati. Sempat dicegat ajudan Pak Kapol, Rizali tak menggubris. Dua ajudan Pak Kapol terkesiap. Rizali menggebrak meja Pak Kapol. “Emangnya gw maling. Siapa yang merintah loe periksa gw,” bentak Rizali setengah mabuk.

Pak Kapol tersenyum. Dia merapikan kemejanya. Beberapa tanda penghargaan dipakainya lengkap. Ia duduk di pinggir meja. “Sabarlah Bang,” tangannya mengelus pundak Rizali. “Abang kayak nggak tahu saja,” imbuhnya sambil menaikkan pantat dan berjalan memutar. Satu set meja kursi dibiarkan kosong. Rizali berdiri mematung. Pak Kapol lalu melangkah ke samping.
Rizali menurunkan tensinya. “Gw kan cuma kasih Rp 500 juta doing. Itu kan nggak besar. Masak gw harus dipenjara,” pundaknya dikernyitkan. “Tapi kan Abang belum setor ke rekening anak saya,” Pak Kapol mencari bargaining. “Sialan loe,” Rizali membanting koran pagi yang baru saja dipegangnya. Di halaman dua tertulis, “Rizali Dalangi Demo Anarkis, Kucurkan Dana Rp 500 M.” “Ini lagi, wartawan mana itu nulis kaya gini. Setan gundul. Mana punya aku uang Rp 500 milyar,” kali ini Rizali tak menyia-nyiakan empuknya sofa Italia yang mahal itu dan membanting pahanya seperti ingin melompat.

Pak Kapol duduk di depannya. “Sekarang begini Bang. Abang transfer ke rekening anakku dan nanti Abang akan diperiksa oleh perwira menengah yang jempolan. Dijamin Abang bebas,” Pak Kapol menyungging dan memberikan bullpen.
Rizali mengeluarkan cek dari balik jas. “Ini saja deh, cek. Tulis sendirilah,” Rizali menyilangkan kakinya. Matanya dipejamkan. Dalam hatinya, dia berujar, “Diancuk!!” (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Annisa Melahirkan, Aulia Ditahan

JAKARTA - Lengkap sudah kebahagiaan Annisah Pongah. Isteri Pangeran Cimalas itu berhasil memaksa tim dokter RSPI (Rumah Sakit Pongah Indah) untuk menjalankan operasi caesar, persis pada hari kemerdekaan RI ke-63. Tim dokter tak berkutik. Awalnya, kelahiran direncanakan September, agar tanggalnya sama dengan tanggal kelahiran Raja Cimalas. Namun, kebahagiaan Annisah diciderai oleh berita penahanan ayah tirinya, Aulia Pongah, oleh Komisi Pemberangus Korupsi (KPK).
Berita mengejutkan ini membuat kunjungan Raja Cimalas ke RSPI dipercepat. Di kamar Annisah, Sang Raja menelepon Ketua KPK Asal Enyahlah. “Apa benar, Aulia kamu tahan,’ Tanya Raja dalam percakapan telepon. “Terpaksa kami tahan Raja, karena bukti-bukti telah menunjukkan keterlibatannya dalam mengotaki korupsi uang Bank Inonesia,” tutur Entahlah gemetar.
Tangan sang Raja mengepal dan ditinjukan ke tembok. Suaranya gemeretak. Annisah terkejut. Jabang bayinya menangis. Pengawal raja terkesiap dan mengambil posisi siaga. “Apa kau masih kurang. Berapa lagi nomor rekening yang harus kuisi,” bentak Sang Raja. Suara di telepon itu terdengar putus-putus. “Ti …tidak Sang Raja. Apa harus kami lepas lagi,” suara di telepon makin kecil.” “Goblok!!” Handphone di genggaman Raja dibanting, “bletaakkk.”
Raja keluar ruangan. Kakinya dihentakkan ke ubin seperti langkah serdadu menuju medan pertempuran. Napasnya berdengus. Jantungnya melompat-lompat. Matanya nanar. Raja terus melangkah menuju teras. Pasukan pengawal bergeragap. Mobil disiapkan di depan pintu. Semua pengawal dalam posisi siaga. Satu, dua, tiga langah lagi Raja akan menginjakkan kakinya ke mobil. Blizz, blizzz, blizzz…kameramen mengabadikan kehadiran Raja.
Tiba-tiba Raja berhenti melangkah. Ia berdiri di samping sedan mengkilapnya. Ia melihat kerumunan wartawan dan melambaikan tangan. Bibirnya tersenyum, seolah ia baru saja menghadiri pesta kemenangan di medan perang. Berkilai-kilau rambutnya digagahi cahaya kamera. Sedetik kemudian, Raja duduk di dalam mobil dan memaki-maki Asal Enyahlah. “Saya sudah mentransfer milyaran rupiah untuk dia agar Aulia dibebaskan. Apa perintahku kurang jelas,” suaranya dimuntahkan ke ajudannya, Abi Malah Menggoreng. Abi mengernyitkan dahi. Matanya pucat seperti baru dijilat herder. (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Ryan Makan Tubuh Penjaga Tahanan

