| 0 komentar ]

Ia datang seperti raja yang baru saja memenangkan peperangan. Langkah kakinya seperti gajah, matanya berbinar-binar dan senyumnya terus mengembang. ”Kami bisa menangkap teroris,” katanya pendek, seperti sengaja memendam cerita agar ia banyak ditanya wartawan. Ribuan kamera kelojotan mengabadikan wajahnya. ”Kami terpaksa membunuh teroris karena membahayakn petugas,” mukanya dibuat setengah tegang agar seolah-olah ia sedang menghadapi persoalan.


Ia seorang perwira polisi. Sebulan silam, ia didamprat. Mukanya masam, nyaris tanpa harga diri. Ia tak sanggup menjaga aksi unjuk rasa yang berlangsung anarkis. Seorang ketua parlemen daerah tewas dalam aksi unjuk rasa itu. Suaranya nyaris hilang seiring kehormatannya yang tenggelam. Ia menjadi seorang pecundang. Kursi kekuasaanya digergaji, ia pun dimutasi.

Entah mengapa, ia ditempatkan sebagai juru bicara kepolisian. Sang pecundang akan membawa nama institusi kepolisian. Lantas pecahlah dentuman bom teroris. Sang pecundang pun sibuk merapikan rambut, memasang emblem kekuasaan di pundak dan di dada. Bibirnya diberi lips glos agar selalu terlihat merah dan lembab. Mukanya dicuci bersih seperti ia ingin membersihkan piring kotor kekuasaan yang lalu. Lalu ia berjalan dengan membawa map. ”Inilah dalang teroris yang meledakkan bom,” ia menenteng foto teroris dan mendekatkannya ke mukanya. Ribuan media massa nasional dan internasional menempatkan foto sang pecundang sebagai pahlawan yang berhasil menangkap para teroris.


Jutaan pasang mata menonton sang pecundang sebagai pahlawan baru: pahlawan pemberantas teroris. Tak ada lagi kata pecundang. Para wartawan juga melupakan tragedi sebulan silam. Seolah tidak ada apa-apa di siang bolong itu, ketika ketua parlemen dikepung dan diamuk massa. Seolah tak pernah ada kejadian itu, ketika polisi hanya diam membeku dan sang pecundang cuma sibuk di rumah makan menafakuri menu-menu kuliner yang tak pernah dibayar.

Negeri Indokita berhasil menciptakan pahlwan baru bekas pecundang. Sementara ribuan perwira yang tekun belajar, giat bekerja, berpretsasi dalam melaksanakan tugas, hanya bisa menjaga tong sampah dan melayani arisan. Mereka tetap menjadi sepatu. Sementara sang pecundang tertawa dan sibuk menyisir rambut karena wawnacara televisi sudah menunggunya.

Prestasi selalu sepi. Tak ada yang melihat apalagi menayangkannya di televisi, menyiarkannya di radio atau mencetak namanya di koran-koran. Lebih baik jadi pecundang. Kalah menang tetap saja menang!!! (si ragil di www.fiksinews.blogspot.com)


0 komentar

Posting Komentar