| 0 komentar ]

Kuburan Zi Dibongkar

Belum genap sepekan, kuburan Zi dibongkar. “Aku harus tahu luka tembak Zi.” Suara itu begitu ringkih, seperti tak ingin terdengar khalayak. Sorot kamera datang tiba-tiba dan empunya suara menatapnya haru. Tak ada tetes air mata kesedihan. “Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Volume televisi diperbesar. Suara ringkih itu tiba-tiba seperti auman harimau, terdengar hingga ke pelosok dunia. “Aku harus tahu luka tembak Zi.”
Satu batalyon prajurit diterjunkan ke lapangan bola, tak jauh dari pekuburan Zi. Dengan menenteng senjata lengkap, prajurit mengepung pekuburan Zi dengan garang. Seekor lalat pun tak bisa menerbos barikade. Gulungan kawat berduri siang-malam menyelimuti area pekuburan. “Tidak ada yang boleh membongkar kuburan. Itu perbuatan pidana!” Suara itu datang bergemuruh di ruang pers conference di gedung bundar.
Nyanyian katak berkali-kali memanggil jasad Zi. Malam kini tak begitu sunyi. Suara katak terus berkaraoke, seperti ingin memandikan jasad Zi dan mengafaninya kembali. “Zi anakku. Tidak satu pun yang bisa melarangku. Aku ingin tahu luka tembak Zi,” suara ringkih itu berulang-ulang disorot kamera dan menyedot ratusan relawan dari berbagai daerah. “Aku ingin merangkulnya. Aku ingin merangkulnya.” Kali ini pemilik suara ringkih itu meneteskan air mata.
Barikade aparat terus ditambah. Siang-malam, mereka siaga. Hanya udara malam yang dingin yang bisa mondar-mandir menyelinap di antara barisan mereka. Selebihnya nyamuk alang-alang yang sesekali mencubit hidung. Perdebatan hukum pidana terus dikumandangkan dua pihak. Kuasa Hukum Zi melakukan gugatan kembali. Gugatan segera disidangkan dan ditolak. Diajukan banding dan ditolak kembali. Ancam-mengancam, saling mengumbar emosi, terus terjadi. Sebuah blog menyebarkan amis darah bagi nyawa para pejabat. “Kuburan ak bisa dibogkar. Itu pidana,” suara dari gedung bundar kembali membahana. “Bisa. Itu hak kami. Hak keluarga terpidana,” kuasa hukum Zi berapi-api.
Kuburan itu tak lagi angker. Kematian begitu dekat. Ruh-ruh beterbangan menyanyikan lagu kupu-kupu. Suara ringkih itu datang mengetuk pintu. “Zi, kaukah itu Nak?” Suara ringkih itu membongkar sendiri kuburan anaknya. Zi masih tidur di dalam peti. Ia begitu kaget dan cemas. Wajah anaknya tak lagi dikenali. Ia begitu dingin dan biru. Luka tembak itu tak ada lagi. “Itu bukan anakku. Itu bukan Zi!!” Suara ringkih itu menggelegar menyesaki jutaan penonton televisi. Sorot kamera menukik memasuki liang lahat. Jasad itu tidur dalam diam..sekujur tubuhnya remuk dan tak bisa dikenali. Ratusan peluru berhamburan seperti laron di musim penghujan.
Sore tampak mendung. Lampu-lampu belum dinyalakan. Teror bom kembali menyalak. Dua kedutaan besar disasar. Lumbung minyak dimasukkan dalam dokumen ancaman. Perjuangan jihad yang coba disuarakan oleh corong penguasa kini dikebiri sendiri. "Jihad kok ngebom depo minyak," si Mamad ngedumel menyaksikan televisi.

Kuburan Zi akhirnya dibongkar, mayatnya tiba-tiba hilang. Suara ringkih itu kini tak bersuara lagi. Ia pergi bersama Zi, menjajal beragam permainan di Tanjung Kodok. (si regar)

Read More......
| 0 komentar ]

Barak Osama!!

Batu di sana sini tampak begitu dingin. Suara tetes air seperti hadirnya surga di kesunyian. Hari seolah buta. Pagi, siang, senja sama gelapnya seperti malam. Sejumput cahaya pun enggan datang. Hanya isak kelelawar yang melengking-lengking mengutuki telinga. Dia duduk bersila di ketinggian. Inilah Barak Osama. Sebuah tempat persembunyian yang konon begitu ramai tetapi sepi, begitu glamour tetapi perih.
Dia berada di bawah tanah sekian puluh meter. Sebuah bangunan yang mirip gua Hira. Di atasnya ditanam bangunan yang sering dinamai white house--simbol kegagalan bangsa besar terhadap persamaan hak: hitam dan putih- yang turun-temurun tetap dilanggengkan seolah ia penghapus dosa. Bahkan, ia menjadi ikon dunia tentang pentingnya demokrasi.
Beda jauh dengan Barak Osama. Ia tidak pernah punya warna. Barak Osama hanyalah gugusan batu, tetesan air dan cericau kelelawar. Tetapi, dia begitu gigih duduk di atas ketinggian. Pertarungan menegangkan telah dimenangkannya. Ia dinobatkan sebagai musuh demokrasi. Tetapi ia tak pernah mengolok-olok white house, karena dia sadar, dirinya hidup di bawah bangunan tua itu.
Kini, Barak Osama tak dingin lagi. Seorang muda berkulit gelap hadir untuk berdamai. Keduanya berjabat tangan. “Nama kita ini sama. Hanya beda huruf B.” Barak Osama segera ditinggalkannya. Dia akan pergi ke pasar, tempat keramaian berabad-abad. Dia mencukur gundul rambutnya, jenggotnya, dan mengganti jubahnya dengan jas hitam, lengkap dengan dasi dan musik hip hop. “Selamat datang Obama!!” (***)

Read More......