| 0 komentar ]

Skenario Peledakan Bom

Pria itu tinggi besar. Kumisnya lebat. Mulutnya disumpal cerutu. Kakinya pongah, seperti anak-anak yang baru saja disunat. Ia tak berjenggot, juga tak mirip Osama. Ia tak berjubah, bersurban, apalagi teriak Allahu Akbar. Syahadatain saja mungkin tidak hapal. “Kamu atur saja, kapan bom dibawa dan diledakkan,” ia memerintah dengan suara gempa. Tiga pria berjenggot, berjubah hitam, bercelana semata kaki, bergegas ke ruang depan. “Antum sudah bisa bawa bomnya sekarang,” tutur satu dari tiga pria itu kepada tiga ihwan, yang tampak hitam jidatnya. Ketiga ihwan berjubah itu menangangguk. “Nanti akan ditransfer melalui nomor rekening yang antum berikan tadi,” tambahnya.

Tiga kardus lecek diangkat. Isinya 50 granat nanas aktif, belasan TNT, dan bom rakitan. Ketiga ihwan bergegas meninggalkan rumah itu dengan taksi yang sudah dipesan sebelumnya. Ketiganya meletakkan kardus-kardus itu di jok belakang. Kepada sopir taksi ketiga ihwan ini mengaku sedang berjualan buku-buku agama. “Pantesan kok tampak berat ya Ustad,” begitu sang sopir iseng.

Begitu ketiga ihwan ini menjauh, tiga pria berjenggot dan berjubah hitam itu menghampiri pria tinggi besar dan berkumis. “Bagaimana, apakah ihwan-ihwan bahlul itu sudah pergi,” kata si pria tinggi besar berkumis itu sambil meludah. Seketika tiga perawan datang dari kamar membawa tiga gelas anggur disuguhkan ke tiga pria berjenggot dan berjubah hitam. “Hahaha..mereka sudah pergi. Sekarang mana bagian ane, Bang,” kata salah satu dari ketiga pria berjenggot dan berjubah hitam itu. “Minum dulu anggurnya,” sergah pria tinggi besar dan berkumis. Tiga koper uang seratus ribuan dibanting di depan ketiganya. “Jumlahnya satu setengah milyar. Sisanya yang satu setengah milyar dibayar kalau bom sudah meledak,” kata pria tinggi besar dan berkumis.

Ketiga pria berjenggot dan berjubah itu tak banyak berkata. Ketiganya mengambil tiga koper kecil itu dengan serakah. “Hei…tunggu dulu,” si pria tinggi besar dan berkumis itu menginjak tiga koper itu dengan kasar. “Bagaimana dengan bom yang dipakai untuk menghancurkan masjid, apakah sudah dikirim dan siap diledakkan begitu sebuah gereja meledak lebih dulu,” pria tinggi besar itu menanti jawaban. “Semuanya sudah siap Bang. Tinggal nunggu perintah Abang saja, menit ke berapa bom bisa ditiup,” ujar salah satu dari ketiga pria berjenggot dan berjubah itu spontan. “Oke. Silakan bawa koper-koper ini,” pria tinggi besar itu segera meremas payudara tiga perawan yang membawa anggur dan menyerahkan ke tiga pria berjenggot dan berjubah hitam itu. Ketiga perawan itu juga sebagai imbalan untuk pekerjaan besar ini.

Si pria kini sendiri. Ia tertawa terpingkal-pingkal sampai bibirnya kesundut cerutu. “Diancuk, panas!!” Ia kembali tertawa terbahak-bahak. Dua perempuan cantik di belakangnya tak digubris. Padahal keduanya telah membuka behanya bulat-bulat. “Bagaimana bangsa ini bisa besar kalau masih ada orang-orang seperti mereka. Mudah diadu domba, wakakak, wakakak, wakakak!!!” Satu ngebom gereja, satunya ngebom masjid. “Semua aku atur rapi, agar seolah-olah terjadi permusuhan antaragama, media aku atur agar menempatkan berita ini menjadi headline terus-menerus. Tokoh-tokoh telah kusiapkan, pengacar-pengacara juga telah kubeli. Semua akan tunduk di bawah uangku, wakakak, wakakak, wakakak!!!”

Si pria tinggi besar dan berkumis terus berceloteh sendiri, padahal dua perempuan belia di belakangnya sudah tak memakai selembar benang pun. Di kanan kirinya botol-botol tuak bergelimpangan. “Kalau kondisinya aman, untuk apa latihan antiteror, nggak ada gunanya kan, atau sekedar habisin anggaran, wakakak, wakakak, atau bantuan luar negeri, wakakak, wakakak,” si pria itu mulai menyeruput perempuan belia, seperti ia minum kapucino pagi hari. “Yes boss!! I am ready. Ya Ndan, nanti aku laporan via email. Skenario telah diatur rapi dan uang telah aku distribusikan,” si pria tinggi besar itu menerima telepon dengan sigap. Lima menit ia kembali teler dan berada di perut dua perempuan belia itu.

Seminggu kemudian seluruh stasiun televisi menyiarkan berita peledakan gereja dan dibalas dengan peledakan masjid di sejumlah daerah. Presiden menetapkan negara dalam kondisi darurat dan pemilu terancam ditunda. Sementara di ujung telepon, si pria tinggi besar dan berkumis itu tertawa ngakak, wakakak, wakakak, wakakak!!! ( si regar)

0 komentar

Posting Komentar