| 0 komentar ]



Sepuluh Menit Jelang Bom Meledak
Tas pengantin sudah kusiapkan di meja. Kuatur waktunya, hanya sepuluh menit saja. Jika sudah sepuluh menit para pengantin akan bersenggama dengan bidadari di surga. "Segeralah turun, wahai akhi," seruku, dalam bisik merayu.


Kamar itu telah dibersihkan. Baju-baju telah dilipat. Sajadah disimpan. Al Quran ditelan. Gemiricik air di bath up telah kumatikan. Kami segera berangkat. Menunaikan shalat dhuha dua rakaat. Satu rakaat di Markisot. Satu rakaat di Fish Carton. "Allahu mengundang kita untuk lekas bersegera. Panggilan adzan sudah berkumandang. Kita segera tunaikan shalat. Kau bawa tas ini. Hati-hati agak berat. Berjalanlah seperti engkau sedang bersama bidadari di surga, bercanda, bercumbu. Jangan menoleh, atau bercanda. Basahi bibirmu dengan syahadat, karena sebentar lagi malaikat akan bertanya, untuk apa kau menghadap."


Hatiku berdegub kencang. Adzan sudah berkumandang. Waktunya menunaikan shalat. Dua rakaat. Satu di Markisot. Satu di Fish Carton. Berasa hampa. Aku segera menghadap. Tetapi hatiku terus berdegub. Satu di Markisot. Satu di Fish Carton. Pikiranku berguncang. Untuk apa aku membawa bom ini. "Untuk syuhada, ya akhi," malaikat itu berbisik ke telingaku.


Aku teringat ibuku. "Di mana kau ibu. Anakmu akan segera pergi. Adzan sudah dikumandangkan. Aku harus menghadap. Dengan tas yang berat ini. Yang harus kubawa dengan berjalan. Ibu..." air mataku meleleh. "Jangan menangis, ya akhi," malaikat kembali berbisik ke telinga kiriku.


Aku teringat ayahku. Ayah yang sering memukulku di waktu kecil. Betapa bandelnya aku. Aku pernah hampir tenggelam di sungai. Untunglah, ayahku menangkapkau segera. "Ayah di mana kau sekarang. Apa kabarmu. Dulu aku membencimu. Sering kali kau pukuli aku. Ayah...aku akan pergi sekarang. Adzan sudah berkumandang. Aku akan menghadap." aku terdiam dan sesenggukan. "Menangislah yang keras. Air matamu itu suci. Basahi lantai hotel ini dengan air matamu agar kau bisa berjalan lebih tenang," suara malaikat itu setengah membentak.


Aku teringat kawan-kawanku, saudara-saudaraku, calon isteriku. "Sayang di mana kau sekarang. Maafkan aku. Kita bertemu di surga. Aku belum bisa menikahimu. Sumpah, waktu itu aku hanya memegang tanganmu. Nafsuku bergelora. Tetapi, kau mencium bibirku. AKu tersentak. Kau pegang tanganku dan kau dekatkan ke dadamu. Sumpah aku tak tahan waktu itu."


"Aku ingin memelukmu. Aku ingin bersenggama denganmu. Aku lihat kau juga begitu. Kubuka bajumu. Kututupi tanganku dengan jilbab besarmu. Aku remas payudaramu. Kau menggelinjang. Maafkan aku. Tanganku terus turun ke bawah. Kucubit nafsumu. Kau lantas merangkulku dengan berbisik."Sabar Mas. Kita belum menikah."


Aku tersadar. Setan memenjarankan nafsuku. Besoknya aku minta ustad nur mengawinkanku. Saat itulah aku meremasmu dan kau meremasku. Aku begitu bahagia. Sekarang, pagi ini, baru tiga hari kita menikah, aku meninggalkanmu. Tapi engkau tahu. Aku ingin menjemputmu nanti di surga. Aku janji tak akan mengawini bidadari itu. Aku sayang padamu."


Adzan telah berkumandang. Aku harus segera berangkat. Aku berwudhu. Shalat dhuha dua rakaat. Aku sekarang tenang. Pikiranku tenang. Aku harus tenang. Tak boleh kelihatan gugup, cemas. Aku harus berhasil membawa suara adzan ini ke bawah. Melewati penjaga yang sering kusumpal uang. Mereka juga punya anak isteri. Mereka butuh hiburan. Tak ada salahnya kuberi tips. Wajar di hotel memberi tips. Aku beri ia satu juta setiap tiga hari. Aku minta dia berbagi bersama.


Kini saatnya aku harus pergi. Menuruni lift dan berjalan kaki. "Asslamualaikum warahmatullah. Assalamualaikum warahmatullah." Dua salam kuucapkan. Dua suara adzan akan segera bercerita. Dua tempat akan mengubur kafir-kafr itu.


"Aku teringat foto-foto anak-anak Palestina yang tewas bersimbah rudal. Ini sebuah kebiadaban yang tak boleh berulang. Aku harus ceritakan kepada dunia. Kami masih ada dan akan terus melawan. Kami tak akan berhenti. Masih banyak suara adzan yang segera dikumandangkan oleh kawan-kawan kami. Suara adzan yang kini berkumandang di pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, akan segera berpindah ke hotel-hotel, kedutaan-kedutaan, tempat-tempat maksiat."



