| 0 komentar ]

Gincu di Kamar 809

Parfum Italia itu tiba-tiba merebak ke seisi ruangan. “Ini bukan parfum Papa, deh,” suara isteri Intisari Doger (ID), Ana, tiba-tiba melengking. Ana menjambak dasi sang suami. Intisari yang belum sempat copot sepatu digelandang ke kamar. Pintu dibanting.”Darr!!” Ana lantas membuka baju, mencopot kutang, dan melepas kancut.

Intisari mencegah. “Apa-apaan ah, Mama. Bisa sopan sedikit nggak,” Inti berdiri dan setengah berlari ke pintu. Ana merebut kunci dan membuangnya ke kolong. “Kali ini, Papa jujur sama Mama,” Ana terus melorot kancutnya yang baru sampai dengkul. “Mama sudah tak tahan Pa,” Ana mulai merengek. “Duduk, duduk Pa!!” Intisari terjerembab di kasur. Mozart dibangunkan. Iramanya melengking menyesaki kamar.

Ana berdiri depan suaminya. Ia mulai berceramah. “Lihat putting ini, Pa!!.” “Sudah keriput.” “Lihat payudara Mama, lihat Pa!!,” Ana meremas rambut suaminya dan mendongakkan kepalanya. “Lihat, Pa!!” “Payudara ini sudah kendor.” Jantung Ana berdegub. Matanya mulai beringus. Ana nyaris ambruk. Tapi ia bertahan. “Lihat paha mama, lihat vagina mama, lihat tubuh telanjang mama, lihat Pa, lihat!!” Ana menangis. Ia membanting tubuhnya ke bantal.

Inti memandang sahdu isterinya. Sejak dua tahun lalu, Ana mengidap penyakit jantung koroner. Ginjalnya juga tinggal satu. Kista di rahimnya juga sempat membuatnya berbulan-bulan dirawat. Badannya kering. Pipinya peot. Putting susunya tak menonjol lagi. Payudaranya mengkerut. Ana drop. Ia seolah tak punya kebanggaan lagi sebagai seorang isteri. Ana tahu, suaminya mulai puber lagi. Saat ia masuk rumah sakit berbulan-bulan sebelum akhirnya satu ginjalnya diangkat, ia pasrah.

Pasrah jika suaminya jajan di luar. Kepasrahan itu akhirnya dimanfaatkan suaminya. Setiap keluar kota, Ana mendapati parfum lain di baju suaminya. Perasaan perempuan lebih tajam dari penglihatannya. Tetapi berkali-kali suaminya membantah berselingkuh.
“Tapi tidak untuk kali ini,’ Ana berteriak dalam hati, begitu melihat suaminya pulang dengan parfum Itali.

Inti mulai mengaku. Ia mengambil kutang dan kancut isterinya. Inti terpaksa mengaku karena kali ini ia terkena batunya. “Namanya Rini, masih mahasiswa. Ketemu saat di pertandingan tennis,” Inti memakaikan kutang ke isterinya dan memungut baju yang masih berserakan di lantai. Ana duduk sesenggukan. “Terus, Pa.”

Inti berdiri, melepas baju, sepatu dan ia memakai celana kolor. Ia mendekati wastafel, mencuci muka dan menyikat giginya. Ia menyemprotkan parfum kesukaan isterinya tiga kali. “Rini simpanan temen Papa,” Inti duduk di dekat isterinya dan merangkulnya. “Maafkan Papa, ma.”

Tangis Ana makin keras. Tangannya memukul-mukul ke dada suaminya. Rambutnya acakadul, mirip orang gila saja. Lima detik kemudian, Ana anfal. Inti segera menggotong isterinya ke mobil dan secepat kilat dibawa ke rumah sakit. Dua lubang hidungnya disesali gas oksigen. Napas Ana tersengal-sengal.

