| 1 komentar ]

Terowongan Semanggi Kian Mencekam

JAKARTA - Lima orang memakai penutup kepala tiba-tiba menghadang Andi (35). Avanza barunya tak bisa bergerak. Andi nyaris menabrak kawanan ini, tapi refleks mengajarinya menginjak rem. Lima detik berikutnya kawanan ini menggedor pintu dan memecahkannya. Celurit sudah mengalungi leher Andi."Ampun, ampun, jangan bunuh saya, jangan, jangan!!" Andi tak berdaya. Lima detik kedua, kawanan ini mengobrak-abrik isi mobil, menggondol laptop, uang tunai, ATM berikut nomor PIN. Andi histeris begitu kawanan perampok pergi. Tangannya berlumuran darah, tergores celurit bromocorah.

Andi hanyalah satu dari ratusan mungkin ribuan korban kriminalitas di Terowongan Semanggi. Tak salah terowongan ini dinamai terowongan maut. Kecelakaan memang tidak hanya karena akibat perampokan dan tindak kriminalitas. Tahun 2008 silam, sebanyak 150 pengendara motor luka parah, 10 tewas, dan 100 kendaraan roda dua dan empat raib akibat todongan penjahat. Data lain menyebutkan sekitar 10 ribu ban motor bocor dan rusak gores akibat ulah tukang tambal ban liar yang menyebar ranjau paku. Hampir 100 ribu pengendara motor terjungkal di terowongan ini selama kurun waktu lima tahun, 2003-2008, akibat jalan berkubang, rusak parah, dan nyaris tak pernah diperbaiki.

Jupri (30) hingga kini terbaring di RSCM. Kemarin, ia terjungkal akibat jalan berlubang. Ia tak tahu. Jalan itu dipenuhi air hujan yang keruh. "Begitu saya lewati, "bluggg", roda depan motor saya ambles dan setir oleng. Saya tak bisa menahan motor dan langsung terjatuh ke kiri. Nasib naas buat saya. Dari belakang metromini menerabas kaki saya hingga keduanya patah. Untungnya kepala saya tak membentur trotoar," Jupri mengisahkan. Ia kini menjalani operasi amputasi. "Saya tak mungkin bisa bekerja lagi," tutur kurir sebuah perusahaan pengiriman ini.

Nasib Jupri mungkin saja tragis. Tetapi, bagi Fatimah, nasib Jupri tak ada apa-apanya. Petugas kebersihan di perusahaan asuransi ini sampai kini trauma dan menjadi gila seumur hidupnya. Penyebabnya juga karena jalan berlubang. Saat itu ia sedang hamil besar. Pulang kerja, ia dibonceng suaminya, Rojani (35). Begitu lewat terowongan, motor Supra yang baru dikredit suaminya terbenam kubangan dan langsung jatuh. Rojani terlempar ke depan hingga dua meter dan kepalanya terbentur trotoar. Ia kini stroke. Sementara Fatimah terpental hingga sepuluh meter ke depan. Perutnya menghunjam ke aspal dan kepalanya retak. Darah mengalir seperti air terjun. Ia pingsan. Ironisnya tubuh Fatimah ditabrak motor lain yang saat itu sedang melaju kencang.

Tak ada yang membawanya ke RSCM. Lalu lintas kian padat. MAsing-masing berburu pulang, agar cepat sampai rumah. Untungnya ada Solehan, petugas kebersihan, temannya satu perusahaan yang sedang lewat. Fatimah dipinggirkan. Ia bergegas menyetop taksi dan membawanya ke rumah sakit. Sial bagi Solehan. Dompetnya tak menyisakan uang sepeser pun. Ia tak bisa membayar argo taksi. Terpaksa, Fatimah tak boleh diturunkan. Sopir taksi kukuh, selama tak dibayar, tubuh Fatimah akan dikembalikan ke tempat semula, di terowongan Semanggi.

Solehan terpaksa mencari utangan. Tukang bajaj, tukang rokok, dan tukang parkir didekatinya. Namun, mereka tak bisa memberikan pinjaman Rp 50 ribu untuk bayar taksi. Nasib Fatimah terlunta-lunta hingga malam. Solehan menangis dan berteriak-teriak. Masyarakat di sekitar RSCM malah menganggap Solehan gila. Ia menjadi tontonan.

Dengan terpaksa, Solehan menuruti kemauan sopir taksi. Ia kembali ke terowongan Semanggi. "Tega loe, Bang," Solehan mengumpat sopir taksi. Sopir taksi malah mengeraskan gas dan membunyikan klason. Fatimah terkulai tak berdaya. Solehan pasrah. Lima menit kemudian Solehan didekati tiga polisi patroli. Solehan dibawa ke kantor polisi dan diinterograsi. Jasad Fatimah diangkut menggunakan mobil patroli ke rumah sakit.

Dalam pemeriksaan, Solehan ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan. "Hoiiiiiiiiii, aku tidak menganiaya," teriakan Solehan tak dihiraukan. Ia malah ditahan berharihari di kantor polisi.

Meski tragis, nasib Fatimah sedikit beruntung. Ia tak ikut tewas. Jabang bayinya sudah meninggal dan dikeluarkan. Namun, Fatimah sempat koma selama sepekan. Kini, Fatimah benar-benar gila.

Sementara suaminya, Rojani, tak bisa pulang dari rumah sakit karena tak bisa bayar biaya perawatan, biaya kamar, dan obat-obatan. "Nasib wong cilik koyok ngene, rekoso tenan," Rojani, warga Tegal itu saban hari menangisi nasibnya. ( si regar)

1 komentar

Didik Purwanto mengatakan... @ 29 Januari 2009 pukul 22.48

Jadi ini cerita fiksi ya??kirain beneran. Tp emg bener jg sih, kl lwt semanggi, bawaannya gimana gitu!!ngeri ah..

Posting Komentar