| 0 komentar ]

PSB, Pungli, dan Korupsi
Endang Wati, SPd

Gelegar Penerimaan Siswa Baru (PSB) sudah lewat. Tetapi getirnya masih terasa hingga sekarang. Ada orang tua yang ngenes karena anaknya tak bisa diterima ke SDN karena tak punya kartu keluarga. Ada juga yang anaknya tak masuk SMPN dan akhirnya memilih ke SMP swasta. Kegetiran bertambah ketika di sana sini masih terdengar ada orang tua yang diperas agar anaknya bisa masuk sekolah negeri meski tak memenuhi syarat. Orang tua dan sekolah mengadakan kesepakatan kotor. Anak-anak mereka menjadi barang transaksi.

Lepas dari masalah pemerasan itu, mulailah siswa memasuki tahun ajaran baru. Di sini, orang tua masih dibuat kelimpungan oleh sekolah. Rata-rata sekolah SD-SMU di Jakarta itu gratis. Pemerintah juga memasok dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP). Dari segi teori, siswa tak perlu lagi dibebani beragam biaya untuk menimba ilmu di sekolah.

Faktanya justeru terbalik. Komite Sekolah dijadikan umpan oleh pihak sekolah. Melalui Komite ini, orang tua siswa dipaksa (melalui rapat khusus) menyetorkan sejumlah dana kepada sekolah. Tujuannya bermacam-macam, ada yang untuk perbaikan pagar sekolah, pembelian AC bahkan untuk mengecat dinding. Lagi-lagi orang tua siswa harus merogoh koceknya lebih dalam. Inilah yang dinamakan pungutan liar.

Pungutan yang dilakukan tanpa landasan hukum. Di DKI, Dinas Pendidikan Dasar DKI mengeluaran Surat Edaran No 11 Tahun 2008. Isinya tentang berbagai hal terkait PSB. Dalam SE ini tegas dijelaskan, selama PSB tidak diperbolehkan melakukan pungutan dalam bentuk apapun. Begitu juga tidak ada biaya daftar ulang, pengadaan pakaian seragam sekolah, termasuk buku pelajaran sekolah. Pungutan yang tidak diatur dalam SE itu dianggap sebagai pungutan liar.

Jaksa Agung Hendarman Supandji tegas-tegas menginstruksikan bawahannya, para Kejari dan Kejati mengawasi berbagai penyimpangan selama PSB ini. Beragam pungtan yang tidak diatur merupakan pungutan liar. Pungutan liar itu termasuk dalam lingkup korupsi. Para pelakunya bisa dijerat pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Selama PSB, jika terbukti terjadi pungli, orang tua atau masyarakat bisa melaporkan ke polisi atau kejaksaan agar korupsi bisa cepat diberantas.

Persoalannya, apakah masyarakat berani melaporkan pungli ini sebagai sebuah kejahatan korupsi. Selama ini, belum terdengar stau pun orang tua yang peri ke Polda Metro Jaya atau Kejaksaan untuk melaporkan penyimpangan ini. Bisa ditebak, orang tua tidak berani melaporkan sekolah karena di sekolah itu ada anak-anaknya. Orang tua tidak mau jika anaknya tida mendapatkan pelayanan terbaik terkait pelaporan orang tuanya ke aparat penegak hukum.

Ketidakberdayaan orang tua ini kadang menunjukkan betapa sulitnya korupsi di negeri ini diberantas. Masing-masing pihak dengan beragam alasan tidak berani mengungkap tindakan korupsi. Padahal, tindakan itu secara kasat mata dikategorikan sebagai korupsi. Itulah sebabnya, pentingnya dilakukan kesadaran dan keberanian masyarakat untuk melawan korupsi, mulai hal yang kecil, mulai yang terdekat, dan mulai saat ini. Kesadaran dan keberanian melawan perbuatan korup harus terus dipupuk. (***)

***Guru SMU di DKI

0 komentar

Posting Komentar