| 0 komentar ]

Mencari Makna Demo Mahasiswa
Bahtiar

Demo mahasiswa rusuh. Benarkah? Pertanyaan ini penting guna memberikan background mengapa mahasiswa melakukan gerakan parlemen jalanan seperti itu. Mari kita melihat lagi aksi demo mahasiswa 1998. Siapakah yang saat itu menggunakan istilah demo mahasiswa rusuh. Padahal, tak sedikit mobil yang dibakar dan pagar DPR berulang kali dirobohkan. Bentrokan mahasiswa aparat sering kali terjadi. Bahkan, aparat dengan peluru tajam menembaki mahasiswa yang tak berdosa di Kampus Trisakti. Benarkah demo mahasiswa rusuh?

Betul, bahwa pagar DR dirobohkan mahasiswa dan mobil polisi dihancurkan demonstran waktu itu. Juga sebuah mobil Avanza milik pemerintah dibakar di Semanggi. Juga tidak salah mahasiswa melempari aparat kepolisian dengan batu-batu. Tetapi, lagi-lagi ini hanyalah akibat dan bukan sebab. Ini ekses dari sebuah rezim otoriter dan tiran.

Mari kita lihat satu per satu persoalannya. Demo mahasiswa bukan kali ini saja dilakukan. Mahasiswa bahkan nyaris mengepung Istana Negara dan meminta Presiden SBY membatalkan kenaikan harga BBM. Seluruh mahasiswa di hampir seluruh daerah menyurakan hal yang sama: jangan naikkan harga BBM. Sejumlah kepala daerah bahkan menolak menyalurkna bantuan langsung tunai (BLT). Saat itu, mahasiswa menyuarakan dengan tertib dan santun.

Tetapi, apa yang terjadi. Pemerintah tetap saja menaikkan harga BBM. DPR, lembaga yang diharapkan, bisa menyalurkan aspirasi masyarakat ternyata juga mandul. Mereka tak melakukan gerakan apa-apa. Interpelasi dan hak angket cuma sekadar wacana. Gerakan penolakan kenaikan harga BBM hanya dilakukan secara sporadic oleh bebarapa anggota DPR dan bukan sikap resmi DPR. Artinya, lembaga wakil rakyat ini tidak melakukan apapun terhadap kenaikan harga BBM.

Ini artinya, dengan demo baik-baik, pemerintah justru tidak menggubris mahasiswa. Seolah-olah mahasiswa buta dan tulis atas semua aspirasi yang disuarakan mahasiswa. Gerakan demi gerakan yang dilakukan di jalan tidak dianggap sama sekali. Pemerintah dengan kekuasaannya tetap menaikkan harga BBM dan sedetik itu juga terjadilah kenaikan harga sembako hingga berkali-kali lipat. Semua kebutuhan hidup naik berkali-kali.

Pada saat yang sama, aparat kepolisian justeru menjadi tameng bagi penguasa. Mereka tidak menjadi abdi negara dan abdi hukum. Polisi menjadi centeng kekuasaan. Ini terbukti dengan penyerangan yang dilakukan kepolisian terhadap aksi penolakan BBM di kampus Universitas Nasional. Mereka hanya berdemo menolak kenaikan BBM, tetapi polisi menyerbu masuk dan memukuli mahasiswa. Seorang mahasiswa Maftuh Fauzi pun tewas setelah mendapat perawatan.

Kematian mahasiswa ini ibarat sumbu bom yang sudah disulut. Apalagi, RS Pusat Pertamina (rumah sakit milik Pertamina---yang diuntungkan dengan kenaikan BBM) membuat keputusan ironis tentang kematian Maftuh Fauzi. Dokter menyebut mahasiswa meninggal akibat HIV/AIDS. Pernyataan ini memantik gerakan mahasiswa makin menyala-nyala.

Didukung oleh berbagai elemen organisasi buruh dan gerakan mahasiswa lintas generasi, mahasiswa pun bergerak. Saat itu, sedang berlangsung rapat paripurna untuk menentukan hak interpelasi atau hak angket di DPR. Mahasiswa memberi tekanan agar penolakan kenaikan harga BBM mendapat support.

Tekanan mahasiswa, pressure groups, seperti ini dilakukan dengan menggulingkan simbol keangkuhan DPR, yaitu dengan merobohkan pagar DPR. Rupanya polisi makin represif dengan menyemprotkan watercanon kea rah mahasiswa. Kontan saja mahasiswa yang sudah memendam marah atas penyerbuan ke kampus Unas membalasnya dengan merusak mobil polisi. Pengrusakan dilakukan agar polisi tidak represif. Ia digaji dan senjatanya dibeli dengan uang rakyat dan jangan digunakan untuk menindas rakyat.

Rupanya polisi tak menggubris peringatan ini. Polisi makin represif dan menangkapi mahasiswa. Akhirnya mahasiswa menyingkir ke Semanggi dan merobohkan, menggulingkan simbol kekuasaan SBY-JK yakni mobil dinas pemerintah. Setelah digulingkan, mobil dibakar. Tujuannya jelas, kekuasaan yang otoriter dan tiran harus dimusnahkan dan jangan diberikan tempat.

Tetapi, apa yang dilakukan mahasiswa justeru dianggap berbeda. Aksi mahasiswa disebut didalangi. Dalang mahasiswa adalah nasib rakyat yang makin miskin akibat kenaikan harga BBM. Merekalah yang menggerakkan mahasiswa turun gunung. Tetapi, BIN menuding nama-nama sebagai dalang kisruh. Upaya BIN ini menurut pandangan penulis hanyalah upaya pengalihan isu atas kasus penahanan mantan Deputi V BIN yang ditetapkan sebagai trsangka kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. BIN sedang cuci gudang rupanya agar rakyat tak menyoroti kebobrokan lembaga telik sandi ini.***

**Mantan aktivis 1998

0 komentar

Posting Komentar