| 0 komentar ]





"Ada Yang Menggoyang Saya"


BANGUN dari tidur siangnya, Pak Lurah langsung menuju teras kantor kelurahan. "Ini sudah keterlaluan, melebihi batas. Ada yang menggoyang saya." Semua pegawai dibuat terperanjat. Warga yang berlalu lalang di jalanan depan kantor kelurahan berhenti, terhenyak melihat Pak Lurah berdiri, menepuk-nepuk dadanya.

Lek Jengah, tukang ojek payung, melihat kelakuan Pak Lurah sambil mulutnya nyerocos. "Lho Pak Lurah kok marah. Waktu si Ang Go Rok memfitnah dalam rekaman rekayasa korupsi, Pak Lurah diam saja tuh..Anak buahnya juga diam. Nggak ada yang lapor ke polisi. Sekarang gara-gara si Kudil, bocah tengil yang suka sensasi, Pak Lurah sewot. Ah, ana-ana waelah," Lek Jengah mengunyah permen karet sambil menawarkan payung ke pengguna jalan yang kehujanan.

HUJAN. Memang sedang musim hujan. Orang yang tak ikut menerima aliran dana korupsi bisa juga kehujanan. Beberapa orang bahkan bisa basah kuyup. Makanya Lek Jengah memilih ojek payung jika hujan sedang jatuh. Jika hari terik, Lek Jengah mebawa sepeda ontelnya. Ia pernah kredit motor, tapi karena ia khawatir menambah polusi di Ibu Kota, motornya dikembalikan. Ia memilih ojek sepeda pancal. Lebih sehat, lebih berkeringat.

Kudiil, Lek Jengah tahu betul kelakuan Kudil. Dulu ia pernah menyebarkan teror akan menyerang negara orang. Sweeping juga diembuskan ke mana-mana. Media negara asing pun panas, padahal hari sedang hujan. Karena nggak ada yang peduli, dan aparat kepolisian juga nggak pernah memeriksa para penebar teror, Kudil memilih isu lain yang lebih hot. Ia memilih isu aliran dana korupsi. Sejumlah nama disebut menerima dana korupsi. Sejumlah nama tim suskes Pak Lurah hingga anak Pak Lurah. "Data kami akurat dan sumber ynag kami lindungi," Kudil pura-pura memamerkan muka serius. Lek Jengah paham betul, Kudil sedang stress karena utang di warung Mak Jaim menumpuk. Kredit panci isterinya juga belum lunas dibayar.

Pak Lurah kembali berteriak-teriak. "Ini sudah keterlaluan, melebihi batas. Kami difitnah," Pak Lurah masuk ke ruangan. Seluruh pegawai, anak buahnya, dikumpulkan. "Apakah kalian semua mau difitnah??" serentak dijawab "tidak" oleh pegawainya. "Apakah kalian akan diam saja jika difitnah?" kembali suara koor terdengar,"tidaaaak k..!!" Pak Lurah kembali mengulangi pertanyaannya. "Apa kaliam diam saja jika kelurahan kita akan dihancurkan orang lain yang tidak suka pada kita," lagi-lagi dijawab 'tidaaaakk!! "

Pak Lurah kembali ke teras. "Ini sudah keterlaluan, melebihi batas. Ada yang sengaja menggoyang saya." Ia lantas menunjuk sekretaris urah membentuk TPF untuk menyelidiki siapa saja yang terlibat percobaan menggoyang Pak Lurah.

Sekretaris Lurah bernama Setu Wati (wanita setengah tua, wajah cantik setengah mati) gesit menyingkap misteri penggoyang Pak Lurah. Rival pak Lurah dalam pemilihan lurah diperiksa. Nihil. Tak ditemukan indikasi mereka menggoyang Pak Lurah. Sasaran dialihkan ke LSM. Lagi-lagi nihil. Mereka justru ingin Pak Lurah tegas menggoreng koruptor. Pusing. setu wati pusing tujuh keliling. Ia pun punya ide. "Buaya. Kita periksa buaya." Hasilnya, sepertinya ada indikasi, tapi masih sumir. "Cicak, kita periksa cicak." Lagi-lagi hasilnya sumir.

Setu Wati menyerah. Ia lapor Pak Lurah. "Saya tidak menemukan satu pun orang yang menggoyang Pak Lurah. Indikasi pun tidak," kata Setu. Pak Lurah tambah sewot. Pak Lurah berdiri mematung dan geram. "Harus ditemukan sekarang!!"

Setu pun lari terbirit-birit. Ia pusing setengah mampus. Ia pun curhat ke suaminya persis menjelang Kamis malam. Suami Setu tampaknya sudah tak tahan karena seminggu di luar kota tak bertemu isterinya. Kamis malam itu, sang suami memberi "nafkah" sangat berlebihan ke Setu Wati, hingga Setu terkapar tak berdaya.

Esoknya, entah mengapa Setu berhasil menyelesaikan laporan dan siap menghadap Pak Lurah. "Pak Lurah. Ini diluar dugaan saya. Memang sudah ada indikasi bahkan bukti otentik, ada yang sengaja menggoyang Pak Lurah," Setu mulai masuk ke inti persoalan.

Belum dilanjutkan, Pak Lurah melompat, "Yess!!!" "Kamu memang top. Tidak usah kamu lanjutkan. Semua pernyataanku benar dan kamu sudah membuktikannya. Memang ada yang sengaja menggoyang saya," Pak Lurah mengepalkan tinju.

Setu melanjutkan, "Tapi ini sangat sensitif kalau sampai saya sebutkan Pak Lurah." Pak Lurah menyumpal mulut Setu. "Cukup. Tak usah kamu sebut nama karena aku sudah tahu siapa anasir-anasir yang ingin menggoyang saya. Aku sudah merasakannya semalam, dalam perenungan. Saya tahu, Allah pun tahu."

Setu menimpali,"Pak Lurah." "Cukup. Tak peliru kau teruskan. Aku sudah tahu, Allah pun tahu." "Pak Lurah," Setu ingin meluruskan masalah. "Cukup. kamu keluar dan tinggalkan laporanmu di atas meja." Setu akhirnya ngibrit. ....!!!

habe arifin
www.fiksinews. com//61209/

0 komentar

Posting Komentar