Ruangan itu kembali senyap. Aku tak melihat apa-apa lagi. Kupakai jas dan kupilih minyak wangi kasturi. Aku pakai peci, tapi ah, seperti di mana aku ini. Aku pakai jas yang disiapkan ustad nur. "Ya akhi, apakah kamu sudah siap." Kujawab pelan," Sudah akhi Sholeh." Mari kita berangkat. "Peluklah aku ya akhi Ismail agar aku bisa mencium tubuhmu sebelum kelak kita bertemu di surga." Aku memeluknya. Kami berpelukan. Takzim. Kuteuk pundaknya tiga kali. Ia menupuk pundakku dua kali. Kucium pipinya. Kukecup syahadatnya.



"Bismillah la yadurru maasmihi syaiun fil ardli wala fissamaai...."


Aku turun melalui lift yang terpisah. "Akhi, aku duluan. Assalamualaikum." Akhi Sholeh melambaikan tangan. Dua petugas hotel menyapaku. "Pagi Pak Ismail," ia minta turun bersamaku. "Selamat pagi," jawabku. Ia merebut tasku. "Mari kubantu membawakan tasnya Pak?' "Terima kasih," jawabku. Kupegang tas itu erat-erat. Tetapi ia mulai curiga. Ia mengajak ngobrol, tapi pikiranku menerawang membayangkan bagaimana surga itu kelak kutempati. Kemewahannya apakah seperti di hotel ini. Tak ada halal haram. Air kolam yang bening. Kenyamanan yang memesona. Entahlah. "Bapak melamun," petugas hotel itu menghardikku.


Aku tergeragap. "Agak sedikit pusing," aku bicara sekedarnya. Lift bertambah lagi di lantai liam. Tiga bule bersama kami di lift. Aku diam. Tetapi si bule itu menyapaku lebih dulu. "Good morning," ia mengangguk padaku. "Oh Ya Allah, begitu sopan dia. Apakah mereka pantas mati dalam lumuran darah kebadaban. Bukankah ia tak melakukan apa-apa padaku. Ah, mungkin aku tak tahu. Mungkin ia justeru telah menjadikan Afghanistan ternista seperti sekarang." Aku segera menjawabnya. "Morning sir," aku kembali diam.


Rupanya si bule ingin aku bicara. Ia mengeluarkan permen dari saku bajunya dan menawariku. Aku tolak dengan sopan. "Aku puasa," kataku dalam Inggirs yang fasih. "Oh, good..." komentarnya. "Orang Indonesia memang baik. Banyak orang puasa. Menghormati orang miskin yang kelaparan. Andai 10 juta orang seperti bapak dan menyimpan makanannya untuk dibagikan kepada orang miskin. Saya yakin tak ada lagi orang miskin di sini," ia mendesak pikiranku.


Aku tak bisa membenarka orang ini. Aku meronta. Tapi pikiranku menyadarkanku atas kebenaran si bule ini. "10 juta orang puasa. Jika 20 juta sehari saja, bisa memberi makan 5 juta orang miskin dalam sebulan. Bisa...Si bule ini harus masuk surga duluan kalau ia benar. Tapi ia pasti bergurau," aku meronta, memepetkan badanku ke pinggir. Lobi di hadapanku. "By sir," kusapa dia lebih dulu. "Ok thanks. Ia menyalamiku dan mengajak berjalan bersamaku. Tapi aku mengusulkan alasan. "Aku menunggu teman," kataku dalam Perancis. Aku yakin si bule orang Perancis. Ia kuminta berjalan keluar lobi lebih dulu. Ia keluar hotel dan aku baru berjalan. Aku tak mau ia ikut mati.


Aku diperiksa metal detector. Tas kuserahakn begitu saja. agar tak dicurigai. Kukedipkan mataku. Dan ia mengerti. Bunyi tiitt..tiittt...tak dihiraukan. Aku berjalan santai sambil menenteng tasku yang berat. "Berat sekali tasnya pak," kata petugas.."Ia saya mau pulang. Sarapan dulu di bawah," kataku sekedarnya. "Cuma oleh-oleh buat anak-isteri di rumah," aku kembali megalihkan perhatiannya.


Aku berjalan menuju Syailendra Restoran. Kulihat kawanku sudah lebih dulu menuju Fihs Carton. Aku melihat jejaknya dan bau wangi kasturinya berceceran di lobi. Ia memberi tanda, kalau sudah berada di Fish Carton. Aku segera bergegas. "Suara adzan sudah dikumandangkan," aku harus mengumandangkan adzan berikutnya. Aku menuju lobi dekat restoran. "Bismillahirrohmanirrohim. Assyhaduallah ilaaha illallah waasyhaduanna muhammadarrasululah." "Dummm...!!!!"


Bom mengoyak tubuhku. Suara adzan telah kukumandangkan agar kawanku tahu dan segera menyambung dengan iqamah. "Aku shalat dua rakaat secara berjamaah. Rakaat pertama untuk Markisot. Rakaat kedua untuk Fish Carton. Aku umumkan kepada dunia. Aku tidak akan berhenti selama kau tetap memusuhi kami. " (si ragil)























0 komentar

Posting Komentar