| 0 komentar ]

Kamar 1909 itu tampak rapi. Sprei kasur masih tampak licin. Televisi 30" layar datar menyala dengan suara pelan. Lampu dinyalakan temaram. Sosok pria duduk dengan senyum dikulum. "Akhirnya mereka bisa kita manfaatkan," pria berbaju jas itu memelintir cerutu di bibirnya. Ia sendirian sambil mengepulkan asap. Dua cokelat terbaring di meja dan belum disentuh. Sekeranjang buah juga masih terbungkus plastik. Pendingin udara disetel hampir 10 derajat. Dingin sekali.

Telepon genggamnya bergumam. Ia lihat nomornya. "Ya, Pak, iya...menteri pertahanan juga boleh Pak..." Ia tutup deringan telepon itu. Mulutnya tersungging. Ia tenteng lagi telepon genggamnya dan dia berkomunikasi. "Ishak ajak ke sini. Bentuk lagi sel lain dan bikin ledakan. Tinggalkan petunjuk agar polisi bisa mudah mencari jejaknya. Korban satu anggota agar ia tertangkap," ia memberi instruksi.

Kamar 1909 terkunci rapat. Suara ketukan pintu berderap pelan. Sang pria bercerutu di dalam mengintip lewat lubang. "Segera masuk," ia menjabat sang tamu dan menyeretnya ke dalam. "Ada yang mengawasi nggak," ia bertanya dan dijawab dengan gelengan kepala. "Ini susunan organisasimu yang baru. Organisasi lamamu taruh di markas. Beri petunjuk polisi untuk mengetahui lokasi itu. Korbankan satu anggota. Sebut ia amir organisasi, lengkapi dengan dokumen-dokumen penting untuk menambah keyakinan polisi agar mereka bisa cepat menetapkan tersangka. Susunan organisasi dan nama-nama kamu bikin dengan baik dan logis. Atur juga surat-surat wasiat dan rekrutmen anggota," pria itu seperti mengomel sendirian. Ishak hanya diam. "Ini operasi intelijen. Jangan lupa permainkan media dan manfaatkan," akunya.

Kamar 1909 kembali terkunci. Ishak keluar melalui lift barang. Ia membawa tas berisi uang tunai pecahan 100 ribu. Metal detector tak bisa meraba berapa milyar uang di dalam itu. Transaksi senjata dan bom rakitan sudah dipesan. Ishak tinggal menyerahkan koper kepada sang penjual. "Ini hibah dari Syech Hasyim," Ishak menyerahkan tas kopernya dan berlalu. Ia membawa sebuah mobil penuh dengan amunisi, senjata dan bom rakitan. Sebuah transaksi telah dilakukan.

Ishak adalah kurir Syech Hasyim. Ia tangan kanannya. Ishak menjadi pelaku lapangan yang mengemudikan semua instruksi Syech Hasyim. Sang Syech ini sejatinya seorang mata-mata yang menerima pesanan pejabat untuk memenuhi ambisi kekuasaannya. Ia pandai merancang peledakan bom dan melabel kelompok lain sebagai pelakunya. Ia juga pandai merancang skenario untuk melibatkan kelompok-kelompok lain sebagai pelaku terorisme dengan menyusupkan anak buahnya dan menjebaknya dengan berbagai dokumen yang mudah ditemukan kepolisian. Dalam proyek peledakan bom yang baru saja dilakukan, Syech Hasyim berencana diangkat menjadi Menteri Pertahanan, menggantikan Menhan lama Puji Tarmuji. Keduanya jenderal bintang tiga. Syech Hasyim sudah pensiunan dan menjadi mata-mata abadi institusi intelijen.

Targetnya menjadi Menteri Pertahanan karena ia ingin mengembalikan kejayaan tentara. Ketika polisi menguasai semua lini, tentara seperti kucing kurap yang disepelekan. Kekuatannya dilemahkan. Kewenangannya dipreteli. Senjatanya dirontokkan. Ratusan tentara mati sia-sia karena penyakit, kekurangan gaji, dan kecelakaan. Syech Hasyim ingin mengembalikan lagi kekuatan tentara yang sebenarnya. "Terutama kekuatan intelijen tentara," ia mendengus seperti harimau.

Ia sadar, banyak kelompok ideologi yang mudah dimanfaatkan. Cukup dengan meracik doktrin dan merapal kitab suci. Mereka penurut seperti kebo dicucuk hidungnya. Mereka bodoh karena tak bersekolah. Ia hanya terampil. Itu karena dilatih. Tetapi, mereka mudah dimanfaatkan. "Untuk kepentingan apa saja," Syech Hasyim ngakak sendirian di dalam kamar 1909 sambil melihat liputan media tentang ledakan bom besar di sebuah hotel raksasa di negeri ini.

Presiden Sukit berpidato dalam bahasa kemarahan. (si ragil)

0 komentar

Posting Komentar