| 0 komentar ]

Menunggu Relawan dari Muara Gembong

Muncul berita perampokan mobil di Bekasi. Aku jadi teringat saat pembagian sepeda untuk sekolah (SUS). Sepertinya tak ada hubungannya dengan SUS ya. Tapi sejatinya ada. Mobil Innova gres yang kami sewa saat mengawal bantuan sepeda ke Muara Gembong, Bekasi, hingga malam belum kembali. Sopir mengiformasikan kepada pemilik mobil bahwa mobil berada di daerah Muara Gembong. Sang pemilik panik dan segera menelepon ketua panitia. Dia meminta jaminan kalau terjadi apa-apa dengan sopir dan dengan mobil Innova gresnya. "Kalau tahu Bekasi yang bapak maksud itu Muara Gembong, kami tidak sewakan. Risikonya terlalu besar," kata Yusni, pemilik mobil.

Betul malam terus bergerak hingga gelap gulita di Babelan. Mobil belum juga datang. Menuju tengah malam, mobil tak jua sampai. Telepon para personel relawan tak bisa dihubungi. Sinyal seluler seolah dimakan monster. Berkali-kali sambungan telepon hanya menyisakan suara tut...tut... tut... kepanikan mulai menggurat di wajah ketua. Pressure belasan personel kepolisian. Mereka baru saja 'bekerja' membuat wilayah Marrakash steril dari kerumunan warga. Saatnya mereka beristirahat sambil makan-minum dan mencari-cari panitia "berkoordinasi" (baca: bayarin makan-minum) .

Melihat isi dompet kumal dan lusuh tinggal Rp 50 ribu, ketua memilih kabur dari incaran polisi dan mengendus keberadaan empat relawan yang masih terkatung-katung di jalanan terjal dari Muara Gembong. Mengusut keberadaan empat relawan menjadi prioritas. Apalagi kunci gudang tempat 1000 sepeda disimpan terbawa oleh salah satu dari empat personel relawan. Praktis tengah malam itu, panitia, relawan mahasiswa UI, tak bisa membuka gudang dan tak bisa membawa sepeda ke lapangan yang sudah disterilkan.

Dini hari bergerak. Hingga pukul 02.30 mereka mengontak koordinator relawan dan mengabarkan sudah berada di tol. Seperti minum sebotol fruit tea rasa apel yang dingin dan manis. Seluruh tubuh yang lunglai tiba-tiba bersemangat. Kami tunggu mereka di kota. Begitu muka empat relawan terlihat di depan mata, sang ketua langsung mengajak mereka hunting makanan. "Ucapkan syukur. Mari kita makan." Salah satu relawan bongsor dan manja langsung tepuk tangan. "Betul, Pak. Makan!! Perut sudah kelaparan, dikocok pula di jalan. Tidur juga tak bisa."

Mobil Innova dan sopirnya datang dengan wajah lungset. Suara mobil gres itu seperti suara pria gemuk yang ngorok saat tidur. Tetapi, hunting makanan wajib dilakukan. Puter kiri, kanan: TUTUP. Tak ada warung makan buka. Akhirnya kembali ke asal, depan hotel tempat ratusan pemuda Bekasi balapan liar. "Tak ada pilihan. Kalau ada tawuran, selamatkan mobil dulu, baru kita lari." Pesan makanan di warung pecel ayam. Setengah jam lebih teman-teman menunggu tetapi menu makanan belum juga siap. Pada saat yang sama, patroli polisi lewat. Ratusan pemuda balapan liar langsung semburat. Mereka meraung-raungkan motornya dengan kecepatan setan.

Tunggu 15 menit lagi, makanan masih di atas piring dan belum terhidang. Tiga wanita penghibur senyam-senyum, melirik Ahmad, pemuda subur yang wajahnya camera face. Mukanya sering nongol di acara-acara musik di semua stasiun televisi: juga di acara The Master. Ia masih keponakan Chaerul Tandjung (eh, cepet sembuh ya. usai acara, ia tumbang. Ia demam tinggi karena amandel dan radang tenggorokan. ibunya begitu sayang. ia anak tunggal dari keluarga borjuis!!).

Makanan yang ditunggu nyaris satu jam itu pun terhidang. entah karena lapar atau rakus, belum lima menit, sepiring nasi, berlauk ayam goreng itu ludes, tak bersisa. "tambah nasi." Tak ada pilihan. Nasih ditambah, perut pun senang. Punggung yang sebelumnya melengkung akhirnya bisa tegak kembali. "Ah, mengapa tiga wanita itu masih saja usil senyam-senyum pada dini hari seperti ini. entahlah!!!"

habe arifin
sori jadi inget kembali

0 komentar

Posting Komentar