| 0 komentar ]

Subuh belum juga beranjak ketika Sompral berjejingkat mengambil sendal. Ia baru turun dari mushola. Inilah kali ketiga Sompral menginjak mushola. Dulu waktu kecil, ia paling rajin ke mushola. Tidur pun di mushola. Tabu bagi anak sembilan tahun ke atas tidur di rumah. Mushola seolah tempat tinggal keduanya. Begitu ke Jakarta, ia melupakannya. Ia lebih banyak bergumul pada gitar dan asap terminal. Bertahan hidup adalah alasannya. Sompral ingin mengubah nasib. Kini ia banyak pergi ke mushola. Mungkin ia pikir Tuhan akan bagi-bagi duit di mushola saban subuh datang. Entah mengapa, ia begitu percaya.

Setelah menyambar sendal jepitnya, Sompral buru-buru pergi ke Bang Kumis. "Bang, lihat korannya," Sompral mengambil salah satu koran Ibu Kota yang dijejer di atas lapak. "Gw bilang juga apa, Bang," Sompral bersemangat. "Bu Mega pasti melamar Sultan," suara Sompral kembali menjejali telinga Bang Kumis.

Bang Kumis tak tahan juga diceramahi pada pagi buta seperti itu. "Memangnya Pak Taufik Kiemas dikemanain, Pral?" Bang Kumis seenaknya. "Apa mungkin Bu Mega ikut-ikutan kawin-cerai kayak Oki-Pasyah Ungu?" Bang Kumis nyerocos seperti bibir kepedesan. Belum juga bibir Bang Kumis nyerobot lagi, Sompral menggampar pundaknya. "Blaakk." "Ngomong diatur Bang. Mana mungkin Bu Mega cerain Bang TK, ya nggak mungkinlah." Sompral kembali melototi koran.

Bang Kumis nyengir saja. "Loe sendiri yang bilang Bu Mega melamar Sultan. Itu artinya kan mereka akan kawin dan Pak Taufik dicerain. Mana mungkin Bu Mega bersuami dua. Loe aja yang bikin gw sewot," entah mengapa otak Bang Kumis pagi ini masih beku.

Sompral berdiri dan menyantap tahu goreng yang masih panas di warung Yu Tem. "Kumiiiissss. Dengerin ya. Maksud gw, Bu Mega melamar Sultan untuk jadi cawapresnya, bukan jadi suaminya. Udah tua gitu, gak mungkinlah kawin-cerai," Sompral bersesungut sambil terus mencaplok tahu.

Bang Kumis berdiri dan memandang Sompral dengan tajam. Sompral sempat mundur. Ia khawatir Bang Kumis marah dan menggeplaknya. "Eh, Pral. Semakin tua orang, pikiran dan tingkah lakunya seperti anak-anak. Sudah pernah jadi presiden masih saja ingin jadi presiden lagi. Persis kayak anakku, si Jengkil. Sudah dikasih permen, eh minta lagi, minta lagi. Padahal giginya udah bolong lima. Kalau gw kasih permen lagi, giginya bisa bolong semua. Omponglah anakku nanti," Bang Kumis kembali duduk dan menyeruput kopi selir asli Lamongan.

Sompral meletakkan korannya dan mendekati Bang Kumis. "Maksud Abang, apaan nih," Sompral diam menunggu 'kuliah subuh' dari pedagang koran profesional karena sudah lebih lima belas tahun menjalani profesi ini. "Maksud gw, menjadi ibu itu profesi mulia. Lebih mulia daripada presiden, perdana menteri, kaisar atau bahkan malaikat. Begitu mulianya seorang ibu sampai Nabi pun menunjukkan surga ada di bawah telapak kaki ibu. Jadilah ibu yang baik, ajarkan kebaikan kepada anak-anak juga kepada suami tercinta. Menjadikan anak lebih hebat dari ibunya adalah perbuatan mahamulia. Nabi mengajarkan itu. Menjadikan generasi penerus lebih hebat itu lebih penting daripada menjadikan diri sendiri sebagai raja. Hanya anak kecil suka meminta dan berperilaku yang aneh-aneh. sudah tahu giginya bolong masih saja minta cokelat, minta permen, minum sirup, ahhhh." Bang Kumis meninggalkan Sompral. "Gw ke toilet dulu," katanya sambil ngeloyor. "Janga lupa jaga lapak." Sompral membisu. Otaknya kini menjadi beku. ( si regar)

0 komentar

Posting Komentar