| 0 komentar ]

Sepi

Pak Suli tergopoh-gopoh memasuki rumahnya. Dua kali sepatunya menyandung rumput. “Sial!!” Lima pengawalnya beradu cepat di belakang. Sorak sorai membahana di ruang tengah. “Kita menang, Pak. Kita menang!” Botol-botol minuman berserakan di meja. Juga pizza, KFC, MC’D, berdesakan mencari tempat. Tak terlihat tempe, tahu, pisang goreng. Bakpia, wingko, bika, atau selai juga tak tampak. Begitu menusuk ruang tengah, Pak Suli langsung meninju udara. “Kita menang Sob,” Pak Suli menepuk-nepuk punggung seorang intelijen yang tak berseragam.

“Saudara-saudara,” Pak Suli mengawali pidato kemenangannya. Puluhan pengurus partai duduk manis di teras rumahnya yang besar. “Ini kemenangan rakyat. Ini amanah rakyat,” Pak Suli menyisir rambutnya. Beberapa ajudan memberi tambahan minyak agar lebih kelihatan licin di layar televisi. Tiga stasiun tv nasional memang dikontrak untuk menyiarkannya secara live.

“Ini modal penting untuk membangun koalisi permanent di pemerintahan dan di parlemen. Pemerintahan ke depan harus kuat dan solid. Itu semata-mata untuk kepentingan rakyat,” Pak Suli kembali tersenyum dan melambaikan tangan. Ia melihat kamera tv berganti-gantian. Beberapa kali break untuk melihat apakah rambutnya masih ada yang kurang minyak. Perias bolak-balik mengelap keringat di kening Pak Suli.

Di luar teras rumah megah itu, Udin, tukang ojek seberang jalan, tetap menanti penumpang sambil menyeruput rokok lintingan. Warung bakso di ujung gang menayangkan sepak bola. Sesekali Udin melirik kisah sinetron. Jalan raya di depannya masih dipadati para pelancong. Beberapa angkutan kota menurunkan penumpang dan Udin melambai-lambaikan tangannya. Ajakannya tak digubris. Penumpang angkot memilih berjalan kaki menuju rumahnya.

Radio satu-satunya di warung rokok pinggir jalan dekat pengkalan Udin malah mengeraskan lagu dangdut lawas yang dibawakan dengan manis oleh Ridho Rhoma. Tak ada yang mendengarkan pidato Pak Suli. Tak terlihat warga bergerombol di depan televise menyaksikan siaran live-nya.

Hari Minggu pagi tak ada arak-arakan kemenangan. Di gedung olahraga, ratusan orang sibuk berlari, menggerak-gerakkan badannya agar lebih sehat. Di pasar ibu-ibu beradu emosi dengan pedagang. “Harga minyak curah naik serebu. Mahal bener ya,” Mpok Jamile menggerutu.

Pak Suli masih mendengarkan gema tepuk tangan di kepalanya. Tepuk tangan kemenangan itu merangsek, menyelinap di sekujur rumah. Pak Suli begitu sumringah. Ia mengepalkan tinjunya beberapa kali setelah turun mimbar. “Aku bangga padamu, Sur,” Pak Suli menyalami Surino, bekas kepala telik sandi bintang empat. “Dengan kemenangan ini, Bu Tjipto nggak berani lagi mendongak. Ia pasti menunduk di hadapan kita,” Pak Suli mengulum bibirnya yang penuh pizza. “Kamu menteri BUMN, catat itu. Kamu Menhan, ingat. Kalau aku lupa, ingatkan. Kalau tidak, jatahmu bakal direbut kawan-kawan koalisi,” Pak Suli memasuki ruang khusus. “kroookkk…kroookkk…kroookkkk.” (***)


10/05/09
habe arifin

0 komentar

Posting Komentar