Jakarta- Ryan-to dikabarkan muntah darah di dalam tahanan. Semua penjaga panic. Seorang prajurit mendekat dan memegang kepala Ryan-to dari balik jeruji. “Mampus, loe,” katanya, kemarin. Mata Ryan merah. Mulutnya amis. Giginya gemeretak. Tiba-tiba tangan anggota kepolisian itu dipegang kuat-kuat.” Apa loe bilang,” Ryan-to mengeram seperti kesetanan. Tangan sang prajurit rendahan itu digigit hingga patah. Sang prajurit mengerang kesakitan. “Tolong, tolong,” sebuah letusan mengiringi histerianya.

Dada Ryan-to tertembus peluru. Darah mengalir hitam. Ryan-to roboh. Matanya mendelik. Mulutnya keluar begitu banyak darah. Ryan-to tergeletak. Tubuhnya kaku.

Tak berselang lama, sepuluh prajurit brsenjata lengkap datang menolong kawannya. Mereka lantas mengeluarkan Ryan-to dari tahanan. Ia dibawa ke belakang. Ke sebuah ruangan yang gelap dan dingin. Ryan-to tetap tak berkutik. Tubuhnya ditendang. Tangannya diinjak. “Bajingan loe. Tak tahu malu,” teriak salah satu dari mereka. Kemaluannya dipopor senjata. Ryan-to menjerit sambil terbatuk-batuk. Ia mengerang. Lalu, ia diam.

Setelah puas menyiksa Ryan-to, kesepuluh prajurit itu duduk, melepas senjata sambil merokok. Tiba-tiba Ryan-to bangun dan menerkam salah seorang prajurit yang sedang merokok. Lehernya digigit gingga sekepal dagingnya tersobek. Ryan-to memakan daging itu dan menikmati kuah darah segar yang mengucur deras. Ryan-to merampa senjata dan menembakkan pelurunya ke sembilan prajurit lainnya.

Markas kepolisian pun geger. Seluruh ruangan diisolasi. Tak ada yang berani mendekati ruangan tempat Ryan-to menghabisi prajurit penjaga sel tahanan. Polisi hanya berani mengimbau agar Ryan-to menyerahkan diri. Tetapi, Ryan-to justeru membalasnya dengan serentetan tembakan. Polisi menunggu hingga pagi hari.

Begitu matahari bersinar terang, polisi mengerahkan tim khusus antiteror untuk menggerebek Ryan. Begitu digerebek, Ryan sedang tertidur lelap. Di ruangan itu tampak berceceran daging basah. Hampir semua tubuh prajurit tak utuh..Ryan telah memakan tubuh prajurit semalaman..hmmmm…(siregar)

Read More......