| 1 komentar ]

Rudal Irsael Merobek Jantung Ali

Baru saja Ali (9) mengerjakan PR sekolah ketika sebuah rudal jatuh di meja belajarya dan meledak. Tak hanya bukunya yang semburat, kepala, tangan, kaki, ginjal, dan jantung berceceran tak tentu arah. Potongan-potongan bagian tubuh mungil itu memulai gempuran pasukan Irsael di Guza, pagi ini.
Ali tak sempat menangis atau mengembuskan napasnya yang terakhir. Ia juga tak sempat melipat bukunya dan menyimpannya di dalam tas dan diberikan kepada gurunya esok hari. Ali bahkan tak sempat beranjak dari tempat duduknya sesenti pun. Satu-satunya yang bisa dikenali adalah dua baris kalimat di akhir yang tersobek dari buku tulisnya: “Bu guru, kata ayahku, bu guru cantik. Ayah ingin segera melamarmu. Ali.”
Sobekan kertas habis terbakar itu terbang mengikuti dentuman rudal yang terus melelehkan Guza. Ratusan orang tewas gosong tersambar bom panas. Ribuan lainnya meronta-ronta menyongsong sakaratul maut. Anak kehilangan bapak, isteri kehilangan suami. Kematian begitu dekat dan suara takbir sayup-sayup hilang. Langit tersobek di pusarnya. Matahari congkak menyiram cerlangnya. Rentetan tembakan terus dimuntahkan dan semakin hari nyawa orang-orang sipil Palestani beterbangan seperti laron.
Serangan ini diputuskan dalam sidang cabinet. Seluruh anggota parlemen mengacungkan tangan pertanda setuju. Gempuran dimulai dari sebuah gang sempit, tempat pemimpin besar partai politik Hanas, Ayatoellah Syafe’i Usman, berdiam. Tiga rumah dari bilik sempit pemimpin Hanas yang sedang berkhalwat itulah rumah Ali. Tentara Irsael menjatuhkan rudal tidak hanya di bilik sempit Syafe’i yang waktu itu sedang bertandang ke anak gadisnya yang sedang menikah di sebuah surau kecil di Ramal. “Blummm…” Rudak dijatuhkan hampir di sekujur gang. Syifa, teman sekelas Ali, juga Ridho, yang rumahnya di ujung gang, ikut bisu. Tak ada suara, rata dengan tanah. Tak ada bangunan tersisa. Ratusan rudal seolah membayar semua dendam Irsael kepada mereka.
Ali, Syifa, Ridho kemudian melanjutkan petulangan mereka di alam berbeda. Ketiganya tertawa, berlarian, menjumputi rudal-rudal kosong yang berserakan. Mereka terus tertawa dan bermain-main bersenda gurau. Sekejam Ali menghentikan anak kakinya. Ia melihat sobekan kertas di angkasa yang terombang-ambing dibawa desingnya angin. Ali mengejarnya dengan rapuh. Syifa dan Ridho menyusulnya. Ketiganya memainkan irama keceriaan, berkejar-kejaran, bersama-sama merebut kertas yang naas.
Ali menangkap kertas yang pinggirnya cokelat hitam. Ia membaca dua kalimat yang baru digoreskan. “Bu guru, kata ayahku, bu guru cantik. Ayah ingin segera melamarmu. Ali.” Seketika Ali terduduk dan menangis. Ayahnya tergolek di depannya tanpa kepala. Ibu gurunya tertatih-tatih diperkosa tentara Irsael. Ali menangis di sana, di alam berbeda dengan gurunya. “Bu guru…!!” (si regar)

1 komentar

Anonim mengatakan... @ 30 Desember 2008 pukul 00.39

Anda fiksikan juga berita ini? Anda tidak percaya juga berita formal tentang kejadian ini? Anda anggap itu kebohongan? Maaf, bung kali ini tidak lucu. Sangat tidak lucu!

Posting Komentar