| 0 komentar ]

Detik-detik Eksekusi Zi Bin Amrodi

Zi merapikan rambutnya yang panjang. Beberapa tampak memutih. Jenggotnya sepuluh senti, hitam-putih. Zi mengelus jenggotnya tiga kali, mengelap rambutnya tiga kali, dan mengusap wajahnya tiga kali. “Ya, Allah, hari ini surga-Mu terbuka untukku,” bibirnya tersenyum. Hatinya berbunga.

Di pelupuknya, penjaga surga sudah memanggilnya berkali-kali. Suara dari surga menyebarkan kedatangannya. “Ahlan wasahlan Zi Bin Amrodi, ahlan wasahlan…come in please, silakan masuk wahai para syuhada.” Seperti suara azan, penyambutan atas Zi Bin Amrodi membahana ke seluruh surga. Orang-orang berbaju putih-putih menanti penuh harap.

Zi bergegas mengambil surban, gamis, dan memercikinya dengan kasturi. Terompah kulit yang baru dibawakan isteri keduanya langsung dipasangkan ke telapaknya. “Isteriku, rasanya tak sabar aku menantimu di surgaku. Ingin rasanya aku mengajakmu sekarang. Tapi, sudahlah, kau besarkan dulu anakku yang kusemai di rahimmu. Ia akan lebih hebat dari bapaknya. Kalau sekarang hanya 200 ribu, 20 tahun lagi, mungkin 2 juta nyawa kafirin itu akan melayang,” Zi melamun.

Para penjaga tak sabar. Beberapa polisi memegang mesin pencabut nyawa di depan kamar. “Zi,” komandan pasukan menegur. Waktu semakin pendek. Upacara eksekusi segera dilakukan. Regu tembak telah disiapkan.

Seorang ustad duduk memandangi Zi. Setelah mengucap istighfar tiga kali, Zi duduk di hadapan sang ustad. Keduanya taqorrub Ilallah. “Ikhlaskan hatimu Zi. Engkau dinantikan ribuan bidadari di surga. Parfumnya sudah tercium di kamar penjara ini,” sang Ustad menadahkan tangannya dan berdoa. Zi mengamini.

Semenit kemudian, setelah tangan mengusap wajah, Zi bangkit. Tangannya mengepal ke udara. Suaranya merobek keheningan malam.” Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…!!” Sepuluh penjaga mengapitnya erat-erat. Tangannya diborgol. Zi digelandang ke mobil tahanan. “Kau tak akan mati sia-sia wahai para mujahid. Kamu akan dimasukkan ke dalam surga dan ribuan bidadari menyambutmu. Kamu akan kekal selamanya, bahagia selamanya,” Zi mencerami sepuluh pasukan pengawal.

Sepuluh prajurit bersenjata lengkap, memakai jaket antipeluru, itu diam. Matanya memandang atap. Tak melirik, tak tersenyum. Zi terus berceramah. Guncangan mobil tak bersirine itu membelah kerumunan semak-semak. Di kanan kiri, pohon trembesi berdiri seperti gua al kahfi. Dua mobil tahanan menyusuri jalan tak lebar menuju Permisan. Ombak terdengar menyalak. Berdebur-debur memahat pantai. Dingin malam menyerusuk tulang. Di kejauhan, lentera berkedip. Pabrik industri di Cilacap sayup-sayup mengepulkan asap. Pabrik semen ikut melukisi langit biru gelap. Zi memuntahkan dalil-dalil ke sepuluh telinga prajurit. “Kafir harus dibunuh, kafir itu najis.”

Tak sampai tiga puluh menit, mobil tahanan memasuki jalan setapak, di samping Permisan, menuju ke pantai. Sungai kecil tampak berkilauan. Di tengah laut, sebuah sangkur besar tertancap di batu. Debur ombak terus menampar-nampar malam. Angin laut bertiup kencang, melipat kantuk yang sedang menggeliat.

Sepasukan prajurit mengepung mobil senjata terhunus di dada. Zi dikempit pasukan. Popornya menampar-nampar mukanya. “Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Terompahnya terjatuh. Gamisnya tersingkap oleh derasnya angin pantai. Surbannya melorot. “Tolong, tolong surbanku,” Zi coba berhenti melangkah. Prajurit terus menggelandangnya. “Jahanam…!” Zi melototkan matanya.

Surban ZI terbang dihempas angina, tinggi…tinggii…lalu diputar-putar angin di udara, dibawa ke atas pantai, terus tinggi ke tengah laut dan tiba-tiba meluncur deras menghunjam ke bawah, menuju sangkur yang tertancap di atas batu karas. Surban itu menyelimutinya dari cipratan ombak.

Di tengah pantai, sepasukan regu tembak disiapkan. Dari jarak seratus meter, sebuah tiang ditancamkan tegak. Zi diikat kuat-kuat, dibiarkan sendiri, menjemput maut. Pasukan bergeser, menjauh. Seorang algojo maju dan menutupi kepal Zi dengan kain hitam. Zi tak melihat. Ia tersenyum. “Ya Allah, betapa indah pertemuanku nanti,” katanya. Sesobek ayat kitab suci dibacanya. “Tidak ada daya dan kekuatan hanyalah milik-MU Ya Allah,” Zi komat-kamit. Beristighfar, merapal apa saja.

Ia seperti sedang menaiki Garuda, terbang ke udara, melayang-layang, melihat pemandangan, melihat bumi tempat manusia bermain-main. Zi terus melayang, ke udara tertinggi, menuju langit, menerabas mendung. Zi menyapa malaikat, menyalaminya dan menciumi keningnya. Zi melihat ribuan bidadari berbaris rapi, melambaikan tangan ke arahnya, menyambut kedatangannya. “Ahlan wasahlan ya Zi Bin Amrodi.” Kasturi di mana-mana. Air mengalir jernih. Keabadian datang dengan kemewahan. Zi tersenyum, tersenyum, terus tinggi dan tinggi.. Zi tak merasakan apapun. Zi menikmati keindahan, kebahagiaan.

Sepasukan prajurit pencabut nyawa itu lemas. Ribuan peluru telah ditembakkan. Tak satu pun yang membuat Zi terkulai. Pasukan lain ikut memberondongkan amunisi. Zi tetap tegak berdiri. Gamisnya tetap putih. Tak ada bercak darah. Kakinya menginjak tanah. Terompah kirinya hilang. Zi tetap tegak. Ia tak pernah tertembak. Zi…di mana kau. Gamis itu tetap berdiri tegak di tiang eksekusi. Di mana kau Zi…!! (si regar)

0 komentar

Posting Komentar