| 0 komentar ]

Presiden Sukit Tog

Sepuluh kursi merubung meja bundar di sebuah hotel di Kota New York. Hadir kandidat calon presiden dan calon wakil presiden Indokita. Keduanya khusyuk mendengarkan seseorang yang sedang berkhotbah. "You must win." Ia berulang kali mengatakan tiga kosakata itu. Sejenak ia merenung. "How much?" Sebelum dijawab, ia kembali mengumbar kalimat-kalimatnya. "100 milyar dolar." "Itu angka besar Bung," ia melanjutkan. Dunia sedang krisis. Tetapi angka itu disumbang dari deposito hasil tambang yang dikeruk dari negaramu. "Jadi cincailah."

Seorang keturunan negro. Dua meter tingginya. Tiba-tiba ia menyela. "Mafia narkoba akan menyumbang berapa pun yang kalian minta," ia kembali duduk dan menopang dagu. Giliran mafia judi dan traficking. "Semua akan mendukungmu, Bung. Jangan ragu," seorang pejabat dari negeri seberang juga angkat bicara.

Capres Indokita tersenyum. "Aku harus memimpin negeri ini," katanya setengah berteriak. "Jika semua sudah setuju, uang cash lebih baik. Sekarang, tinggalkan pesan-pesan Anda. Kewajiban saya hanya melayani saudara-saudara,' tuturnya.

"OH ya jangan lupa. Perbaiki citra Anda sebelum semuanya gagal berantakan. Rakyatmu gambang dibodohi, ditipu. Bersisirlah yang rapi dan pakailah jas. Suruh para pengamat memuji-muji keberhasilanmu. Perintahkan lembaga-lembaga survei membuat laporan popularitasmu. Kemenengan sudah 70% di tangan. Tinggal gaya bicaramu diatur dan jangan pernah melukai lawan politik. Kau akan dianggap seperti malaikat," kata seorang pejabat itu dengan tenang, tetapi penuh isi. "Terima kasih, Sir," Capres Indokita membukukkan tengkuknya sambil menyilangkan tangannya di dada.

Sekejap kemudian pesawat menderu menebar kegembiraan. Sejumlah petinggi Indokita berjajar rapi di landasan bandara untuk menyambut kehadiran Capres Indokita. Beberapa pucuk pimpinan tentara dan kepolisian juga tak absen. "Semua terkendali," capres itu menyalami satu per satu sejawatnya.

Di mobil menuju ke kediamannya, sejumlah rencana sudah disusun. Termasuk membuat survei hitung cepat dan menggelontorkan hadiah dan puja-puji. Semua tokoh diundang untuk gala dinner. Mereka dimintai komitmennya untuk mendukung.

Tibalah saatnya pemilu digelar. Satu jam setelah pemilihan usai, sepuluh lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepat. "Selamat, Anda pemenangnya, Pak," kata Direktur Lembaga Survei Tobang Sitoulung menjabat erat sang capres. Kemeangan kali ini hanya satu putaran. Dua kandidat lainnya keok dan menepi di pinggir jalan. Ada yang menangis. Ada pula yang langsung minggat, mengungsi ke luar negeri. Sementara calon gaek memilih menutup pintu di kamarnya, rapat-rapat.

Sang capres yang menang sudah membuka catatan bukunya. Pejabat panita pemilu sudah masuk dalam catatan susunan kabinet. "Yang tak masuk sudah aku tempatkan untuk mengganti dubes dan deposito," tutur sang capres. "Semua diatur yang rapi. Jangan ada yang bocor."

