| 0 komentar ]

Hidup Teroris!!
Cak Kodir baru saja bangun tidur. Ia bergegas menggenjot pedal becaknya ke warung Yu Nah. Nama pemilik warung yang semok ini sebenarnya Kunainah. Ia lebih senang dipanggil Nai. Katanya lebih keren. Tetapi, karena ia sering berkomentar ”Nah,” saat pengunjung warung kopinya berdiskusi, jadilah Kunainah dipanggil Yu Nah. Pagi itu, Yu Nah sudah siap melayani pengunjungnya



Cak Kodir memarkir becaknya. ”Yu Nah, kopi item nggak pake gula,” katanya sambil menyarungkan sarungnya ke leher. ”Opo’o Cak, gak punya uang ta,” Yu Nah memperlihatkan muka baceman. ”Bukan. Gus Dur saja pakai pita hitam. Jadi, kopi juga harus hitam, tanpa gula, tanpa susu. Pokoke item, black,” Cak Kodir sudah mulai memanskan seisi warung.

Pengunjung mulai melirik pembicaraan Cak Kodir. ”Lho, memangnya siapa yang mati Cak. Kok Gus Dur pakai celana hitam, eh..sori, pita hitam,” sahut Cak Bas. ”KPK mati rek. Dipateni karo bolone dewe,” Cak Kodir menyumpal mulutnya dengan tahu petis. Harusnya presiden kan bertindak. Waktu kampanye kan janji akan memberantas korupsi. Kalau KPK mati, siapa yang mau menjalankan pemberantasan korupsi. Rakyat kan hanya percaya pada KPK, bukan pada Kejaksaan apalagi polisi. Wingi aku kena tilang, Rp 50 ribu bablas,” Cak Bas mulai ikut bersungut-sungut.

Yu Nah, seperti biasa, menyela diskusi pengunjung warung kopinya. ”Nah, kebeneran kalau KPK mati. Nanti aku buatin kuburannya di samping warungku. Kalau sampean-sampean iki ngutil tahu, nggak mau bayar kopi, gak bisa ditagih utangnya, aku laporin ke KPK. Beres to!!” Yu Nah berlagak kemayu. ”Diamput koen Nah!!” tahu di mulut Cak Kodir melompat keluar. ”Kalau KPK mati, korupsi makin subur. Koruptor-koruptor ikut senang, pesta dan itu yang diinginkan mereka,” Cak Kodir duduk kembali sambil menyeruput kopi itemnya.

Yu Nah tak mau kalah. Dia membawa sotil penggorengan yang panas dan berminyak itu sambil menunjuk hidung Cak Kodir. ”Sampean keliru Cak. Kalau KPK mati, itu artinya presiden yang kita pilih dalam pemilu lalu memang tak becus. Kisruh KPK vs Polri ini tes tertulis apakah presiden yang sekarang tidak didampingi Pak JK itu bisa memimpin atau tidak, bisa mengambil kebijakan yang cepat atau tidak.”

”Ini tes apakah presidenmu itu tegas, serius memberantas korupsi, pintar mengambil solusi, tidak melakukan pembiaran atau sebaliknya justeru menyerahkan semua persoalan korupsi kepada aparat yang justeru terlibat korupsi, aparat yang suka telepon-teleponan karo koruptor, liburan bareng koruptor, sampai apa pun yang dipakai, mulai kancut sampai semir rambut dibelikan koruptor,” Yu Nah nyaris menyundut hidung Cak Kodir dengan sotil penggorengan. Untungnya tangan Cak Bas segera menebas sotil panas itu.

Yu Nah mundur satu langkah. Cak Bas tiba-tiba mengumpat. ”Diamput!! Pinter juga Yu Nah, Cak..!” Cak Bas memuji Yu Nah di hadapan suaminya, Cak Man, yang tiba-tiba masuk warung sambil membawa poster ”Hidup teroris!!.” Melihat Cak Man bawa poster ganjil, Cak Bas langsung mendampratnya. ”Wong gendeng Cak...poster begitu kok dibawa-bawa,” Cak Bas menyeruput kopi pahit milik Cak Kodir.

Tak mau kalah, dengan gaya cengengesan, Cak Man duduk di atas meja, di samping tumpukan tahu petis. ”Koen gak ngerti kan. Poster ini terbukti cara yang paling ampuh mengalihkan perhatian publik terhadap kasus KPK. Polri yang kini terkoyak-koyak dimaki-maki jutaan orang tidak akan selamanya menerima penghinaan itu. Mereka akan kembali merebut simpati publik.”

”Caranya ya dengan memainkan isu teroris ini...jadi, tak salah kan aku bawa poster ”hidup teroris!!” kalau teroris mati semua, polisi gak ada ide untuk mengalihkan perhatian publik. Itu artinya kasus Chandra m Hamzah dan Bibit Samad Riyanto akan terus menggelinding bak bola salju. Jika terus dibiarkan, bola itu akan mencaplok dirinya sendiri dan akan terus menggelinding ke mana-mana, termasuk kinerja presiden, janji presiden, keseriuasan presiden memberantas korupsi,” pantat Cak Man ditampar sotil panas Yu Nah.

”Enak ae duduk sembarangan. Ini tempat makanan bukan tempat bokongmu!!”

Sambil meringis Cak Man masih saja tak mau disalahkan. ”Justeru aku sengaja duduk di meja, karena menteri-menteri sekarang ini juga banyak yang salah duduk kok..!!!” Cak Man ikut metingkrang di kursi bersebelahan dengan Cak Kodir yang melongo mendengarkan argumen Cak Man. Mulutnya tibat-tiba ikut bersuara, ”hidup teroris, hidup Cak Man!!” (si ragil/www.fiksinews.com/jakarta.11109)

0 komentar

Posting Komentar