| 0 komentar ]

Paradoks Sosial di Bulan Puasa
Bahtiar


Enam bocah yang baru berusia ABG (anak baru gede) tewas sia-sia. Mereka tenggelam di sebuah danau di Pamulang, Ciputat, Tangerang beberapa hari lalu. Penyebabnya juga sepele; terlibat tawuran petasan. Polisi belum menetapkan siapa tersangka di balik kematian enam bocah ini. Yang pasti, keenamnya telah dikebumikan dan para orang tua meratapinya. Mereka tak menduga anaknya meninggal begitu cepat.

Siapa yang salah dalam kasus ini memang belum bisa dikuak. Polisi baru memeriksa delapan orang saksi. Kesaksian mereka pun belum bisa diakses publik. Satu-satunya kesaksian korban selamat juga tidak banyak membantu. Sebab, sang bocah masih syok dan masih menjalani pemeriksaan medis.

Selama Ramadhan, warga DKI memang selalu disibukkan oleh dua suasana yang hampir setiap tahun terjadi, yakni menunggu waktu berbuka puasa (ngabuburit) dan selepas sahur atau subuh. Dua waktu ini biasanya dipakai untuk mencari angin, berkumpul bersama teman-teman, saling canda, lalu saling caci dan terjadilah tawuran. Bukan hanya tawuran remaja saja tetapi juga sering kali tawuran warga kampong, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di sekitar Pasar Rumput, Manggarai. Dua warga kampung terlibat tawuran.

Begitu juga dengan keenam bocah ini. Mereka juga mencari angin selepas shalat Subuh dengan diselingi main petasan hingga perang petasan dan tawuran kecil-kecilan sesame teman. Entah mengapa, begitu ada patroli kepolisian, mereka panic dan lari tunggang langgang sampai nekat menceburkan diri ke danau. Mereka tidak tahu kalau danau itu dingin dengan lumpur yang dalam. Mereka beramai-ramai nekat menceburkan diri ke danau itu dan nyawa mereka menjadi taruhannya. Enam bocah akhirnya tak bisa menyelamatkan diri. Mereka tewas. Mereka mengakhiri hidup dengan kepanikan dan ketakutan.

Kisah kematian bocah ini amat menyedihkan para orang tua. Sejak kecil dirawat dan dibesarkan begitu menginjak remaja mereka tewas mengenaskan. Masa depan mereka masih panjang tetapi hanya dengan kejadian sepele nyawa mereka harus terenggut sia-sia. Kesedian para orang tua tentu tak bisa dilukiskan dengan kata-kata lagi, karena di tangan anak-anak inilah harapan orang tua digantungkan.

Lantas, apa yang salah dari kejadian ini. Problematika tahunan yang selalu muncul selama Ramadhan adalah petasan dan tawuran. Waktu senggang ngabuburit dan selepas subuh digunakan untuk jalan-jalan santai tanpa tujuan. Sering kali kondisi dan situasi yag tanpa tujuan itu berujung pada ketersinggungan. Akibat hal-hal sepele, saling ledek, lalu tersinggung inilah kemudian muncul solidaritas komunal, dengan mengajak teman-temannya, atau tetangganya, atau warga kampungnya, untuk menciptakan musuh bersama dan terjadilah konflik massa. Warga begitu mudah tersuut emosinya meskipun pada bulan Ramadhan ini dianggap sebagai bulan baik, penuh ujian kesabaran. Sebuah paradoks yang sulit mencari jawabannya.

Aparat keamanan sejatinya sudah melakukan berbagai cara untuk mengerem tindak konflik massa. Bahkan Polda Metro Jaya jauh-jauh hari sudah memetakan daerah-daearh mana saja yang melakukan rutinitas tawuran massal. Anehnya meskipun sudah diantisipasi dan dipetakan sedemikian rupa, termasuk razia petasan, konflik massal berupa tawuran remaja atau tawuran antarwarga tetap saja terjadi. Seolah-olah tawuran menjadi bagian tak terpisahkan dari ibadah puasa itu sendiri. inilah sebuah paradoks sosial yang kerap terjadi di bulan puasa. (***)


Pemerhati sosial politik

0 komentar

Posting Komentar