| 0 komentar ]

Cuma sekadar nasi goreng. Anehnya terletak pada kata tsunami. Kata yang diadopsi dari bangsa Jepang itu identik dengan gelombang air laut yang menghantam daratan. Besar dan meluluhlantakkan apa saja. Juga identik dengan kematian setiap nyawa yang alpa tentang bahaya. Padahal ini nasi goreng. Digoreng identik dengan minyak, kering, bahkan krispy, tanpa air. Nasi goreng tsunami akan menjadi paradox.
Sebuah paradox seperti halnya sejumlah peristiwa awal lima tahun lalu, akhir lima tahun kini.




Nasi Goreng Tsunami

Cuma sekadar nasi goreng. Anehnya terletak pada kata tsunami. Kata yang diadopsi dari bangsa Jepang itu identik dengan gelombang air laut yang menghantam daratan. Besar dan meluluhlantakkan apa saja. Juga identik dengan kematian setiap nyawa yang alpa tentang bahaya. Padahal ini nasi goreng. Digoreng identik dengan minyak, kering, bahkan krispy, tanpa air. Nasi goreng tsunami akan menjadi paradox.
Sebuah paradox seperti halnya sejumlah peristiwa awal lima tahun lalu, akhir lima tahun kini.

Awal lima tahun silam, tsunami datang dengan mengancam: 200 ribu lebih orang tewas, mati, bahkan terhina. Mereka dipaksa menyerah pada air. Air yang dik odratkan menjadi hamba sahaya manusia: diminum, dibuat mandi, menyiram tanaman, membesarkan bayi-bayi ikan di keramba atau di lautan luas. Akhir lima tahun kini tsunami kembali terjadi. Gempa besar meluluhlantakkan jasad yang semula hidup bahkan bersenang-senang, tersenyum, sesaat menjelang beduk buka mengakhiri puasa ramadhan ditabuh. Yang hidup menjadi mati. Yang mati menjadi bumi. Yang bumi mengeluarkan air.

Ya, ini Cuma nasi goreng. Tak lebih tak kurang. Jika ada bumbunya, itu penyedap, menambah cita rasa makanan. Ya, ini memang bicara tentang makanan. Mabes Polri memakan KPK. KPK memakan koruptor. Koruptor memakan presiden. Presiden memakan rakyat. Rakyat memakan harga-harga yang terus naik. Ini memang bicara rantai makanan. Tak lebih tak kurang. Jika ada bumbunya, itu penyedap, menambah cita rasa makanan.

Bank Century juga menyangkut cita rasa makanan. Ia ibarat nasi goreng. Sebelum dihidangkan di meja makan dan disantap beramai-ramai, koki akan mengatur rencananya. Menyiapkan beras, mengatur pemanas. Menyiapkan korban dan perangkap, memutar aturan, mengubah sana sini, sebelum beras dikucurkan dan dimasak agar menjadi nasi. Soal menabrak aturan lain, menghantam logika, itu memang masalah beras. Kalau ada yang tak setuju dalam rapat, cukup ditatat dan masuk dalam museum catatan. Yang penting beras menjadi nasi bukan menjadi bubur agar bisa digoreng. Begitu nasi telah siap, semua bisa digoreng. CAR bisa digoreng. Sebelumnya 8% bisa saja digoreng hanya 2,5 %. Kalau CAR minus, ah koki bisa menggorengnya agar lebih kering dan bisa dinikmati. Kalau sudah dikucurkan 6,7 trilyun, siapa yang tak mau. Bank kecil, yang tak memiliki pengaruh, apalagi dampak sistemik, pengucuran kreditnya pun nggak berdampak, teman seeprofesinya pun banyak, tapi di tangan koki yang tepat, bank kecil bisa memberi keuntungan maha besar.

Karena uang memang bisa digoreng ke mana saja. Untuk dana kampanye politik bisa, menyuap pejabat juga bisa, atau mendirikan perusahaan untuk anak-anak penguasa di Jababeka. Boleh jadi, uang bapaknya cuma 5 milyar, seperti tercantum dalam lembaran kekayaan yang disetor ke KPK. Tetapi, pendapatan dan penghasilan memang berbeda. Uang gorengan bisa dipakai untuk mendirikan perusahaan dan dicatatkan atas nama anak, ponakan, atau menantu-cucu. Biar kelihatan tetap dermawan, alih-alih menengok korban gempa, merogoh kocek 5 milyar..eh, darimana tuh duit. Jelas duit itu dari jualan nasi goreng. Setiap gorengan memang bisa menghasilkan laba yang tak sedikit. Laba politik berupa kesetiaan dan kekuasaan. Laba bisnis berupa deposito, asset, saham, atau jaringan pebisnis. Lihat siapa yang datang ke Jababeka dengan pengawalan seketat itu.