Capres pemenang pun turun ke jalan. Ratusan ribu massa mengelu-elukannya. Konvoi jalanan pun dilakukan di mana-mana, di seantero penjuru negeri. "Hidup Pak Sukit, Hidup Pak Sukit."
Lima tahun ke depan Indokita akan dipimpin oleh Presiden Sukit Tog. (si rait)

Read More......
| 0 komentar ]

Sepi

Pak Suli tergopoh-gopoh memasuki rumahnya. Dua kali sepatunya menyandung rumput. “Sial!!” Lima pengawalnya beradu cepat di belakang. Sorak sorai membahana di ruang tengah. “Kita menang, Pak. Kita menang!” Botol-botol minuman berserakan di meja. Juga pizza, KFC, MC’D, berdesakan mencari tempat. Tak terlihat tempe, tahu, pisang goreng. Bakpia, wingko, bika, atau selai juga tak tampak. Begitu menusuk ruang tengah, Pak Suli langsung meninju udara. “Kita menang Sob,” Pak Suli menepuk-nepuk punggung seorang intelijen yang tak berseragam.

“Saudara-saudara,” Pak Suli mengawali pidato kemenangannya. Puluhan pengurus partai duduk manis di teras rumahnya yang besar. “Ini kemenangan rakyat. Ini amanah rakyat,” Pak Suli menyisir rambutnya. Beberapa ajudan memberi tambahan minyak agar lebih kelihatan licin di layar televisi. Tiga stasiun tv nasional memang dikontrak untuk menyiarkannya secara live.

“Ini modal penting untuk membangun koalisi permanent di pemerintahan dan di parlemen. Pemerintahan ke depan harus kuat dan solid. Itu semata-mata untuk kepentingan rakyat,” Pak Suli kembali tersenyum dan melambaikan tangan. Ia melihat kamera tv berganti-gantian. Beberapa kali break untuk melihat apakah rambutnya masih ada yang kurang minyak. Perias bolak-balik mengelap keringat di kening Pak Suli.

Di luar teras rumah megah itu, Udin, tukang ojek seberang jalan, tetap menanti penumpang sambil menyeruput rokok lintingan. Warung bakso di ujung gang menayangkan sepak bola. Sesekali Udin melirik kisah sinetron. Jalan raya di depannya masih dipadati para pelancong. Beberapa angkutan kota menurunkan penumpang dan Udin melambai-lambaikan tangannya. Ajakannya tak digubris. Penumpang angkot memilih berjalan kaki menuju rumahnya.

Radio satu-satunya di warung rokok pinggir jalan dekat pengkalan Udin malah mengeraskan lagu dangdut lawas yang dibawakan dengan manis oleh Ridho Rhoma. Tak ada yang mendengarkan pidato Pak Suli. Tak terlihat warga bergerombol di depan televise menyaksikan siaran live-nya.

Hari Minggu pagi tak ada arak-arakan kemenangan. Di gedung olahraga, ratusan orang sibuk berlari, menggerak-gerakkan badannya agar lebih sehat. Di pasar ibu-ibu beradu emosi dengan pedagang. “Harga minyak curah naik serebu. Mahal bener ya,” Mpok Jamile menggerutu.

Pak Suli masih mendengarkan gema tepuk tangan di kepalanya. Tepuk tangan kemenangan itu merangsek, menyelinap di sekujur rumah. Pak Suli begitu sumringah. Ia mengepalkan tinjunya beberapa kali setelah turun mimbar. “Aku bangga padamu, Sur,” Pak Suli menyalami Surino, bekas kepala telik sandi bintang empat. “Dengan kemenangan ini, Bu Tjipto nggak berani lagi mendongak. Ia pasti menunduk di hadapan kita,” Pak Suli mengulum bibirnya yang penuh pizza. “Kamu menteri BUMN, catat itu. Kamu Menhan, ingat. Kalau aku lupa, ingatkan. Kalau tidak, jatahmu bakal direbut kawan-kawan koalisi,” Pak Suli memasuki ruang khusus. “kroookkk…kroookkk…kroookkkk.” (***)


10/05/09
habe arifin

Read More......
| 0 komentar ]

Gincu di Kamar 809

Parfum Italia itu tiba-tiba merebak ke seisi ruangan. “Ini bukan parfum Papa, deh,” suara isteri Intisari Doger (ID), Ana, tiba-tiba melengking. Ana menjambak dasi sang suami. Intisari yang belum sempat copot sepatu digelandang ke kamar. Pintu dibanting.”Darr!!” Ana lantas membuka baju, mencopot kutang, dan melepas kancut.

