| 0 komentar ]

Betul, ia memang raja. Benar, ia adalah singa. Badannya besar, tegap, gagah, ganteng, dan disukai rakyat di hutan. Rambutnya selalu licin, tersisir rapi. Aumannya terukur, runtut, teratur, tidak meledak-ledak, dan tenang. Kaki kananya selalu menggaruk-garuk tanah jika ia bicara. Tapi ketika ada masalah, ia menunjukkan watak aslinya: Raja Singa.


Raja Singa
Suatu ketika awan tiba-tiba mendung. Dua tikus got bersama srigala dan buaya hitam bersekongkol membunuh cicak. Rekaman pembicaraan mereka merebak, didengar pohon, ilalang dan seluruh rakyat di hutan. Karena panic takut ketahuan, dua cicak ditangkap dan dipenjara oleh buaya. Sang Raja Singa seperti sakit gigi.

Para lebah mengkritik sikap sang Raja Singa sebagai impoten, tidak tegas, tak punya sikap. Ia baru saja diangkat lagi sebagai raja di hutan. Belum juga seratus hari bekerja. Tapi Sang Raja sudah membuat kepanikan, karena membiarkan aparatnya bekerja asal-asalan. “Padahal ia punya kewenangan memperjelas kasus yang diduga melibatkan aparatnya, baik buaya atau srigala, yang ikut roger-rogeran dengan tikus-tikus got,,” para lebah terus mengomel di televise yang dikelola berang-berang.

Karena telinganya tipis, sang Raja Singa, dengan tanpa dosa berdiri di podium dengan gaya santun, bersih suci, seperti tisu tanpa warna. “Kami serahkan kepada hokum. Semua kasus harus diproses sesuai hokum. Saya tidak bisa dan tidak boleh mengintervensi hokum. Tidak bisa saya meminta seseorang ditahan atau dibebaskan. Biarlah hokum yang bekerja,” kata Raja Singa sambil kipas-kipas kegerahan.

Maklum, nama sang Raja, juga tertera dalam transkrip pembicaraan antara tikus got dengan aparatnya, srigala dan buaya hitam. Para buaya hitam ini mendatangi tikus got ke hutan di luar negeri untuk membuat kesepakatan. Kedatangan mereka dibiayai tikus got, lengkap dengan servis hotel, pelayanan pijat, urut, lulur, spa, berlibur, shoping, oleh-oleh buat isteri dan anak-anak. Semua aliran dana ini terekam dalam kartu kredit si tikus got.

Suara sang Raja Singa seperti menggelitik pepohonan di hutan hingga pohon-pohon bergoyang karena geli. Para lebah kembali berdengung-dengung memintal madu. “Sang Raja Singa ini seperti kutu kupret, tak mengerti persoalan. Srigala dan buaya itu diduga terlibat bersekongkol dengan tikus got untuk membunuh cicak. Bagaimana mungkin srigala dan buaya disuruh bekerja mengusut kasus persekongkolan yang dilakukannya sendiri. Hukum apa yang akan dipakai. Hokum rimba!!”

Tiba-tiba rusa datang dan mendengarkan pendapat para lebah. “Sang Raja Singa juga bisa membentuk tim lebih independen meneliti kasus pembunuhan cicak. Tapi, ini kan Raja Singa, mau apa kita,” Rusa berbalik, berjalan ke padang rumput bersama kawanannya.

Betul ia memang Raja dan benar ia adalah singa. Tetapi kelakuannya tetap dari dulu hingga kini: Raja Singa!!!”

Dulu, seorang aktivis tupai tewas saat berloncatan di udara. Menurut dokter simpanse, ia memakan kelapa yang airnya telah diisi racun tikus. Sang Raja Singa juga tak melakukan apa-apa. Dalihnya “Raja tak boleh intervensi.” Padahal, Raja punya hak mengganti anak buahnya yang tak becus bekerja atau malah terlibat kasus yang ditanganinya. Raja juga punya wewenang mengumpulkan orang-orang yang dipercaya rakyat hutan untuk mengawasi kinerja anak buahnya selama menyelidiki kasus.

Sang Raja juga tetap Singa ketika kisruh pemilihan badak sebagai pemimpin wilayah di hutan, kisruh nama-nama pemilihnya, dan masih banyak lagi. Tak Cuma itu, kisruh pembagian rumput, air, dan terik matahari di hutan juga dibiarkan. “Rakyat seperti tak punya pemimpin. Sang Raja Singa benar-benar menjadi Raja Singa yang sesungguhnya. Rakyat hutan dipaksa menyelesaikan masalahnya sendiri,” Burung Rajawali ikut menimpali diskusi para lebah.

Angin sepoi-sepon panas menerpa forum diskusi. “Ya beginilah risiko mempunyai Raja SInga. Toh itu pilihan mayoritas rakyat kita. Siapa suruh memilih Raja Singa,” burung Hantu terbang dan menclok di dahan sambil membaca kitab berbahasa sansekerta. (Jakarta, 291009-si ragil)




0 komentar

Posting Komentar