| 0 komentar ]

Semoga Irsael Terus Mengebom

Gepeng, pemuda simpatisan sebuah partai agamis itu, serta-merta membawa anak isterinya, termasuk anak bungsunya yang baru dua bulan, menuju jalan protocol. Dengan motor bututnya, ia membawa serta tas besar berisi berbagai atribut partai, mulai stiker, bendera, kaos, topi, hingga jam tangan. “Semoga Irsael belum berhenti mengebom, biar semakin banyak demo dan semua atribut ini laku keras,” Gepeng berdoa dengan dada terisak.

Pemuda pengangguran itu baru saja berani berdagang. Setelah di-PHK di tempatnya bekerja tiga bulan silam nyaris seluruh kebutuhan hidupnya ditanggung mertua. Ia sudah mencoba melamar ke pabrik-pabrik, tetapi jawaban yang diterimanya sama: tidak ada lowongan. Utangnya kepada rentenir harus segera dibayar. Jika tidak bunganya bisa melebihi pokok utang. Kelahiran anak ketiganya yang membuat Gepeng harus pontang-panting. Saat isterinya sudah pembukaan sepuluh, dokter memintan dibedah caesar. Gepeng tak berkutik. Orang bodoh macam dia tak berani berkata saat detik menegangkan seperti itu. Yang penting bayi selamat, isterinya selamat. Utang dipikir belakangan.

Hari ini merupakan hari ketiga ia mulai berdagang. Sebulan lalu ia juga sudah dimodali untuk berjualan rokok. Tapi hasilnya malah tekor. Pernah juga ikut membantu jualan soto, tetapi selalu saja ada piring pecah dan ia sungkan meneruskan. Dua pecan lalu ia mencoba peruntungan dengan ikut judi togel, tetapi hasilnya ia malah sering tidur di kuburan dan tak pernah dapat uang. Satu-satunya yang bisa diharapkan adalah berdagang atribut partai. Dua kali ia ikut demo mengutuk Irsael, saat itulah berkah datang. dagangannya ludes. Ia mulai bisa menyicil utang.

Motornya menerabas subuh agar bisa sampai Monumen tepat waktu. Ia menggelar dagangan di belakang teriakan ribuan massa yang mengutuk kebringasan Irsael. “Semoga Irsael tak berhenti mengebom,” Gepeng kembali berdoa sambil menata dagangannya. Anak-isterinya berada di sampingnya sambil berpakaian ala demonstran. Beberapa stasiun televise sempat menyorotkan kameranya ke arah isteri dan anaknya. “Hidup Paletisna.”

Matahari beranjak siang dan demonstran semakin menggurita. Satu tas dagangan yang baru saja digelarnya benar-benar tanpa sisa. Gepeng mengantongi ratusan ribu keuntungan. Ia mengecup tumpukan uang itu sambil mengajak anak-isterinya pergi. “Kita pulang Bu,” Gepeng men-starter motornya dan wusss….asap mengepul. Sebelum sampai rumah, Gepeng membeli bakso dan beberapa kue. Ia juga menyepatkan diri membeli sate ayam. Makanan yang pernah diminta isterinya saat hamil dan belum pernah kesampaian.

Rumah petak tiga ratus ribuan sebulan dibuka. Isteri dan anak-anak Gepeng bergegas membuka bungkusan. Mereka makan dengan lahap. “wuahh..pedes banget pak sateen,” isterinya minta ditemani. Tetapi, Gepeng pamitan ke mushola. “Aku sholat lohor dulu Bu.” Ia pergi ke Mushola.

Usai sholat, ia menangis. Badannya gemetar hebat. Keringatnya meleleh. Bajunya basah. Sajadahnya basah. Tiga orang di mushola yang melihatnya tak dihiraukan. Ia menangis sejadi-jadinya sambil sujud, terus sujud. Bibirnya merapal istighfar. “Ya, Allah, mengapa doaku Engkau kabulkan. Aku tak ingin anak-anak itu mati oleh bom tentara zionis. Aku juga manusia, yang juga tak mau anak-anakku mati. Ya Allah, mengapa doaku Engkau kabulkan. Aku begitu zolim, mencari keuntungan dari penderitaan mereka.” Tangisnya begitu pilu. Gepeng tertidur hingga suara azan membangunkannya.

Esoknya, berita tablig akbar di sebuah masjid diterimanya. Ia siap-siap membawa dagangannya ke masjid. Sebelum menjejak pintu, Gepeng kembali bermunajat. “Ya Allah, jika Engkau tak mengabulkan doaku, dagangan ini akan berhenti di sini dan aku akan kembali menganggur. Tetapi, Ya Allah, jika Engkau mengabulkan doaku, sungguh aku tak sanggup menyaksikan menerima keuntungan dari gelimang darah anak-anak Paletsina itu. Aku tak sanggup menjadi mereka yang menanggung untung dari tragedy demi tragedy ini. Bismillah,” Gepeng menstarter motor butunya menuju masjid tempat tablig akbar mengutuk serangan Irsael digelar. (si regar)

0 komentar

Posting Komentar