Nasi goreng juga sedap dinikmati pagi menjelang siang hari, kala latihan di lapangan, di pinggir hotel yang akan dibom. Sambil menikmati nasi goreng, camera handycam dinyalakan dan semua ucapan direkam. Semua rencana didokumentasikan, semua kegiatan dicatat, direkam, diabadikan. Lantas, semuanya diserahkan kepada polisi. Berikut para pelakunya, bahan peledaknya, laptopnya, jaringannya, organisasinya. Nyaris tak ada yang disembunyikan. Semua diserahkan, semua diberikan. Sejak bom belum diledakkan, jejak sudah dipahat. Begitu bom disulut dan kematian mengharu-biru, semua property diserahkan agar mudah ditelusuri. Dan ketika sebuah kesunyian datang, gegap gempita ditabuh: berondongan ribuan pelusur menghunus jasad dalam toilet. Hanya tiga yang melukai kematiannya. Sisanya hanya drama. Lantas, sang pelaku utama disiksa dalam drama kematian yang sama. Berondongan peluru dan penolakan penguburannya. Aha…setiap sinetron memang punya sutradara. Para pemain hanyalah aktor dan aktris. Mereka dibesarkan oleh media massa. Sementara kita menyaksikannya seperti peristiwa dalam berita. Pakai mengutuk-ngutuk segala.

Cobalah tengok nasi goreng buatan KPK. Dengan alat penyadap, gorengan sedang dirancang untuk menangkap kakap. Yang terjadi malah sebaliknya. Koki ditetapkan tersangka. Ini berawal dari lima menit di sebuah hotel istimewa, ketika koruptor bertemu sejumlah jurnalis. Paket A hancurkan KPK. Dana disediakan unlimited. Rupanya beberapa jurnsli ngeper menerima order ini. Tak biasanya mereka menolak. Kali ini mereka gemetar. Paket B dirancang. Beberapa pemain lama berjalan seperti biasa dan sebuah scenario telah disetujui dengan dana unlimited: cash tanpa digit.
Nasi goreng tsunami diracik dengan jalan cerita yang tak layak. Seorang presiden bercerita tentang sebuah keamanan, ketentraman ekonomi, keunggulan program, kesuksesan kinerja. Tetapi tiba-tiba sebuah perampokan di depan mata terjadi. Trilyunan uang rakyat dirampok. Ya, itu memang uang rakyat. Memangnya uang siapa? BPK saja telah bercerita tentang perampokan itu. Aha…masihkan ada laporan investigasi soal ini? Atau hanya laporan pandangan mata yang sipit sebelah.

Ah, nasi goreng tsunami memang aneh. Katanya nasi goreng tapi kuahnya banjir. Bumbunya pun tanpa dioseng-oseng pakai minyak. Nasi goreng jenis ini memang sedang terjadi di negeri ini. Rakyat tak boleh bertakahyul, bahwa nama seorang pemimpin bisa menjadi kuburan bagi rakyatnya. Tetapi sang pemimpin malah mengagung-agungkan tanggal dan bulan kelahirannya. Bahkan mengkeramatkannya. Sebuah keputusan dibuat dengan angka yang sama dengan angka kelahirannya. Nama-nama tim untuk menggodok hal-hal penting juga dibuat sama dengan angka kelahiran. Antara ucapan dan tindakan memang tak padu. Tapi nggak ada yang mengatakan: oiii…kok begitu. Yang berteriak juga mulai bias. Antara mendukung tikus atau menolak kucing. Akhirnya mereka memelihara hamster dan anggora.

Jika ingin mengintip resep nagoreng tsunami, catatlah baik-baik:
1. Sepiring nasi setengah pera
2. Garam, bawang merah-putih, udang,
3. Bumbu gak penting. Yang utama cara masak dan menggorengnya, karena bumbu dan aturan apapun di negeri ini bisa digoreng dan bila penggorengannya bagus, cara menggorengnya juga mantab, hasilnya akan dahsyat. Rasanya dijamin pasti nikmat. Semua senang, semua pesta. Yang sengsara ya hanya kita: kita yang masih menganggap nasi goreng tsunami campuran antara nasi goreng dan gelombang tsunami.

Selamat menikmati, kawan!!
(si ragil-30-09-09)




0 komentar

Posting Komentar