| 0 komentar ]

Semua Kok Milik Partai

Sompral tiba-tiba membanting gitarnya di warung Yu Tem. Dua rekannya, Jongki dan Benggol hanya bisa geleng-geleng kepala. “Kalau gitar itu rusak, kita nggak bisa ngamen lagi Pral,” si kurus jongki mengingatkan. Ia coba meraih gitar yang senarnya sudah putus tiga itu. Tapi karena uring-uringan, Sompral menggamit gitar yang dibelinya dari hasil jerih payah setahun ngamen itu.

Sompral duduk gerah. “Gue nggak demen Jong,” setan yang menggumpal di dadanya mulai pergi. Suaranya mulai lumer. Kopi panas yang sudah disodorkan Yu Tem langsung ditenggaknya. “Masih panas Som Praaal,’ Yu Tem mengingatkan, tetapi bibir Sompral telanjur ngokop. “Broottt..” Semua isi mulut ditumpahkan. Sial bagi Benggol yang berada di sampingnya. Mukanya penuh hitam penuh kopi panas. Benggol bengak-bengok mencari kobokan di belakang warung. “Matamu, Pral.” Benggol mengumpat setelah ia membasuhi mukanya. “Sory, Beng, nggak sengaja,” Sompral cengar-cengir seperti tak punya dosa.

Seperti biasa, Sompral mulai ngomong politik. Itu keahliannya sejak brojolan SMU ini membentuk grup pengamen di Ibu Kota. Sompral memang paling sering baca koran dan tak pernah melewatkan Liputan 6. Beda dengan Jongki yang sering mengabiskan uang ngamen untuk merokok dan Benggol yang doyan makan-ngutang di warung.

Jongki menepuk pundak Sompral. “Jadi, apa masalahmu Pral.” Sompral coba menghabiskan bakwan yang memenuhi mulutnya. “Gue mau nanya ke loe, Jong. Monas siapa yang bikin,” kata Sompral. “Ya negaralah, wong pakai duit Negara,” Jongki sekedarnya sambil terus menghabiskan sigaretnya. “Gedung Kura-kura Senayan?” “Negara.” “Gelora?” “Negara.” “Rumah loe.” “Ya bokap gue lah.” “Kalau gedung-gedung tinggi itu?” “Ya milik pengusaha kaya-kaya itu, tapi atas bantuan negara juga kali ya. Kan kreditnya dari bank milik negara. Negara bahkan utang ke bank dunia untuk membiayainya.”

Sompral berdiri dan memanggil Yu Tem, perempuan paruh baya asal Lamongan yang sudah dua puluh tahun mengadu nasib di ibu kota itu. “Yu, gudang garah filter satu bungkus,” Sompral langsung menyodorkan sebungkus rokok kesayangan Jongki itu persis di depan mulutnya. “Gue senang punya temen kayak, Loe. Kurus tapi cerdas,” Sompral memuji. Benggol berjinjit sambil menyodokan piring keduanya ke Yu Tem. “Yu, tambah sepiring lagi ya, mumpung Sompral lagi baikan,” Benggol membuka bibirnya ke arah Sompral,”boleh dong nambah Pral.” Sompral cuma bisa melotot. Uang ngamen hari ini kering kerontang. Penumpang bus mungkin sudah terkena dampak krisis global yang disebarkan Amerika ke seluruh dunia.

Jongki lantas membuka rokoknya dengan cekatan. “Lalu?” Sompral kembali menepuk pundak Jongki. “Kalau rumah loe ditayangkan televisi dan dipakai kampanye untuk calon presiden tanpa ijin, loe marah nggak?” “Ya marahlah. Jelek-jelek begitu, rumah itu dibangun sendiri sama bokap. Nggak pakai utang, kredit, apalagi hibah.” “Nah, kalau Monas, Gelora, gedung-gedung tinggi, sawah, gunung, sungai, sampai rumah-rumah kumuh, itu juga tayang di televisi dan diklaim milik partai, loe sebagai rakyat marah nggak?” “Gue harusnya marah nggak??? Jongki melongo melototi Sompral yang tiba-tiba giginya runcing dan kepalanya bertanduk. Sompral sontak membanting gitarnya kembali dan ngeluyur meninggalkan warung. Yu Tem berteriak-teriak memanggilnya karena belum dibayar. Jongki kabur. Benggol langsung memuntahkan isi mulutnya yang masih dipenuhi soto.

Jongki mengumpati Sompral dalam hati. “Partai, penguasa, negara, rakyat. Partai berkuasa, menguasai negara, menguasai rakyat tapi apa bisa memiliki negara, memiliki rakyat. Ah embuh!!”( si regar)

0 komentar

Posting Komentar