| 0 komentar ]




Kentut Pak Hansip

PAGI ini, perut Badrul mules bukan main. Ia heran. Seharian kemarin, ia tak makan makanan yang membuat perutnya penyakitan seperti ini. Obat mencret sudah ditelannya, mulesnya malah makin menjadi-jadi. Kepala Badrul ikut pening. Dua merk obat sakit kepala pun ditenggaknya. Kepalanya malaha nyaris copot. Sakitnya minta ampun.

Badrul menggenjot becaknya ke warung Yu Jah. Angin berembus, meniupnya. Segar sekali. Udara begitu segar, meski polusi masih yang ketiga di dunia. "Sampai di warung, Yu Jah langsung membanting sutil. "Kampret temen Drul," Yu Jah ngomel. Badrul tak segera terpancing. Ia masih menahan mules. "Kalau Presiden setuju Pansus. Mendukung Pansus, minta diusut tuntas, seharusnya partai pendukung presiden di parlemen tak perlu menolak jika Pansus ingin memanggil presiden. Ini kan beda. Presidennya ngegas, ketua parlemennya ngereeeemmmmm terusss..mbulet kayak kentutnya hansip saja,' Yu Jah tiba-tiba mematikan kompor. "Aku mogok bikin kopi Drul. Kamu pesen yang lain saja," Yu Jah duduk bersilang.

Badrul mencaplok tahu petis. Ia mencocolnya dengan sambal pedas. "Nah, iki Yu yang beken kepalaku pusing, bikin pertuku mulesss sejak tadi..." Badrul kembali melahap tahu petis. Lima irisan sudah dicaploknya. "Aku juga nggak habis pikir Yu. Seharusnya, kalau presiden itu laki-laki, seharusnya tak perlu Pansus terbelah soal pemanggilan presiden. Kalau aku presidennya, akulah yang meminta agar Pansus melisting namaku dalam daftar panggil jika memang diperlukan. Itu sikap laki-laki, konsisten, berani bertanggung jawab, tak gentar menghadapi risiko. Bila perlu sebagai ketua dewan pembina partai, ia bisa meminta ketua fraksi di parlemen untuk mendorong agar pansus tak segan-segan memanggilnya bila memang diperlukan..." Badrul heran. Makin ia bicara blak-blakan, sakitnya makin berkurang dan lama-lama menghilang.

Partai pendukung pemerintah itu, Badrul tetap saja nyerocos, artinya mendukung sikap dan konsistensi pemerintah. Bukan sebaliknya, malah inkonsistensi terhadap sikap pemerintah. Kalau pemeirntah setuju pansus dibuka lebar-lebar, diusut tuntas, seharusnya partai pemerintah mendorong semuaa tindakan dan agenda pengusutan itu secara tuntas. Bukan menghalangi, bukan pula menutup-nutupi. Badrul sengaja ngocol terus. Ia ingin mulesnya bener-bener hilang.

"Lho Cak Badrul kayak orang bego saja. Sampean saja main di dua kaki. Presiden juga bisa main di dua kaki, bahkan lima wajah. Di depan rakyat, ia bisa bilang "usut tuntas." Di partai, dia bisa saja bilang,"Tahan, rem..jangan diteruskan." Di depan ketua fraksi atau ketua parlemen, ia juga bisa bilang "hadang." Di depan partai koalisi dia bisa bilang, "ngono yo ngono neng ojo ngono." Jadi jangan heran jika koran menulis mbuletnya pansus bila ingin memanggil presiden. Ini politik Cak, bukan asrama hansip," Yu Jah makin sewot. "Aku mogok gak mau bikin rawon. Kamu kalau pesen, yang lain saja.'

"Jangkrik. Otakmu encer juga Yu. Kalau pansus jalannya seperti ini, mbulet kayak kentut hansip, bisa diduga presiden memang punya panca muka. Bergantung siapa yang dihadapi dan apa situasinya. Ia bisa galak, seolah-olah serius, bisa juga lembek, seolah-olah tidak tahu masalah. Ia bisa juga cool, seolah-olah ialah yang paling baik, paling bener sendiri. Ya ibarat jurus, ia punya jurus panca muka tadi. Muka mana yang dipakai, ya bergantung siapa yang dihadapi hehehe...," Badrul berdiri. "Yu Jah, ngebon ya..!!!" Badrul melompat dari warung dan segera menggenjot becaknya. Teriakan Yu Jah agar utang bulan lalu tak digubris...

"Wedus...koen Drul..." Yu Jah mencomot tahu petis dan melahapnya utuh-utuh..!! Met tahun baru Drul..." Yu Jah ngakak. Badrul memang enak diajak berdiskusi. (www.fiksinews.com/habe/26/12/09)

0 komentar

Posting Komentar