| 0 komentar ]

Detik-detik Eksekusi Muklis

“Kita tidak akan pernah menyerah kepada orang-orang kafir. Mereka pantas dibunuh, mereka pantas dihabisi. Allah memerintahkan kepadaku, orang-orang kafir itu akan selalu memerangi kaum muslimin sampai orang muslim itu mengikuti keinginan mereka. Kita jangan pernah tunduk apalagi menyerah, Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar,” suara Muklis menggelegar begitu jeruji penjara dibuka dan tiga prajurit merangsek. Kepalan tangan Muklis ke udara seketika dibekuk. Rantai borgol menggiringnya ke tengkuk.

Muklis masih memakai sarung dan koko sekadarnya. Gamisnya tertancap di paku tembok. Kopiah putih tergeletak di lantai. Dua buku bertumpuk di pojok bersama sajadah yang belum terlipat. Ruangan tiga kali dua itu serasa sumpek. Lumut hijau seperti ukiran batik, nempel di dinding yang dingin. Atap plafon dibeton. Jeruji-jeruji besi kamar seperti barisan pasukan Nazi yang siap mencerabut ruh.

Matanya baru saja terlelap, ketika suara gembok dibuka dan tiga prajurit merangsek. Muklis terkejut. Ia bangkit dan dua hardikan sepatu lars mengiris tulang kerasnya, “dukk..!!”. Ayah dari Nisa, Ani, Ina, dan Ica itu langsung tertunduk. Bola matanya merah. Dengusnya berdarah. Dan, teriakan itu lantas menggelegar, mengumandangkan permusuhan. “Aku tak akan menyerah: bajingan, kafir, zionis, yahud!!” Serapah Muklis terusik. Jantungnya bergolak. Nadinya keras berdetak.

Di luar kamar, satu kompi pasukan khusus tembak seperti baru memulai operasi petrus. Belasan mobil angkut pasukan, lima ambulan, dua jip, lima sedan, dan sepuluh motor besar lalu lalang. Suara bising handy talky menyadarkan Muklis: “aku akan dieksekusi malam ini.” Matanya melihat bintang, tetapi seorang perwira cepat datang dan mengarugi kepalanya dengan karung goni. “Setan, kamu!!” umpat sang perwira bintang dua.

Muklis digelandang. Jejak kakinya meneteskan darah. Ia tak bersendal. Dua kali sepatu lars melesakkan tendangan. Muklis terus berkumandang, meneriakkan rapalan perjuangan. “Di Afghanistan, aku tak menyerah. Di sini, aku tak kan pernah tunduk. Hei, bangkitlah kaum muslimin. Kita lawan kaum kafir,” suaranya serak, terdengar sayup-sayup. Dua gagak melintas di langit dan berkoak… “koaaaakkk..koaakkk.”

Ia belum menyisir rambut. Ia belum berdoa. Ia belum assalamualaikum kepada malaikat agar dibukakan pintu surga. Ia belum melihat bidadari cantik yang menyambutnya di tepian sungai keabadian. Muklis telah dibawa bersama truk tentara ke pinggiran hutan. Tetapi, suara-suara binatang malam terus memanjatkan doa untuknya. Getaran tanah dari pijakan roda membacakan shalawat badar. Gemerisik angin seperti zikir kemenangan untuknya. Napas para serdadu yang didengarnya seperti kumandang azan untuk keberangkatannya menuju surga keabadian.

Muklis duduk di lantai truk. Sarungnya melorot hingga ke kaki. Ia hanya pakai kolor lusuh. Tampak bekas sobekan yang baru saja dijahit tangan. Muklis menggelepar-gelepar. Sepuluh senjata siap kokang di jidatnya. Prajurit bergaji pak ogah itu sami’na waato’na pada tugasnya. Mereka begitu tegang. Guncangan badan truk tak mengubah pendiriannya. Serdadu seperti peluru…, serdadu seperti peluru. “Hoiiii…buka penutup kepalaku….buka karung goni ini…banyak kecoa!!” Suara itu terdengar begitu keras. Sang serdadu tetap saja seperti peluru.

Tiba di tanah lapang. Muklis dilempar dari atas truk “brukk.” Satu dua kecoa melompat keluar. Sepasukan regu tembak segera merubungnya. Muklis kembali digelandang 300 meter dari tanah datar. Di sebuah pohon turi, Muklis diikat. Kakinya menggantung, badannya meronta-ronta. Tubuhnya menjadi sasaran seratus sniper. Muklis seperti musang kalah perang.

Para sniper menunggu aba-aba. Perwira bintang dua berdehem dua kali sebelum memberi petuah. “Tembak persis di dada kirinya!” Seratus senjata serentak bergeser ke kiri. “Tunggu perintah dari saya dan langsung shoot!!” Sang perwira melangkah mundur. Tangannya memberi komando. “Shoot!!” “door!!” Karung goni di kepala Muklis bergoyang. Tak ada teriakan. “Shoot!!” “door!!” Karung goni di kepala Muklis kembali bergetar. Sakaratul maut belum juga terdengar. “Shoot!!” “door…door..door..door!!”

Koko Muklis berwarna darah. Seperti aliran banjir bandang, darah itu meluncur deras dari karung goni menuju leher, merembes ke baju dan menghunjam ke semak-semak. Aungan serigala terdengar seperti melodi kematian. Dua gagak kembali melintas di atas kepala Muklik, “koaaakkk…koaaakkk.” Jengekrik dan ngengat menyanyikan kesedihan. Suara azan tiba-tiba berkumandang. Seorang serdadu roboh. Di dada kirinya ratusan amunisi bersarang. (si regar)

0 komentar

Posting Komentar