| 0 komentar ]

Namanya Jibril, tetapi aku memanggilnya Monas. Temenku suka menyebut Monas Jibril. Pria kelahiran Menteng Atas 30 tahun silam itu cuma pemuda pengangguran. Jibril sering terlihat di stasiun Gambir. Kalau tidak menjadi tukang semir sepatu, ia memilih menjadi calo tiket. Ia tidak mau menjadi pengemis atau penipu. Ia lurus dalam pekerjaannya. Jibril setiap malam bisa dijumpai tidur bersama Mikail di kolong jembatan, menghadap ke Kedubes AS. ”Suatu saat aku akan mengebom kedutaan itu,” kata Jibril kepada Mikail, pekan lalu


Obrolan kedua sahabat pengangguran itu seperti diterbangkan angin malam ke Markas Besar Polisi di Tarumajoyo, Blok S. Dua pembesar Densus 99 pun merapatkan tim pemburu teroris. Semua intelijen disebar. Beberapa intel menguntit Jibril sedang berak di toilet stasiun. Belasan lainnya mengintai Mikail yang sedang tiduran di mushola stasiun. Jibril dan Mikail tak pernah menyangka sedang diamati. Keduanya tetap menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Makan nasi bungkus di warung gendong atau mencari sisa-sisa roti di bak sampah. ”Yang penting bisa makan dan tidak mencuri. Allah pasti menolong kita,” ujar Jibril ketika berbuka puasa, kemarin lusa.

Kedua sahabat ini berasal dari Solo. Kota yang di waktu kecil pernah menggemblengnya dengan ketaatan beragama. Ia pernah sekali melakukan jihad menolong perempuan hamil yang ditendang suaminya dari rumah. Jibril membawanya ke rumah sakit dan ia bekerja apa saja untuk membiayai seluruh perawatan. Mikail juga sering berjihad, memberi tempat duduk pada ibu-ibu hamil yang bergelantungan di bus kota. Ia memilih berdiri dan ia menyebutnya dengan jihad. Latar belakangnya tak diketahui. Jibril jebolan pesantren di Gruki. Mikail keluaran pesantren di Ngruka. Keduanya dipertemukan di stasiun Gambir sebagai gembel.

Kemarin, Jibril dan Mikail dibekuk Densus 99 setelah fotonya disebarkan ke media massa sebagai buron. Jibril dibekuk ketika sedang menyemir sepatu seorang perwira muda militer yang kebetulan sedang berangkat dinas ke Jawa Timur. Sedangkan Mikail dibekuk ketika sedang menjual kolak buka puasa di dekat pintu masuk Makostrad Gambir. ”Kami salah apa??” Jibril sempat meronta. Sebuah bogem mentah muncrat ke mukanya. Jibril pingsan dan segera dibawa dengan tangan terborgol. Mobil Avanza silver sumbangan pengusaha judi pun meluncur di Medan Merdeka yang ramai.

Mikail lebih santun. Ia masih sempat berbuka puasa dan menawari aparat Densus 99 kolak dagangannya. Lima petugas ikut bersantap kolak pisang tanpa bayar. Mikail dikurung di terali penjara ketika bedug buka ditabuh dan shalat ditegakkan. ”Saya salah apa, Pak. Tolonglah, saya ingin shalat sejenak dan silakan mengurung kami lagi,” Mikail bicara pada tembok. Semua petugas diam seperti berhala.

Esoknya, melalui tayangan televisi, Jibril melihat juru bicara kepolisian menyatakan telah menangkap dua gembong teroris anak buah Mudin N. Pot, beraliran wahabi radikal yang telah merancang pembentukan negara Islam dengan Ibu Kota Gambir. Jubir kepolisian menunjukkan foto sketsa Jibril dan Mikail, lengkap dengan sokongan dana milyaran dari Arab Saudi dan dua pucuk senjata buatan Pindang. ”Saya perlihatkan barang bukti otentik lainnya yaitu seragam militer. Inilah seragam militer yang digunakan untuk melatih diri sebelum keduanya menjadi mortir dalam rencana pengeboman Kedutaan Besar Amerika. Semua rencana itu berhasil kita batalkan dan Kedubes Amerika selamat dari serangan terorisme,” Jubir Kepolisian Nama Mana dalam jumpa pers yang diliput ratusan media dalam dan luar negeri.

Ayah Jibril bernama Monas mengelak tudingan itu. Ia mengatakan terorisme terjadi akibat perang dingin kepolisian dan militer dalam merebut kekuasaan dan pengaruh. ”Buktinya seragam militer itu bukan milik anak kami. Seragam itu ditunjukkan untuk menyudutkan militer. Penangkapan anak kami juga di depan perwira militer. Penangkapan Mikail juga di dekat pintu markas militer. Ini persaiangan militer dan polisi dengan memanfaatkan gerakan Islam. Ini fitnah keji yang harus diakhiri,” Monas bicara berapi-api. (si ragil)




0 komentar

Posting Komentar