| 0 komentar ]

Minim Realisasi, Maksimum Janji
Oleh Drs. Farid Faruq

Evaluasi kinerja pemerintahan SBY di sektor pendidikan bisa dikatakan dalam satu kalimat, yaitu minim realisasi dan maksimum janji. Pemerintahan ini, kalau tidak boleh dikatakan gagal, tidak banyak memberikan nilai positif bagi kemajuan pendidikan. Hal ini bisa diukur dari tiga hal penting yaitu realisasi anggaran, pembangunan infrastruktur, sarana, dan prasarana pendidikan, dan tenaga kependidikan.

Di sektor anggaran pendidikan, pemerintahan ini tidak melakukan apa-apa. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan anggaran pendidikan 20% dari APBN tidak dilaksanakan dengan baik. Pemerintah seolah berpangku tangan karena dari tahun pertama hingga terakhir tidak terjadi peningkatan anggaran sesuai perintah Mahkamah Konstitusi. Barulah pada 2009, melalui APBNP, pemerintahan SBY-JK membuat janji yakni akan mengusulkan anggaran pendidikan sebesar Rp 224 trilyun. Angka fantastis untuk merebut simpati rakyat. Angka itu baru janji dan belum realisasi. Janji diberikan karena dekat dengan pemilu. Janji ini sarat kepentingan politis.

Dalam hal pembangunan infrstaruktur, sarana, dan prasarana pendidikan, pemerintahan juga seolah kurang peduli. Masih ratusan bangunan sekolah tidak layak pakai. Di Bekasi, bangunan sekolah SD lebih layak disebut sebagai kandang ayam daripada sekolah. Di Jakarta misalnya, sebuah bangunan SD roboh karena dimakan usia. Untungnya tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Kejadian ini terus terjadi sepanjang dan nyaris tanpa henti.

Program Buku Sekolah Elektronik yang digagas pemerintah dan diluncurkan oleh Presiden SBY secara langsung juga tidak memberikan dampak berarti. BSE diluncurkan dan masyarakat justeru kesulitan mengakses melalui internet. Sementara pemerintah melarang sekolah membeli buku dan menjualnya ke siswa. Akibatnya, terjadi kekosongan buku teks pelajaran di sekolah-sekolah. Untuk mengatasi hal ini, banyak sekolah yang bermain kucing-kucingan. Sekolah melalui Komite Sekolah meminta orang tua siswa membeli buku di tokok tertentu yang telah ditunjuk.

Di bidang tenaga kepentinggan, muncul data tragis yang ditunjukkan oleh Depdiknas Tahun 2006. dalam data itu disebutkan 65% guru di Indonesia dinyatakan tidak layak menjadi guru. Salah satu kriteria ketidaklayakannya ialah guru-guru tersebut belum memiliki kualifikasi akademik sebagai guru seperti yang disyaratkan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jumlah ini diharapkan bisa turun melalui berbagai program pelatihan dan beasiswa pendidikan. Tetapi, penurunan angkanya pun tidak signifikan karena tidak tersedianya anggaran pendidikan untuk membeirkan beasiswa kepada semua guru yang belum layak mengajar. Pemerintah kewalahan menghadapi masalah ini.

Selanjutnya, program peningkatan mutu guru yang dilakukan melalui sertifikasi guru secara nasional juga tidak menunjukkan kemajuan. Selain program ini menelan biaya yang luar biasa besar selama proses penilaian portofolio, sertifikasi guru juga menimbulkan ekses ketidakjujuran, pemalsuan, dan berbagai tindak kecurangan lain. Proses portofolio juga tidak memberikan dampak peningkatan mutu dan profesionalisme guru, seperti yang diharapkan Undang-Undang. Program peningkatan kesejahteraan guru juga jauh panggang dari api.

Pemerintahan SBY baru berjanji pada 2009 nanti semua guru minimal bergaji Rp 2 juta. Kinerja pemerintahan ini baru sekadar berjanji dan belum memberikan bukti. (***)
Drs. Farid Faruq
Praktisi Pendidikan

0 komentar

Posting Komentar