| 0 komentar ]

Detik-detik Jelang Eksekusi Markisot II

"Aku datang memenuhi panggilanMu, Ya Allah. Aku datang. Saksikanlah wahai malaikat, wahai zat yang mendapat tugas. Aku datang dengan ridhaMu. Mengharap surgamu: jihad fi sabilillah."

Dini hari ketika embun turun, petak kamar itu menyala hangat. Terdengar air gemiricik syahdu. Seorang lelaki muda, mengelap mukanya dengan telapak. Ujung-ujung jarinya tengadah. Dihadapkan wajahnya ke atas dan berdoa. Ia menangkupkan butir-butir doa ke dalam dadanya yang berdegup. "Allahu Akbar." Ia berdiri khusyuk di atas sajadah. Bayangannya ikut bertafakur. Ia menindih hidupnya dengan memohon. "allahu akbar...walhamdulillah walailaha illahahu..allahu akbar...."

"Subhanallah..." Seorang lelaki tengah baya datang dengan mengendap. "Engkau pantas mendapatkan bidadari surga itu ya akhi." Ia melantukan pujian surgawi. Sholatlah sekali lagi. Dua rakaat sebelum subuh. Pastikah jiwamu tenang. Menghadaplah Sang Khalik dengan dada tegap dan jangan berpaling. Allah menyaksikan jihadmu hari ini. Malaikat maut akan menidurkanmu dalam dentuman keabadian yang indah. Keabadian surgawi itulah tujuan hidup ini.

"Allahu akbar." Lelaki muda itu melanjutkan sholat sebelum subuh dua rakaat. Ia memejamkan matanya seolah ia melihat Allah dalam hatinya. Ia melihat jasadnya yang hancur dan malaikat, bidadari, berebut menangkapnya. Mendekapnya erat-erat, memeluknya, memandikannya dengan air suci yang wangi. Ia melihat ruhnya berjalan dikitari bunga-bunga semerbak, disambut bak pahlawan dari medan kemenangan.

"Allahu akbar." Ia kembali berdiri, pada rakaat kedua. Ia melihat jasad-jasad kafir bergelimpangan. Mereka histeris, mengaung-aung, meronta kesakitan. Ia menyaksikan air mata telanjang, kelojotan tak terperikan. Anak muda itu memejamkan matanya sekali lagi dan ia melihat banjir darah di mana-mana. Kaum kafir itu merunduk-menyebah kepadanya:memohon belas kasihan. "assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...."

Tak dilihatnya lagi lelaki paruh baya di belakangnya. Hanya dua tas berserak. Ia segera mandi dan mengambi minyak wangi. Dipakainya baju yang paling baik. Ia tak memakai kancut karena jasad hanya mengenakan kafan. Ia mengambil baju paling putih dan berseterika. Dilapisinya dengan jas. Lalu ia gendong tas, yang agak berat.

"Subhanallahu saudaraku. Engkau sudah siap rupanya..." Lelaki paruh baya itu sudah bersiap dengan mobil di depan. "aku akan mengantarmu sampai depan," katanya perlahan. sang lelaki muda itu tak berkata-kata lagi. "Ingatlah, perjuangan kita tidak hanya sampai di sini. Saudara-saudaramu akan terus berdatangan dan bersamamu berjihad. Kita tegakkan khilafah Islam dengan keteguhan jiwa, kebesaran hati, dan keikhlasan. Kaum kafir itu tak bisa dibiarkan merajalela." Lelaki baya itu terus mengemudikan mobilnya dengan bibir komat-kamit.

Pria muda itu seolah tak mendengar lagi kata-kata pembimbingnya. "Aku memilih hidup dengan cara mati. Aku tak memilih mati dengan cara hidup. Allahu akbar." Ia ingat terakhir kali menanggalkan surban, melipat sajadah, dan mengepaknya dalam kotak bersama Al Quran dan buku jihad fi sabilillah.

Mobil bergerak di depan hotel. Lelaki muda itu turun dengan senyum mengembang. Mobil lantas meluncur dengan pelahan. Sejumlah sekuriti disapanya dengan sopan. Metal detector dilaluinya. Ia terus berjalan menapaki surga. Ia mendengar gemiricik air keabadian yang suci. Ia melihat bidadari itu telanjang bulat di kolam air yang bening. Lelaku muda itu dipenuhi birahi. Ia ingin segera berlari ke sana, memeluk bidadari itu dengan syahwat kesucian. Ia berjalan gontai. Mengunci mulutnya yang sedang puasa.

"Oh, engkau bidadariku, engkau rangkul jasadku yang sebentar lagi remuk, agar aku tak merasakan sakitnya. Kau ciumi aku seperti kau menciumi air kesucian itu agar aku tak mendengar lagi suara ledakan. Kau cumbui aku agar aku tak melihat lagi darahku muncrat, menciprati kafir-kafir itu. Allahu akbar...allahu akbar...Ini jalanMu ya Allah. Jalan menegakkan kalimat-Mu....Kafir-kafir itu harus tahu, kami tidak akan pernah mati. Kami tidak akan pernah mundur. Kami tidak akan pernah berhenti."

Ia terus berjalan dan lelaki tengah baya tersenyum. Suara gemelegar membahana. Teriakan-eriakan kaum kafir itu tak didengarnya lagi. Ia hanya melihat keabadian. Ia melihat tubuh-tubuh berserakan itu seperti ia melihat bidadari yang cantik-cantik dan penuh nafsu. Ia telanjang. Baju putih bersih semburat entah ke mana. Kepalanya terpenggal, menggelinding dan dipeluk bidadari, dikecupnya erat-erat.

Tangannya yang tugel merangkul erat kebadian surga. Pahanya yang copot ditangkupkan ke paha-paha bidadari. Darah yang mengalir di lantai dilihatnya seperti air kesucian yang ranum dan wangi. Badannya yang hancur seperti perasaan gemelinjang di atas kasur, ketika ia dirasuki syahwat bidadari-bidadari yang telanjang... itu... kita semua telanjang. Mulut menganga seperti rasa kecupan dahsyat yang tak tertuliskan.

Kematian ini begitu indah. Seperti kehidupan di Doly!!! (si ragil)

0 komentar

Posting Komentar