| 0 komentar ]

Pendidikan Gratis, Pungutan Jalan Terus
Drs. Farid Faruq

Pendidikan di wilayah DKI Jakarta ditetapkan tak berbayar alias gratis. Ini sejalan dengan PP yang baru saja diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai Pendanaan Pendidikan dan Pendidikan Wajib Belajar 12 tahun. Kini, wajib belajar tak lagi sembilan tahun tetapi 12 tahun hingga siswa lulus SMU. DKI Jakarta menggratiskan biaya sekolah SD hingga SMP. Pemprov DKI juga menjamin kesejahteraan guru melalui tunjangan kesejahteraan Rp 2,5 juta sebulan.

Minggu-minggu ini merupakan minggu penerimaan siswa baru. Kesibukan orang tua murid sekarang ini focus pada mendaftarkan anaknya ke sekolah, menyiapkan segala keperluan masuk sekolah. Di tengah kesibukan itu, pihak sekolah rupanya masih ada yang memanfaatkan celah dengan melakukan pungutan liar. Disebut liar karena pungutan itu tidak didasari oleh peraturan yang berlaku.

Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta berulang kali menyatakan tidak ada biaya selama proses penerimaan siswa baru. Jika tetap dilakukan pungutan, Dinas Pendidikan siap mencopot sang kepala sekolah, jika terbukti.

Tampaknya bukti memang sulit diungkap. Orang tua siswa hampir mustahil melaporkan kasus pungli ini kepada pejabat terkait. Mereka hanya berani bicara kepada pers. Itu pun dengan nama samaran atau sumber anonim. Akibatnya, pungutan liar sulit diungkap. Padahal, beredar luas di masyarakat, pungutan liar itu bentuknya bisa beragam dan dalam jumlah yang tidak sedikit.

Di Jakarta Timur misalnya, sebuah SD mematok angka Rp 12 juta untuk anak SD yang ingin diterima di sekolah SDN favorit melalui jalan pintas. Biasanya sekolah memanfaatkan kelemahan calon korban, misalnya calon siswa yang berumur kurang dari persyaratan masuk sekolah. Selain itu, setelah siswa diterima, orang tua murid dikumpulkan dan pihak sekolah kemudian menyodorkan beragam bantuan. Dulu dikenal uang gedung, uang pemeliharaan, ini itu dan sebagainya.

Semua pungutan, beragam jenis dan nilainya, sejatinya diharamkan oleh Dinas Pendidikan DKI. Penegasan ini berulang kali dilakukan agar masyarakat berani menolak jika diminta sumbangan atau pungutan. Tetapi, kebanyakan orang tua memilih “mengalah.” Pihak sekolah pun membuat istilah yang bersifat sukarela, seprti sumbangan sukarela, bukan wajib. Tetapi, dalam pelaksanaannya, sumbangan jenis ini dilakukan sama halnya dengan sumbangan wajib. Siswa yang belum membayar sumbangan sukarela itu dianggap masih berutang ke sekolah dan setiap saat tetap akan ditagih.

Fenomena seperti ini masih terus terjadi. Dinas Pendidikan memang tak henti-hetinya mengkampanyekan pelarangan pungutan liar tersebut. Pemerintah juga telah membanjiri beragam biaya untuk keperluan sekolah maupun siswa. Program sekolah gratis membuat pemerintah mengeluarkan banyak anggaran ke sektor ini. Sayangnya, masing-masing sekolah memperlakukan lain keberpihak pemerintah tersebut. melalui kepala sekolah, pihak sekolah masih saja meminta sumbangan atau melakukan pungutan liar. Pungutan yang sama sekali tak diatur dalam peraturan pemerintah.

Satu-satunya cara untuk menghentikan praktik ini, selain peningkatan pengawasan Komite Sekolah, juga pemberian sanksi yang tegas dan keras. Sanksi yang tegas bisa menjadi efek jera bagi para pelaku. Saatnya, pemerintah melakukan investigasi dan memberikan sanksi tegas bagi para pecundang pendidikan. ***

Praktisi Pendidikan

0 komentar

Posting Komentar