| 0 komentar ]

Sepuluh Menit di Ruang Kapol

JAKARTA - Rizali tampak bergegas menaiki tangga. Sepatunya sempat terlepas. Jas hitam , celana hitam, wewangian semerbak, Rizali tetap tak percaya diri. “Siapa yang memerintahkan pemeriksaan, raja, intelijen, atau siapa,” ia menggugat dalam hati. Sempat dicegat ajudan Pak Kapol, Rizali tak menggubris. Dua ajudan Pak Kapol terkesiap. Rizali menggebrak meja Pak Kapol. “Emangnya gw maling. Siapa yang merintah loe periksa gw,” bentak Rizali setengah mabuk.

Pak Kapol tersenyum. Dia merapikan kemejanya. Beberapa tanda penghargaan dipakainya lengkap. Ia duduk di pinggir meja. “Sabarlah Bang,” tangannya mengelus pundak Rizali. “Abang kayak nggak tahu saja,” imbuhnya sambil menaikkan pantat dan berjalan memutar. Satu set meja kursi dibiarkan kosong. Rizali berdiri mematung. Pak Kapol lalu melangkah ke samping.
Rizali menurunkan tensinya. “Gw kan cuma kasih Rp 500 juta doing. Itu kan nggak besar. Masak gw harus dipenjara,” pundaknya dikernyitkan. “Tapi kan Abang belum setor ke rekening anak saya,” Pak Kapol mencari bargaining. “Sialan loe,” Rizali membanting koran pagi yang baru saja dipegangnya. Di halaman dua tertulis, “Rizali Dalangi Demo Anarkis, Kucurkan Dana Rp 500 M.” “Ini lagi, wartawan mana itu nulis kaya gini. Setan gundul. Mana punya aku uang Rp 500 milyar,” kali ini Rizali tak menyia-nyiakan empuknya sofa Italia yang mahal itu dan membanting pahanya seperti ingin melompat.

Pak Kapol duduk di depannya. “Sekarang begini Bang. Abang transfer ke rekening anakku dan nanti Abang akan diperiksa oleh perwira menengah yang jempolan. Dijamin Abang bebas,” Pak Kapol menyungging dan memberikan bullpen.
Rizali mengeluarkan cek dari balik jas. “Ini saja deh, cek. Tulis sendirilah,” Rizali menyilangkan kakinya. Matanya dipejamkan. Dalam hatinya, dia berujar, “Diancuk!!” (si regar)

0 komentar

Posting Komentar