Inti tampak terpukul. Di benaknya, ia melihat isterinya hampir mati. Inti merasa sangat berdosa. Ia makin berdosa jika sampai isterinya tewas dan belum sempat mendengarkan peristiwa perselingkuhannya. Inti mulai membisikkan cerita sebenarnya yang baru saja dialaminya. “Aku kepergok, Ma.”

hotel plat merah

Sore itu, aku sengaja booking Rini ke sebuah hotel di bilangan Blok Z. Hotel itu dikenal sebagai hotel plat merah. Banyak pejabat yang menggunakan hotel ini untuk kencan sesaat. Aku salah satunya. Rini memang tak secantik mama waktu muda. Tapi ia energik dan menggemaskan. Temen mainku memperkenalkan Rini. Ia direktur perusahaan plat merah.

Diam-diam aku ajak kencan Rini. Ia mau, asal tak ketahuan suami belangnya. Di hotel plat merah itulah aku beberapa kali bertemu dan menikmatinya. Memang, Ma. Rini lebih nikmat daripada Mama. Rini bisa berenang di atas dada Papa. Mama tidak. Mama tak pernah pandai di ranjang. Apalagi setelah Mama dioperasi karena kista dan diangkat ginjalnya, Mama nyaris tak bisa melayani gairah Papa.

Mugkin ini salah Mama juga. Beberapa kali aku mengajukan cari isteri lagi. Mama ngotot tidak boleh. Terus bagaimana, Ma. Aku kan masih segar dan syahwatku juga besar. Apa aku diam. Ya, sholat sudah siang malam. Ustad juga dipanggil ke rumah. Tapi, si ‘Imron” ini tetap saja minta “manggung.” Mama tak memberi Papa solusi.

Tadi sore, ketika Rini sedang telanjang di samping Papa, suami belangnya menggedor pintu. Aku tak bisa mengindar. Aku juga heran, kenapa suaminya bisa tahu. Rupanya rini lupa memasukkan gincu ke dalam tasnya. Sepekan lalu, Rini bersamaku juga menginap di sana, di kamar 809. Kuminta, Rini memakai gincu pemberianku. Ia begitu cantik dengan lipstick itu. Lipstik Rini tertinggal di kamar. Lipstick pemberian suami belangnya. Rupanya, suami belang Rini juga kencan di kamar itu dan ia tahu ada lipstick Rini tertinggal di sana. Ia curiga dan entah bagaimana ia bisa menemukanku di kamar ini. Mungkin suami belang Rini tahu jadwal kepergian Rini.

Temenku sangat kaget begitu tahu kalau aku yang “membawa” Rini. Ia bahkan tak membayangkan ini terjadi. Tentu saja, Ma, aku minta damai saja. Tapi ia tak bisa menerimanya. Ia bahkan mengancam akan memblow up ke media. Tahu sendiri kan Ma. Kalau ia sampai memblow up kasus ini, karierku, Ma. Karierku bisa mati seketika. Padahal, aku sudah habis milyaran untuk mencari posisi setinggi ini. Aku juga masih punya utang janji (karena mereka yang mengongkosi perjalanan karierku) dengan beberapa pejabat korup yang minta kasusnya tak diulak-ulik.
Ia jamin kasusnya tak dibongkar. Tapi ia minta uang jaminan, Rp 10 milyar. Rini juga masih boleh kupakai sepuasnya. Uang darimana aku Ma. Rupanya David memberi solusi. Aku minta David, pengusaha hitam itu, mengupayakan jaminan. Tapi David tak kunjung mencairkan uangnya. Sementara temenku menagih terus, Ma.

Aku jadi stress juga. Aku minta David mencari orang untuk menghabisi temenku itu. Esoknya aku tahu temenku sudah terkapar, ditembak. Saat itu, aku sedang bersama Rini, menikmati tubuhnya yang molek. Aku tahu Ma. Mobil ambulans beruncang sebelum memasuki ruang gawat darurat.

Pas aku baca beritanya, ditemukan gincu Rini di saku temenku itu. Dari situlah, polisi mengendus keterlibatanku, Ma. Aku sekarang seolah menjadi buron. sebentar lagi aku ditangkap Ma. Malu kan aku Ma. Mama juga akan malu. Entahlah Ma. Aku mau mati saja. “Dorr!!!” Kepala Ana berdarah. Ia tewas dengan dua lubang di jidatnya.

Habe Arifin

0 komentar

Posting Komentar