Intisari mencegah. “Apa-apaan ah, Mama. Bisa sopan sedikit nggak,” Inti berdiri dan setengah berlari ke pintu. Ana merebut kunci dan membuangnya ke kolong. “Kali ini, Papa jujur sama Mama,” Ana terus melorot kancutnya yang baru sampai dengkul. “Mama sudah tak tahan Pa,” Ana mulai merengek. “Duduk, duduk Pa!!” Intisari terjerembab di kasur. Mozart dibangunkan. Iramanya melengking menyesaki kamar.

Ana berdiri depan suaminya. Ia mulai berceramah. “Lihat putting ini, Pa!!.” “Sudah keriput.” “Lihat payudara Mama, lihat Pa!!,” Ana meremas rambut suaminya dan mendongakkan kepalanya. “Lihat, Pa!!” “Payudara ini sudah kendor.” Jantung Ana berdegub. Matanya mulai beringus. Ana nyaris ambruk. Tapi ia bertahan. “Lihat paha mama, lihat vagina mama, lihat tubuh telanjang mama, lihat Pa, lihat!!” Ana menangis. Ia membanting tubuhnya ke bantal.

Inti memandang sahdu isterinya. Sejak dua tahun lalu, Ana mengidap penyakit jantung koroner. Ginjalnya juga tinggal satu. Kista di rahimnya juga sempat membuatnya berbulan-bulan dirawat. Badannya kering. Pipinya peot. Putting susunya tak menonjol lagi. Payudaranya mengkerut. Ana drop. Ia seolah tak punya kebanggaan lagi sebagai seorang isteri. Ana tahu, suaminya mulai puber lagi. Saat ia masuk rumah sakit berbulan-bulan sebelum akhirnya satu ginjalnya diangkat, ia pasrah.

Pasrah jika suaminya jajan di luar. Kepasrahan itu akhirnya dimanfaatkan suaminya. Setiap keluar kota, Ana mendapati parfum lain di baju suaminya. Perasaan perempuan lebih tajam dari penglihatannya. Tetapi berkali-kali suaminya membantah berselingkuh.
“Tapi tidak untuk kali ini,’ Ana berteriak dalam hati, begitu melihat suaminya pulang dengan parfum Itali.

Inti mulai mengaku. Ia mengambil kutang dan kancut isterinya. Inti terpaksa mengaku karena kali ini ia terkena batunya. “Namanya Rini, masih mahasiswa. Ketemu saat di pertandingan tennis,” Inti memakaikan kutang ke isterinya dan memungut baju yang masih berserakan di lantai. Ana duduk sesenggukan. “Terus, Pa.”

Inti berdiri, melepas baju, sepatu dan ia memakai celana kolor. Ia mendekati wastafel, mencuci muka dan menyikat giginya. Ia menyemprotkan parfum kesukaan isterinya tiga kali. “Rini simpanan temen Papa,” Inti duduk di dekat isterinya dan merangkulnya. “Maafkan Papa, ma.”

Tangis Ana makin keras. Tangannya memukul-mukul ke dada suaminya. Rambutnya acakadul, mirip orang gila saja. Lima detik kemudian, Ana anfal. Inti segera menggotong isterinya ke mobil dan secepat kilat dibawa ke rumah sakit. Dua lubang hidungnya disesali gas oksigen. Napas Ana tersengal-sengal.

Inti tampak terpukul. Di benaknya, ia melihat isterinya hampir mati. Inti merasa sangat berdosa. Ia makin berdosa jika sampai isterinya tewas dan belum sempat mendengarkan peristiwa perselingkuhannya. Inti mulai membisikkan cerita sebenarnya yang baru saja dialaminya. “Aku kepergok, Ma.”

hotel plat merah

Sore itu, aku sengaja booking Rini ke sebuah hotel di bilangan Blok Z. Hotel itu dikenal sebagai hotel plat merah. Banyak pejabat yang menggunakan hotel ini untuk kencan sesaat. Aku salah satunya. Rini memang tak secantik mama waktu muda. Tapi ia energik dan menggemaskan. Temen mainku memperkenalkan Rini. Ia direktur perusahaan plat merah.

