| 0 komentar ]

Presiden berdiri di podium dengan tangan mengepal. "Kami marah. Rakyat harus marah. Kita semua marah. Ayo ganyang Malingsia," Presiden Sukit berteriak di corong televisi rakyat. Seluruh stasiun televisi menayangkannya secara live. Seperti acara sepakbola, setiap stasiun televisi menempatkan pidato presiden dalam program khusus, lengkap dengan pengamat dan berbagai pihak. Mecro TV bahkan menghadirkan Panglima Militer dan sepuluh angkatan perang membahas langkah dan strategi perang "Ganyang Malingsia."


Ribuan tentara bersiap di barak. Angkatan perang maritim mengeluarkan lima puluh kapal perangnya di setiap pangkalan tentara maritim. Lengkap dengan rudal jarak menengah. Pasukan ranjau khusus darat juga bersiap. Mereka sudah berlatih meledakkan ranjau-ranjau di pegunungan. Pasukan Gatot Kaca juga sudah mencoba sejumlah pesawat baru dari Rusia. Sejumlah amunisi berkekuatan tinggi tengah disiapkan. "Baru kali ini kami keluarkan semua kapal perang dan kami siap bertempur,' Kepala Staf Tentara Maritim Sujarwo Slamet Ngarijan bericara di depan CCB, stasiun televisi asing yang menyokong serangan pemerintahan Sukit ke Malingsia. Televisi ini gencar memberitakan perkembangan tiap detik kesiapan tentara Indokita.

Rakyat mulai berkeruman di setiap lapangan terbuka. Mereka menyatakan sikap dan siap menjadi relawan perang. Lasykar-lasykar sipil siap mati di medan laga. Mereka menyebut relawan ababil. Sejumlah organisasi ulama mengeluarkan fatwa jihad. Sedangkan pentolan teroris malah mengutuk keras rencana jihad ke Malingsia. Mudin N. Pot mengirimkan rekaman kecaman itu dan disiarkan secara luas oleh televisi.

Presiden Sukit kembali di udara. Ratusan wartawan cetak, elektronik, merekam pidatonya sebelum pasukan sepuluh angkatan bergerak. "Saudara-saudara," Presiden Sukit mulai menyampaikan pidatonya.

"Saya manusia biasa dan saya bisa marah. Kami ini negeri biasa, maka negeri ini juga bisa marah. Sudah cukup sikap diam kami. Jangan diartikan kami diam sebagai ketidakmampuan. Kami diap karena kami memang ingin mencari jalan damai. Tapi bukan berarti kami tidak mampu dan tidak berani."

"Kalau saya marah itu wajar. Negeri kami, rakyat kami marah juga ajar. Kemarahan kami itu menyehatkan bangsa kami. Adrenalin kami berfungsi normal. Kalau kami tak bisa marah, jadi bangsa apa kami ini. Dengan amarah, organ-organ tubuh kami bisa bekerja secara alami. Organ bangsa dan negara kami bisa berfungsi optimal. Seruap persatuan selama ini ditanggapi seperti angin lalu. Dengan marah, persatuan tercipta seketika. Seluruh rakyat menyingsingkan lengan dan bertekad untuk menyatukan diri, melepaskan egonya, sekat ideologinya, sukunya, profesinya, dan macam-macam halangan. Yang pedagang, penguasaha, guru, siswa, pelajar, dosen, politisi, tukang semir, sopir, buruh pabrik, pejabat eselon, PNS, semua bergerak. Berjalan ke lapangan terbuka dan siap menjadi relawan. Seluruh rakyat, yang buruh dan petani semua sap diberangkatkan ke medan perjuangan. Siap menggempur Malingsia."

"Wahai rakyatku. Biarkan negara ini berfungsi, seperti badan kami berfungsi. Kadang kami harus marah, kadang kami harus welas asih. Beginilah manusia. Tidak bisa kami diam sementara mereka terus arogan. Tidak bisa kami berunding sementara mereka memegang senjata, tidak bisa kami bertegur sapa, kalau bangsa dan rakyat kami disiksa. Tidak bisa kami bicara kalau mereka terus berteriak. Tidak bisa kami mengoreksi diri sementara mereka menguasai pulau-pulau kami. Tidak bisa kami bernegosiasi sementara mereka melanggar janji. Kini, kita buktikan bawah kami adalah bangsa dan negara yang punya kehormatan dan harga diri. Kami diam bukan kami tidak berani. Serbuuuuu...." (si ragil)





0 komentar

Posting Komentar