| 0 komentar ]

In Antahberanta
Sabotase Gaya Koboi

Ia mengendap ketika hari mulai gelap: dan sebuah percikan diciptakan. Ia segera memacu kudanya menuju pemukiman. Ia menyelinap dan hilang ditelan keramaian. Ledakan berkali-kali terdengar. Kobaran api menjilat-jilat dan cendawan bergelombang-gelombang pekat-hitam. “Pelaku berada di lokasi, melihat kedahsyatan aksinya, melihat korban-korbannya,” seorang polisi spesialis pengejaran terorisme berkata dengan hidung tersumbat. “Ancaman mereka kini terealisasi. Kami telah kecolongan.”

Akhir tahun lalu, ketika terpidana terorisme menjelang ajal, tangki premium itu diancam. Para pengirim teror itu mengaku masih sehaluan dengan sang teroris. Ancamannya terbukti. “Ini balasan atas eksekusi teman kami,” sebuah situs tak resmi mengumumkan dirinya sebagai pelaku sabotase. “

Lima juta premium ludes. Untungnya lima puluh juta BBM lainnya tak ikut mengasap. Mereka berdampingan. Panasnya kobaran lima juta premium tak melelehkan tangki lainnya, meski jaraknya hanya belasan meter. “Itu hanya persekot, sebelum aksi-aksi lain dilakukan,” bisik situs yang berisi pesan berbahasa arab gundul itu.

Konferensi pers segera digelar. Kepolisian Republik Indokita mengumumkan peledakan Depo BBM akibat aksi terorisme. “Teroris berhasil membuat kita terus waspada,” demikian Kapolri menaruh bibirnya di corong radio dan televisi. “Kami akan terus mengejarnya,” Kapolri melengkapi pemberitaan media hari ini.

Presiden memanggil Kapolri. Setelah mengaku tidak happy atas kinerja intitusi permiyakan itu, Presiden minta pelaku segera ditangkap. Kapolri pulang dengan muka cemberut. Ia menyiapkan scenario penangkapan. Sepekan kemudian, seorang tukang batu di kawasan Pandeglang dibekuk. “Ia ikut serta membawa bahan peledak,” tutur pemburu teroris dengan dada terdongkrak. Hari-hari berikutnya, media local-nasional, diisi penangkapan sejumlah teroris.

Minggu kedua, Presiden muncul lagi ke panggung politik. Ia menancapkan bibirnya ke mikrofon dengan gaya koboi. “Kami bangga atas prestasi kepolisian yang dengan capat dan tanggap menangkap para pelaku,” Presiden memuji Kapolri tiga kali dalam sehari, seperti ia minum obat amnesia.

Pernyataan presiden ini membuat semua pihak merasa lega. Tapi tidak bagi pelaku jihad yang dicap teroris. “Kami bukan pelakunya. Kami hanya menyerang objek-objek asing, zionis. Kami tak mau menyengsarakan saudara kami sendiri. Ini pemutarbalikan fakta. Ledakan itu di luar ideologi dan nalar kami,” Osama M. Top mengirimkan rekaman pernyataannya ke stasiun televise Al Banjeera.



Polisi mencari cara mudah melepas tanggung jawabnya. Ia tak mau repot mencari penyebab setiap malapetaka. Mereka selalu menuding teroris sebagai biang kerok semua persoalan bangsa dan kebobrokan pemerintahan. Sejumlah orang ditangkap dan diberi stempel teroris. “Padahal, mereka cuma tukang batu, tukang tambal ban, dan onderdil. Mereka bukan teroris. Baca syahadat saja mungkin tak fasih, bagaimana mereka mengerti jihad,” Osama M. Top menutup pesannya.

Aparat kebakaran jenggot. Kepolisian menangkap lagi guru ngaji. “Ia dalangnya,” aparat kembali mengulang sukses. Sang dalang pun ditampilkan di televise, lengkap dengan surban, kopiah, dan lafal-lafal fasih Al Qur’an. Sadar atau tidak, aparat telah menempatkan Al Quran sebagai biang kerok kekerasan, karena semua pelaku mengaku mendapat perintah seperti tercantum dalam kitab suci.

Sebulan kemudian, di sebuah hotel bintang lima, bertemulah tiga kandidat direksi perseroan plat merah. “Seenaknya saja menteri bicara: tak ada pergantian dirut. Kalau tak meledak, mana mungkin kita bisa naik posisi,” seorang dari mereka buka kartu, ditingkahi tawa dua rekannya. ( si regar)

0 komentar

Posting Komentar