Diam-diam aku ajak kencan Rini. Ia mau, asal tak ketahuan suami belangnya. Di hotel plat merah itulah aku beberapa kali bertemu dan menikmatinya. Memang, Ma. Rini lebih nikmat daripada Mama. Rini bisa berenang di atas dada Papa. Mama tidak. Mama tak pernah pandai di ranjang. Apalagi setelah Mama dioperasi karena kista dan diangkat ginjalnya, Mama nyaris tak bisa melayani gairah Papa.

Mugkin ini salah Mama juga. Beberapa kali aku mengajukan cari isteri lagi. Mama ngotot tidak boleh. Terus bagaimana, Ma. Aku kan masih segar dan syahwatku juga besar. Apa aku diam. Ya, sholat sudah siang malam. Ustad juga dipanggil ke rumah. Tapi, si ‘Imron” ini tetap saja minta “manggung.” Mama tak memberi Papa solusi.

Tadi sore, ketika Rini sedang telanjang di samping Papa, suami belangnya menggedor pintu. Aku tak bisa mengindar. Aku juga heran, kenapa suaminya bisa tahu. Rupanya rini lupa memasukkan gincu ke dalam tasnya. Sepekan lalu, Rini bersamaku juga menginap di sana, di kamar 809. Kuminta, Rini memakai gincu pemberianku. Ia begitu cantik dengan lipstick itu. Lipstik Rini tertinggal di kamar. Lipstick pemberian suami belangnya. Rupanya, suami belang Rini juga kencan di kamar itu dan ia tahu ada lipstick Rini tertinggal di sana. Ia curiga dan entah bagaimana ia bisa menemukanku di kamar ini. Mungkin suami belang Rini tahu jadwal kepergian Rini.

Temenku sangat kaget begitu tahu kalau aku yang “membawa” Rini. Ia bahkan tak membayangkan ini terjadi. Tentu saja, Ma, aku minta damai saja. Tapi ia tak bisa menerimanya. Ia bahkan mengancam akan memblow up ke media. Tahu sendiri kan Ma. Kalau ia sampai memblow up kasus ini, karierku, Ma. Karierku bisa mati seketika. Padahal, aku sudah habis milyaran untuk mencari posisi setinggi ini. Aku juga masih punya utang janji (karena mereka yang mengongkosi perjalanan karierku) dengan beberapa pejabat korup yang minta kasusnya tak diulak-ulik.
Ia jamin kasusnya tak dibongkar. Tapi ia minta uang jaminan, Rp 10 milyar. Rini juga masih boleh kupakai sepuasnya. Uang darimana aku Ma. Rupanya David memberi solusi. Aku minta David, pengusaha hitam itu, mengupayakan jaminan. Tapi David tak kunjung mencairkan uangnya. Sementara temenku menagih terus, Ma.

Aku jadi stress juga. Aku minta David mencari orang untuk menghabisi temenku itu. Esoknya aku tahu temenku sudah terkapar, ditembak. Saat itu, aku sedang bersama Rini, menikmati tubuhnya yang molek. Aku tahu Ma. Mobil ambulans beruncang sebelum memasuki ruang gawat darurat.

Pas aku baca beritanya, ditemukan gincu Rini di saku temenku itu. Dari situlah, polisi mengendus keterlibatanku, Ma. Aku sekarang seolah menjadi buron. sebentar lagi aku ditangkap Ma. Malu kan aku Ma. Mama juga akan malu. Entahlah Ma. Aku mau mati saja. “Dorr!!!” Kepala Ana berdarah. Ia tewas dengan dua lubang di jidatnya.

Habe Arifin

Read More......